"Aku nggak mau jadi pengganti, dan aku nggak mau terus hidup dengan ketakutan. Jadi, kalau kamu masih punya perasaan untuk Aiza, atau masih ragu tentang kita, lebih baik kita berhenti sekarang."
Dia terdiam beberapa saat, matanya penuh dengan kebingungan dan rasa bersalah. "Nay, aku nggak pernah ingin kamu merasa seperti itu. Aku tahu aku salah karena nggak segera jelas sama kamu, dan karena itu, aku hampir kehilanganmu. Tapi aku cuma mau satu hal---kesempatan."
Aku menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh. "Kesempatan untuk apa, Ray?"
"Kesempatan untuk membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar hubungan masa lalu. Aku ingin kita lebih dari itu, Nay. Aku nggak bisa terus hidup di bayang-bayang Aiza. Aku cuma bisa berjanji, aku akan berjuang untuk kita."
Aku terdiam, meresapi kata-katanya. Untuk pertama kalinya, aku melihat kesungguhan di matanya. Perlahan, aku mengulurkan tanganku, dan dia meraihnya dengan penuh hati-hati.
"Jadi, kamu mau memberi kita kesempatan?" tanyanya dengan suara lembut.
Aku mengangguk, meskipun masih ada keraguan kecil di dalam hatiku. "Ya, aku mau. Tapi kita mulai dari awal, Ray. Tidak ada lebih banyak rahasia, tidak ada lebih banyak ketakutan. Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain."
Rayyan tersenyum, wajahnya kembali cerah seperti dulu. "Aku janji, Nay. Kita mulai dari awal. Dan aku akan menunjukkan kalau kamu bukan pilihan kedua."
Hari itu, aku merasa sedikit lega. Kami masih punya perjalanan panjang di depan, tapi yang penting, kami memilih untuk berjalan bersama, dengan kejujuran dan komitmen. Dengan waktu, aku tahu kami bisa mengatasi rintangan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H