Rayyan mengangguk, lalu kami tertawa kecil di tengah hujan yang semakin lebat. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa mungkin, kami akhirnya berada di tempat yang benar.
Sejak hari itu, semuanya terasa berbeda. Kami tetap berteman seperti biasa---tertawa di kelas, berbagi cerita di taman, dan saling melempar candaan yang dulu terasa ringan. Tapi kini, ada sesuatu yang tidak lagi sama. Pandangannya terasa lebih lama saat dia melihatku, caranya menyebut namaku terdengar lebih lembut, dan sentuhan kecil di bahuku saat dia lewat menjadi lebih berarti.
Namun, hubungan kami tetap berjalan pelan, seperti yang dia minta. Tidak ada pengakuan resmi, tidak ada janji-janji besar. Hanya kami berdua yang mencoba memahami apa arti kita sebenarnya.
Tapi, tak semua orang melihatnya seperti itu. Bisikan kecil mulai terdengar di kelas. Teman-teman kami mulai bertanya, "Kalian pacaran, ya?" atau "Sejak kapan deket banget?" Aku hanya tertawa kecil, mencoba mengabaikan. Tapi di dalam hati, aku tahu---aku takut.
Bagaimana jika hubungan ini tak berakhir seperti yang kuharapkan? Bagaimana jika aku hanya menjadi tempat singgahnya sebelum dia benar-benar menemukan orang lain?
"Kenapa diem aja?" suara Rayyan memotong pikiranku. Dia duduk di hadapanku, dengan wajahnya yang terlihat sedikit serius.
Aku tersentak. "Enggak, cuma lagi mikir aja."
Dia menatapku lama, membuatku gelisah. "Nay, kalau ada yang ngganggu, bilang aja. Jangan disimpen sendiri, ya?"
Aku mengangguk pelan, tapi kali ini, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan apa yang ada di pikiranku.
Malam harinya, saat aku sedang melamun di tempat tidur, ponselku berbunyi. Pesan dari Rayyan.
"Aku tahu kamu masih ragu sama aku, Nay. Tapi aku mau kamu tahu satu hal: aku nggak main-main sama kita. Aku cuma butuh waktu buat ngeyakinin kamu, dan ngeyakinin diri aku sendiri juga. Tapi aku janji, aku nggak akan nyakitin kamu."