Hari-hari berikutnya, Rayyan semakin sering datang kepadaku. Tak lagi hanya untuk mengeluh soal pacarnya, tapi juga sekadar berbicara tentang hal-hal kecil yang dulu jarang dia bagi. Kami mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama---di taman sepulang sekolah, di kelas saat jam istirahat, bahkan di malam hari melalui pesan singkat yang tiba-tiba terasa lebih intens.
Aku seharusnya bahagia, bukan? Tapi ada bagian dari diriku yang takut. Takut kalau ini hanya sementara. Bahwa ketika dia akhirnya melupakan sakit hatinya, dia akan kembali menjadi Rayyan yang dulu---teman sekelas yang melihatku hanya sebagai tempat curhat.
Namun, sesuatu berubah pada suatu sore yang mendung. Kami sedang duduk di bawah pohon besar di taman sekolah. Hujan gerimis mulai turun, memaksa kami untuk berlindung di bawah ranting yang tidak terlalu rapat. Dia menatap langit, seperti sedang berpikir keras.
"Aku dan dia sudah selesai, Nay," Aku terkejut ketika dia berkata seperti itu. "Kadang aku merasa bodoh, Nay," katanya tiba-tiba. "Aku terlalu lama bertahan di tempat yang nggak bikin aku bahagia."
Aku menatapnya, bingung harus merespons apa. "Mungkin kamu cuma terlalu sayang, Ray," jawabku, mencoba menutupi rasa gelisah.
Dia menggeleng pelan, lalu menoleh ke arahku. "Bukan itu. Aku bodoh karena nggak sadar... ada seseorang yang jauh lebih peduli sama aku."
Aku merasakan jantungku berhenti sejenak. Nafasku tercekat, tapi aku tetap mencoba bersikap biasa. "Maksud kamu?" tanyaku pelan.
Dia tersenyum kecil, senyum yang membuatku tak bisa berpaling. "Aku tahu selama ini kamu selalu ada, Nay. Jujur, aku nggak tahu gimana aku bisa lepas dari semua ini kalau bukan karena kamu."
Aku hanya bisa menatapnya, tak mampu berkata apa-apa. Hujan mulai turun lebih deras, tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin tahu, apakah kata-katanya barusan benar-benar mengarah ke perasaan yang sama dengan yang kupendam selama ini.
"Tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Jadi, boleh nggak kalau kita mulai pelan-pelan?" tanyanya, suaranya hampir tenggelam dalam bunyi hujan.
Aku tersenyum, merasa harapan kecil dalam hatiku akhirnya menemukan jalannya. "Pelan-pelan, ya?" jawabku, setengah bercanda untuk menyembunyikan rasa gugup.