Meilani menggigil. Tubuhnya kurus kering tinggal kulit dan tulang belulang. Rambutnya kusut, pakaiannya kumal, wajahnya kusam. Wanita muda berusia dua puluh lima tahun, terusir dari rumah bordil akibat terjangkit penyakit lepra.
Meilani berjalan menyusuri jalanan yang kian pekat. Matahari tergelicir ke barat, bintang rembulan enggan menggantikan. Rintik hujan membasahi bumi, aspal terlihat pekat. Satu-satunya tempat untuk bermalam hanyalah kolong jembatan karena emperan toko sudah dipenuhi gelandangan.
Sudah tiga hari Meilani terkatung-katung di kota besar yang konon katanya menjanjikan kemakmuran bagi penghuninya. Perutnya lapar namun uangnya tiada lagi tersisa. Germo sudah mengambil banyak keuntungan darinya, termasuk menjual keperawanannya pada pria hidung belang.
Setiap manusia yang berlalu lalang hanya memandanginya dengan rasa jijik. Tidak ada welas asih atau sekedar basa-basi untuk menyapanya. Jika esok hari tiada orang yang sudi memberinya makan, Meilani bertekad mengais nasi sisa di tong sampah. Meilani akan berebut makan dengan tikus liar, kecoa, bahkan seekor anjing kudis sekalipun. Tidak ada yang lebih menjijikkan di dunia ini selain tubuh Meilani yang dipenuhi bintil-bintil lepra akibat tertular dari seorang pelanggannya.
Meilani terbatuk. Kerongkongannya terasa kering. Meilani menadahkan tangan, minum air hujan jauh lebih baik daripada ia mati kehausan. Meskipun Meilani sangat menginginkannya. Kematian adalah jalan terbaik bagi Meilani daripada hidup menanggung malu, juga penyakit yang membuatnya tersiksa.
Tidak ada jalan pulang. Kedua orang tuanya telah meninggal akibat bencana kebakaran yang menghanguskan tempat tinggalnya di desa. Pamannya lebih asik dengan permainan judi sementara bibinya yang jahat sudah menjualnya pada seorang germo. Kejahatan yang tidak pantas dimaafkan. Meilani akan mengingat peristiwa itu sepanjang hidupnya, membawanya sampai pada kematiannya. Bahkan jika memang bisa, Meilani akan menjelma menjadi hantu demi membalas dendam pada bibinya.
Germo itu bernama Subandi. Saat itu usia Meilani baru menginjak delapan belas tahun. Meilani yang cantik, bugar, dan dikagumi teman-temannya, terpaksa harus mengikuti Subandi ke kota atas paksaan bibinya. Katanya, ada pekerjaan yang harus Meilani lakukan. Apalagi saat itu Meilani baru saja lulus SMA dan tidak ada harapan baginya untuk melanjutkan kuliah karena tidak ada yang sudi membiayainya.
Meilani yang polos akhirnya mengikuti Subandi ke kota. Bibinya tersenyum licik melepas kepergiannya. Dan setelah tiga bulan berlalu, Meilani baru menyadari bahwa sang bibi sudah menjualnya ke Subandi dengan sejumlah uang yang fantastis. Sejumlah uang yang pada akhirnya dipergunakan oleh sang bibi untuk memperbaiki rumah, membeli perhiasan, serta membeli pakaian sutra.
Meilani bahkan yakin jika pamannya yang memiliki hubungan darah dengan ibu kandungnya, sesungguhnya mengetahui ulah istrinya. Namun sang paman seolah menutup mata. Ia lebih memilih untuk ikut menikmati kenyamanan bersama wanita jahat yang ia nikahi. Wanita jahat yang mandul. Meilani yakin, Tuhan tidak akan memberinya keturunan. Wanita jahat tidak layak mendapatkan anugrah.
Meilani berbaring di bawah jembatan, menyandarkan punggungnya di trotoar. Matanya terpejam namun ia belum juga bisa terlelap. Ketakutannya menyongsong hari esok membuat pikirannya melayang menembus ketidakpastian. Tidak ada lagi harapan selagi penyakit belum juga hengkang dari tubuhnya.