Mohon tunggu...
Muhammad AudyaR
Muhammad AudyaR Mohon Tunggu... Petani - Belajar Menulis

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hidup Rukun Bersama Penghayat Sunda Wiwitan Madrais

10 Oktober 2021   23:18 Diperbarui: 10 Oktober 2021   23:27 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap anak-anak dari pengayat Sunda Wiwitan Madrais juga dipersilahkan untuk mengikuti pendidikan formal seperti anak-anak pada umumnya. Mereka juga mendaptkan pendidikan informal berupa pelajaran sekaligus pemahaman tentang bagaimana cara para leluhur mereka menjaga bangsa, melestarikan seni dan budaya yang masih  ada sampai saat sekarang ini.

Ada beberapa kesenian yang harus dipelajari oleh penghayat Sunda Wiwitan Madrais seperti Seni Tari Suara, Angklung Buncis, Pupuh Cianjuran yang telah diwariskan oleh para leluhur sunda zaman dahuhulu. Biasanya kesenian tersebut ditampilkam pada saat acara-acara tertentu, seperti seren tahun, hari kelahiran tokoh Sunda Wiwitan Madrais dan sebagainya.

Terlihat di bale atikan (aula)  perempuan-perempuan penghayat Sunda Wiwitan Madrais juga produktif sedang mengerjakan seni lukis batik. Ada belasan motif batik hasil buah tangan yang telah mereka tekuni sebelumnya, sebanyak  dua motif batik yang telah menjadi hak paten mereka, sehingga muncul nama dari motif batik tersebut Batik Pasiran.

Bukan hanya produksi batik tulis saja, para penghayat Sunda Wiwitan Madrais memiliki keterampilan tangan membuat sebuah peralatan rumah tangga dari logam, mengolah kayu yang nantinya bisa digunakan untuk cenderamata atau sekadar gantungan kunci. Hasilnya bisa menjadi rod perekonomian bagi mereka.
Nama Sunda Wiwitan juga mempunyai makna tersendiri bagi mereka, menurut Abah Sutisna arti dari sunda adalah harum dan putih bersih. Sedangkan wiwitan memiliki arti bahwa asal mula yang Maha Kuasa menciptakan manusia-manusia dengan berbagai suku bangsa yang berbeda-beda dan segala isi alam yang terdapat di dalamnya.

Dalam hal memilih agama Abah Sutisna membebaskan pengikut Sunda Wiwitan Madrais untuk tetap menjadi penghayat atau berpindah kepercayaan agama lain. Misal, dari salah satu penganut Sunda Wiwitan Madrais ingin keluar dari kepercayaannya untuk berpindah ke agama lain maka tidak akan mendapatkan sangsi sosial. Karena Abah Sutisna juga berada dalam lingkungan keluarga yang berbeda-beda agama, ada yang pemeluk Agama Islam dan Agama Kristen.

Setiap Hari Raya Idul Fitri  sesepuh Sunda Wiwitan Madrais sering kedatangan banyak tamu dari sanak saudara dan tetangga-tetangga yang memeluk kepercayaan berbeda dengan Abah Sutisna. Selain untuk silaturahmi mereka juga datang ke kediaman Abah Entis seraya membawa makanan khas yang biasa dibuat oleh orang-orang  pada Hari Raya Idul Fitri.

Ajaran Sunda Wiwitan Madrais datang sejak akhir abad 18 lalu di Kabupaten Garut yang dibawa oleh Ratma Wijaya. Pada waktu itu wilayah Indonesia masih dalam kuasa penjajah Belanda sehingga memaksa masyarakat pelosok yang ada di Kapupaten Garut terutama di Kampung Pasir mempelajari ilmu kebatinan untuk meraih kesaktian.

Dalam perjalanan sejarah  yang dipercayai oleh penghayat Sunda Wiwiran Madrais bahwa tokoh Ratma Wijaya berjuang menjaga diri, menjaga ajaran para pelulur sunda dan  berjuang mempertahankan negara dengan bersusah payah. Karena dirasa tidak akan mampu melawan penjajah Belanda dengan fisik akhirnya ia menghadapi mereka menggunakan sekaktian yang telah dimiliki.

Sejumlah tokoh dari Limbangan, Cibatu dan Malangbong sering malakukan pertemuan ke Kampung Pasir mendatangi Ratma Wijaya, selain membicarakan tentang ilmu kebatinan mereka juga terus berupaya mengatur strategi untuk mengusir penjajah Belanda yang ada di Indonesia khusunya Kabupaten Garut.

Belum selesai sampai sana cerita mereka jika ingin melakukan pertemuan, beberapa hal harus mereka pikirkan, akhirnya ke tiga tokoh yang ingin bertemu Ratma Wijaya tersebut merubah nama dan penampilan mereka.  Karena pada waktu itu penjajah Belanda sangat mengecam bahkan akan memasukan ke dalam penjara terhadap keberadaan orang-orang yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dan orang-orang yang melestarikan  adat leluhur sunda.

Sampai sekarang ini nama samaran ketiga tokoh yang sering datang ke kediaman Ratwa Wijaya lebih populer bagi pengayat Sunda Wiwitan Madrais. Nama-nama samaran tersebut adalah Mama Masmis dari Cibatu, siapa sangka jika nama Masmis diambil dari pekerjaannya dulu yang menjadi  masinis. Sedangkan dari Limbangan bernama Mama Pantun karena setiap ia berjalan selalu membawa alat musik kacapi seraya berpantun. Untuk tokoh dari Malangbong lebih dikenal dengan nama Mama Oray, meskipun belum diketahui asal-usul nama tersebut tercipta para penghayat Sunda Wiwitan Madrais meyakini ada makna yang belum diketahui  dari nama tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun