Saat pertama memasuki jalan kecil terpampang tulisan 'Wilujeung Sumping' pada gapura seolah-olah pengunjung yang datang mendapat keramahan langsung dari para penduduk setempat. Mulai dari anak-anak, muda, tua, laki-laki dan perempuan riuh berbincang-bincang di halaman rumah mereka di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Hidup berada di permukiman padat penduduk, sebagian warga Kampung Pasir mempunyai ajaran tentang kepercayaan terhadap para leluhur Sunda zaman dahulu atau lebih dikenal oleh masyarakat luas yakni ajaran Sunda Wiwitan Madrais. Sebanyak 97 anggota keluarga dengan jumlah 300 jiwa penganut ajaran tersebut.
Kelompok penghayat Sunda Wiwitan Madrais hidup berdampingan dengan mayoritas pemeluk Agama Islam, meskipun demikian, mereka dapat melangsungkan segala aktivitas ibadah dan aktivitas bermasyarakat secara normal tanpa perselisihan terhadap perbedaan yang ada di lingkungan Kampung Pasir.
Sama seperti penganut agama lain bahwa penghayat Sunda Wiwitan Madrais juga memiliki kitab sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan mereka. Kitab tersebut bernama Kitab Hayat, kitab yang berisi ajaran tentang bagaimana seorang manusia harus bisa melihat kedalam diri untuk mengintrospeksi, juga proses cara manusia bisa mengenal kepada Tuhan.
Selain itu, pengahayat Sunda Wiwitan Madrais  memiliki ketentuan jadwal peribadahan mereka yang dilakukan dua kali dalam sehari yakni, menjelang matahari terbit pukul 05:00 WIB dan menjelang matahari terbenam pukul 18:00 WIB. Dalam pelaksanaan ibadah tersebut bisa mereka lakukan dengan ibadah secara berjamaah di salah satu aula atau dilakukan sendiri di rumah masing-masing.
Ada beberapa acara yang kerap mereka lakukan seperti seren taun pada malam 1 Sura. Setiap bulan juga sering diperingati beberapa kelahiran dari tokoh sampai hari meninggalnya  tokoh Sunda Wiwitan Madrais. Rangkaian acara biasa dilangsung di dalam bale atikan dan puncak acara dilaksanakan di Cigugur, Kuningan Jawa Barat.
Salah satu sesepuh penghayat Sunda Wiwitan Madrais di Kampung Pasir Abah Sutisna (78) menegaskan kepada para warga adat atau pengikut ajaran Sunda Wiwitan Madrais agar selalu menerapkan perilaku penuh toleransi kepada sesama manusia. Dalam menjalankan kehidupan mereka tidak boleh lepas dari gotong royong dan melakukan musyawarah jika ada kegiatan-kegiatan di lingkungan tempat mereka tinggal.
Meskipun penghayat Sunda Wiwitan Madrais masih menjaga adat para leluhur sunda zaman dahulu, mereka juga hidup mengikuti perkembangan zaman sekarang ini. Seperti dari segi penampilan yang mereka pakai untuk sehari-hari tidak terdapat aturan khusus seperti pada kampung adat pada umumnya.
"Tah ieu perbentenna sok sanaos sareng baduy Sunda Wiwitan, pami di baduy mah baduy luar kedah hideung pami baduy leubet mah bodas kitu. Janteun aya perbentenan, tah di Abah mah henteu janteun tolak ukur anu pasti dina perkawis anggoan mah "Nah ini perbedaannya meskipun dengan baduy Sunda Wiwitan, kalau di baduy, baduy luar harus hitam kalau baduy dalam harus putih gitu. Jadi ada perbedaannya, nah di Abah tidak menjadi tolak ukur yang pasti terkait pakaian)," Ungakap Sutisna pada hari Sabtu (05/12/2020).
Kendati demikian, para penghayat Sunda Wiwitan Madrais menyebut dirinya sebagai warga kampung adat, tetapi dari segi bangunan tempat tinggal mereka tidak terdapat perbedaan dengan rumah-rumah masyarakat Kampung Pasir pada umumnya. Hanya bangunan aula atau biasa merekea sebut bale atikan yang terlihat memakai ornamen bernuansa Suku Sunda.
Karena para pengayat Sunda Wiwitan Madrais mendapat petuah dari para leluhur mereka bahwa setiap perubahan zaman harus diikuti, tanpa harus menghilangkan nilai-nilai ajaran para leluhur yang sudah mereka dapat. Dengan demikian semua para penghayat Sunda Wiwitan Madrais dapat menyikapi hal-halb baru yang akan terjadi hari sekarang dan esok atas segala perubahan zaman.