Faktor-faktor yang diduga berkontribusi terhadap tren ini adalah:
1. Kurangnya Pengalaman dan Pengetahuan
Berdasarkan penelitian Universitas Indonesia tahun 2022, 67% pemimpin muda yang terjerat kasus korupsi mengaku kurang memahami regulasi dan tata kelola keuangan publik.
Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin muda mungkin belum memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk mengelola keuangan dan sumber daya publik secara bertanggung jawab. Kurangnya pemahaman ini dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
2. Tekanan Politik
Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2021 menunjukkan bahwa 72% pemimpin muda mengaku pernah mendapat tekanan dari pihak lain untuk melakukan tindakan koruptif.
Tekanan politik dari berbagai pihak, seperti partai politik, sponsor, dan konstituen, dapat mendorong pemimpin muda untuk melakukan tindakan koruptif demi mendapatkan keuntungan politik atau finansial. Hal ini dapat terjadi karena sistem politik yang masih kental dengan budaya transaksional dan politik uang.
3. Gaya Hidup Mewah
Studi Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada tahun 2023 menemukan bahwa 58% pemimpin muda yang terjerat kasus korupsi memiliki gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan pendapatan mereka.
Gaya hidup mewah yang konsumtif dapat mendorong pemimpin muda untuk melakukan korupsi demi memenuhi gaya hidup tersebut. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh media sosial dan budaya materialisme yang marak di kalangan generasi muda.
4. Kurangnya Pengawasan
Data KPK menunjukkan bahwa 34% kasus korupsi yang melibatkan pemimpin muda terjadi di tingkat daerah, di mana pengawasan dan akuntabilitas publik masih lemah.
Kurangnya pengawasan dari masyarakat dan lembaga terkait, seperti pemerintah daerah dan aparat penegak hukum, dapat membuka celah bagi pemimpin muda untuk melakukan korupsi. Hal ini diperparah dengan sistem pelaporan dan penindakan korupsi yang belum optimal di tingkat daerah.
5. Budaya Politik Dinasti
Data KPK menunjukkan bahwa 28% pemimpin muda yang terjerat kasus korupsi berasal dari keluarga politisi yang korup.
Budaya politik dinasti, di mana posisi politik diwariskan kepada keturunan, dapat menjadi faktor pendorong korupsi. Keturunan dari politisi korup mungkin tidak memiliki kemampuan dan integritas yang memadai untuk memimpin, sehingga mereka lebih mudah terjerumus dalam praktik korupsi.