Rayyan terdiam lama sebelum akhirnya menjawab, "Kamu nggak harus percaya omongan aku, Nay. Tapi aku bisa tunjukin semua isi ponselku kalau itu bikin kamu yakin."
Aku menatapnya lama, mencoba mencari kejujuran di matanya.
Rayyan menyerahkan ponselnya tanpa ragu. Aku memeriksa percakapannya, dan benar saja---tidak ada pesan dari Aiza.
"Lihat, aku nggak main-main sama kamu," katanya, suaranya terdengar tulus.
Aku mengembalikan ponselnya dengan perasaan campur aduk. "Aku cuma nggak mau jadi alasan orang lain sakit hati, Ray. Aku nggak mau jadi pengganti."
"Kamu bukan pengganti, Nay," ucapnya pelan. "Aku sama kamu karena aku peduli. Kalau aku masih mikirin dia, aku nggak bakal ada di sini."
Butuh beberapa hari bagiku untuk memproses semuanya. Tapi akhirnya, aku memilih untuk percaya. Aku tahu hubungan kami tidak akan selalu mudah, tapi aku ingin memberinya kesempatan---kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku lebih dari sekadar pelarian.
Hari-hari setelah insiden itu berjalan dengan penuh ketegangan. Aku dan Rayyan jarang berbicara, meskipun kami tetap duduk berdekatan di kelas. Ada rasa canggung yang mengalir di antara kami, seolah-olah sebuah dinding tak terlihat menghalangi komunikasi kami yang dulu begitu mudah. Namun, dalam hatiku, aku tahu aku perlu mengambil keputusan.
Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan hidup dalam keraguan. Aku ingin tahu, apakah perasaan Rayyan kepadaku benar-benar tulus, atau apakah aku hanya bagian dari masa lalunya yang belum bisa dia lupakan.
Pada suatu sore, saat kami berdua duduk di taman sekolah, aku memulai percakapan itu. "Ray, aku tahu kita nggak bisa terus seperti ini. Aku butuh kepastian."
Rayyan menatapku dengan ekspresi serius, seolah menunggu aku melanjutkan.