Mohon tunggu...
Muhammad AudyaR
Muhammad AudyaR Mohon Tunggu... Petani - Belajar Menulis

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hidup Rukun Bersama Penghayat Sunda Wiwitan Madrais

10 Oktober 2021   23:18 Diperbarui: 10 Oktober 2021   23:27 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat pertama memasuki jalan kecil terpampang tulisan 'Wilujeung Sumping' pada gapura seolah-olah pengunjung yang datang mendapat keramahan langsung dari para penduduk setempat. Mulai dari anak-anak, muda, tua, laki-laki dan perempuan riuh berbincang-bincang di halaman rumah mereka di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Hidup berada di permukiman padat penduduk, sebagian warga Kampung Pasir mempunyai ajaran tentang kepercayaan terhadap para leluhur Sunda zaman dahulu atau lebih dikenal oleh masyarakat luas yakni ajaran Sunda Wiwitan Madrais. Sebanyak 97 anggota keluarga dengan jumlah 300 jiwa penganut ajaran tersebut.

Kelompok penghayat Sunda Wiwitan Madrais hidup berdampingan dengan mayoritas pemeluk Agama Islam, meskipun demikian, mereka dapat melangsungkan segala aktivitas ibadah dan aktivitas bermasyarakat secara normal tanpa perselisihan terhadap perbedaan yang ada di lingkungan Kampung Pasir.

Sama seperti penganut agama lain bahwa penghayat Sunda Wiwitan Madrais juga memiliki kitab sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan mereka. Kitab tersebut bernama Kitab Hayat, kitab yang berisi ajaran tentang bagaimana seorang manusia harus bisa melihat kedalam diri untuk mengintrospeksi, juga proses cara manusia bisa mengenal kepada Tuhan.

Selain itu, pengahayat Sunda Wiwitan Madrais  memiliki ketentuan jadwal peribadahan mereka yang dilakukan dua kali dalam sehari yakni, menjelang matahari terbit pukul 05:00 WIB dan menjelang matahari terbenam pukul 18:00 WIB. Dalam pelaksanaan ibadah tersebut bisa mereka lakukan dengan ibadah secara berjamaah di salah satu aula atau dilakukan sendiri di rumah masing-masing.

Ada beberapa acara yang kerap mereka lakukan seperti seren taun pada malam 1 Sura. Setiap bulan juga sering diperingati beberapa kelahiran dari tokoh sampai hari meninggalnya  tokoh Sunda Wiwitan Madrais. Rangkaian acara biasa dilangsung di dalam bale atikan dan puncak acara dilaksanakan di Cigugur, Kuningan Jawa Barat.

Salah satu sesepuh penghayat Sunda Wiwitan Madrais di Kampung Pasir Abah Sutisna (78) menegaskan kepada para warga adat atau pengikut ajaran Sunda Wiwitan Madrais agar selalu menerapkan perilaku penuh toleransi kepada sesama manusia. Dalam menjalankan kehidupan mereka tidak boleh lepas dari gotong royong dan melakukan musyawarah jika ada kegiatan-kegiatan di lingkungan tempat mereka tinggal.

Meskipun penghayat Sunda Wiwitan Madrais masih menjaga adat para leluhur sunda zaman dahulu, mereka juga hidup mengikuti perkembangan zaman sekarang ini. Seperti dari segi penampilan yang mereka pakai untuk sehari-hari tidak terdapat aturan khusus seperti pada kampung adat pada umumnya.

"Tah ieu perbentenna sok sanaos sareng baduy Sunda Wiwitan, pami di baduy mah baduy luar kedah hideung pami baduy leubet mah bodas kitu. Janteun aya perbentenan, tah di Abah mah henteu janteun tolak ukur anu pasti dina perkawis anggoan mah "Nah ini perbedaannya meskipun dengan baduy Sunda Wiwitan, kalau di baduy, baduy luar harus hitam kalau baduy dalam harus putih gitu. Jadi ada perbedaannya, nah di Abah tidak menjadi tolak ukur yang pasti terkait pakaian)," Ungakap Sutisna pada hari Sabtu (05/12/2020).

Kendati demikian, para penghayat Sunda Wiwitan Madrais menyebut dirinya sebagai warga kampung adat, tetapi dari segi bangunan tempat tinggal mereka tidak terdapat perbedaan dengan rumah-rumah masyarakat Kampung Pasir pada umumnya. Hanya bangunan aula atau biasa merekea sebut bale atikan yang terlihat memakai ornamen bernuansa Suku Sunda.

Karena para pengayat Sunda Wiwitan Madrais mendapat petuah dari para leluhur mereka bahwa setiap perubahan zaman harus diikuti, tanpa harus menghilangkan nilai-nilai ajaran para leluhur yang sudah mereka dapat. Dengan demikian semua para penghayat Sunda Wiwitan Madrais dapat menyikapi hal-halb baru yang akan terjadi hari sekarang dan esok atas segala perubahan zaman.

Setiap anak-anak dari pengayat Sunda Wiwitan Madrais juga dipersilahkan untuk mengikuti pendidikan formal seperti anak-anak pada umumnya. Mereka juga mendaptkan pendidikan informal berupa pelajaran sekaligus pemahaman tentang bagaimana cara para leluhur mereka menjaga bangsa, melestarikan seni dan budaya yang masih  ada sampai saat sekarang ini.

Ada beberapa kesenian yang harus dipelajari oleh penghayat Sunda Wiwitan Madrais seperti Seni Tari Suara, Angklung Buncis, Pupuh Cianjuran yang telah diwariskan oleh para leluhur sunda zaman dahuhulu. Biasanya kesenian tersebut ditampilkam pada saat acara-acara tertentu, seperti seren tahun, hari kelahiran tokoh Sunda Wiwitan Madrais dan sebagainya.

Terlihat di bale atikan (aula)  perempuan-perempuan penghayat Sunda Wiwitan Madrais juga produktif sedang mengerjakan seni lukis batik. Ada belasan motif batik hasil buah tangan yang telah mereka tekuni sebelumnya, sebanyak  dua motif batik yang telah menjadi hak paten mereka, sehingga muncul nama dari motif batik tersebut Batik Pasiran.

Bukan hanya produksi batik tulis saja, para penghayat Sunda Wiwitan Madrais memiliki keterampilan tangan membuat sebuah peralatan rumah tangga dari logam, mengolah kayu yang nantinya bisa digunakan untuk cenderamata atau sekadar gantungan kunci. Hasilnya bisa menjadi rod perekonomian bagi mereka.
Nama Sunda Wiwitan juga mempunyai makna tersendiri bagi mereka, menurut Abah Sutisna arti dari sunda adalah harum dan putih bersih. Sedangkan wiwitan memiliki arti bahwa asal mula yang Maha Kuasa menciptakan manusia-manusia dengan berbagai suku bangsa yang berbeda-beda dan segala isi alam yang terdapat di dalamnya.

Dalam hal memilih agama Abah Sutisna membebaskan pengikut Sunda Wiwitan Madrais untuk tetap menjadi penghayat atau berpindah kepercayaan agama lain. Misal, dari salah satu penganut Sunda Wiwitan Madrais ingin keluar dari kepercayaannya untuk berpindah ke agama lain maka tidak akan mendapatkan sangsi sosial. Karena Abah Sutisna juga berada dalam lingkungan keluarga yang berbeda-beda agama, ada yang pemeluk Agama Islam dan Agama Kristen.

Setiap Hari Raya Idul Fitri  sesepuh Sunda Wiwitan Madrais sering kedatangan banyak tamu dari sanak saudara dan tetangga-tetangga yang memeluk kepercayaan berbeda dengan Abah Sutisna. Selain untuk silaturahmi mereka juga datang ke kediaman Abah Entis seraya membawa makanan khas yang biasa dibuat oleh orang-orang  pada Hari Raya Idul Fitri.

Ajaran Sunda Wiwitan Madrais datang sejak akhir abad 18 lalu di Kabupaten Garut yang dibawa oleh Ratma Wijaya. Pada waktu itu wilayah Indonesia masih dalam kuasa penjajah Belanda sehingga memaksa masyarakat pelosok yang ada di Kapupaten Garut terutama di Kampung Pasir mempelajari ilmu kebatinan untuk meraih kesaktian.

Dalam perjalanan sejarah  yang dipercayai oleh penghayat Sunda Wiwiran Madrais bahwa tokoh Ratma Wijaya berjuang menjaga diri, menjaga ajaran para pelulur sunda dan  berjuang mempertahankan negara dengan bersusah payah. Karena dirasa tidak akan mampu melawan penjajah Belanda dengan fisik akhirnya ia menghadapi mereka menggunakan sekaktian yang telah dimiliki.

Sejumlah tokoh dari Limbangan, Cibatu dan Malangbong sering malakukan pertemuan ke Kampung Pasir mendatangi Ratma Wijaya, selain membicarakan tentang ilmu kebatinan mereka juga terus berupaya mengatur strategi untuk mengusir penjajah Belanda yang ada di Indonesia khusunya Kabupaten Garut.

Belum selesai sampai sana cerita mereka jika ingin melakukan pertemuan, beberapa hal harus mereka pikirkan, akhirnya ke tiga tokoh yang ingin bertemu Ratma Wijaya tersebut merubah nama dan penampilan mereka.  Karena pada waktu itu penjajah Belanda sangat mengecam bahkan akan memasukan ke dalam penjara terhadap keberadaan orang-orang yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dan orang-orang yang melestarikan  adat leluhur sunda.

Sampai sekarang ini nama samaran ketiga tokoh yang sering datang ke kediaman Ratwa Wijaya lebih populer bagi pengayat Sunda Wiwitan Madrais. Nama-nama samaran tersebut adalah Mama Masmis dari Cibatu, siapa sangka jika nama Masmis diambil dari pekerjaannya dulu yang menjadi  masinis. Sedangkan dari Limbangan bernama Mama Pantun karena setiap ia berjalan selalu membawa alat musik kacapi seraya berpantun. Untuk tokoh dari Malangbong lebih dikenal dengan nama Mama Oray, meskipun belum diketahui asal-usul nama tersebut tercipta para penghayat Sunda Wiwitan Madrais meyakini ada makna yang belum diketahui  dari nama tersebut.

Hal tersebut juga dirasakan oleh tokoh pertama yang membawa ajaran Sunda Wiwitan Madrais di Jawa Barat yakni Sadewa Alibasa Koesoema Widajayadiningrat atau lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Madrais. Pada masa penjajah Belanda masyarakat Cigugur, Kuningan Jawa Barat terhasut sehingga Pangeran Madrais mendapat penilaian buruk dimata mereka karena dinilai memiliki ajaran yang sesat.

Seiring berjalan waktu para penganut kepercayaan Sunda Wiwitan Madrais yang di Kampung Pasir merasa bahagaia setelah pemerintah membuat peraturan bahwa setiap aliran kepercayaan boleh mencantumkan data diri pada Kartu Tanda Penduduk dan Akta Keluarga sesuai apa yang mereka percayai.

"Bagja pamerentah parantos ngarti, lain ukur samet dilindungi tapi leres-leres. Kapungkur mah akte kelahiran sesah, kumargi anjeunna anu meryogikeun. Pan bade didamel itu ieu upamana kedah aya eta, naha ku anjenna beut teu dikalurkeun atuh? Nya mereun anjeunna berpikir lebih jembar ayeuna (Bahagia pemerintah sudah mengerti, bukan hanya sampai dilindungi tetapi benar-benar. Dulu akta kelahiran susah, soalnya mereka yang membutuhkan. Kan mau kerja ini itu misalnya harus pakai itu, kenapa sama mereka tidak dikeluarkan? Ya mungkin mereka berpikir lebah luas sekarang)," Ungkap Abah Sutisna sambil tersenyum lepas

Keputusan pemerintah juga disyukuri oleh para penghayat Sunda Wiwitan Madrais yang di Kampung pasir karena mereka tidak mau mencantumkan agama lain di Kartu Tanda Penduduk. Hal tersebut dilakukan karena mereka merasa tidak mau ingkar atas kepercayaan yang telah dimiliki sekaligus tidak mau merugikan agama lain jika ada sebagian orang dari mereka berbuat yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah dan adat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun