Mohon tunggu...
Atunk F. Karyadi
Atunk F. Karyadi Mohon Tunggu... Editor - Menulis yang manis dan mengedit yang pahit. Haaa

Suka yang klasik dalam kata, dan futuristik dalam kerja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kakek Peminta-minta di Pinggir Jalan

21 Juni 2016   15:13 Diperbarui: 21 Juni 2016   15:29 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar jumatwage.wordpress.com

AKU bisa saja mencari jalan lain untuk menghindari macet. Atau, menunggu setengah jam lagi agar jalan raya lengang. Tetapi, tidak mau. Aku harus melewati jalan itu, dan tepat pukul tujuh pagi.

“Kamu selalu tepat waktu masuk kantor, Bob.”

Kalimat itu seakan menjadi agenda wajib Salsa. Ia rekan kantorku, ya sebatas rekan tidak lebih. Jika aku masuk kantor selalu pukul 08.15 WIB, maka gadis berambut panjang itu lebih dulu sekira 10-15 menit. 

Sebenarnya, sudah lama aku ingin mengisahkan perjalananku dari rumah menuju kantor. Namun, kepada siapa aku hendak bercerita. Takut aku dikira membual, atau kisahku terlalu basi, atau bahkan teman yang akan aku ajak bercerita malah menjauh.

Kisah itu tentang kakek peminta-minta di pinggir jalan yang kerap aku jumpai saat menuju kantor. Aku rasa, Salsa adalah orang yang cocok untuk aku ajak cerita. Bukan karena dia seorang gadis yang lumayan cantik, lantas aku lebih bernafsu mengajaknya jadi lawan bicara. Juga bukan karena aku tidak punya rekan lain di kantor. Namun, lebih karena Salsa adalah orang pertama yang selalu menyapaku masuk kantor.

“PING!!!”

Aku mulai menyapanya lewat BBM.

“Iya, Bob, ada apa?”

“Nanti siang makan siang bareng, ya!”

“Aduh, sorry aku lagi bawa bekal dari rumah.”

“Oh, ya sudah.”

Rencanaku ingin bercerita pun kandas. Lain waktu mungkin.

***

SEORANG tetangga datang ke rumah. Ia membawakan oleh-oleh dari kampungnya. Sebuah kopi bubuk yang diwadahi tupperware bundar. Wajahnya berbinar-binar, senyum pun terus mengembang seperti iklan pasta gigi terbaru. Aku yang kelelahan baru saja tiba dari kantor jadi ikut bahagia.

Madan, namanya. Bujangan senior pencinta motor Vespa 180 Rally.

“Ini kopi, rasanya maknyuuus!”

Dia lantas memberikan oleh-olehnya itu kepadaku. Aku segera ke dapur untuk meraciknya setelah aku melempari Madan dengan sebungkus tembakau agar dia betah menungguku.

Dua cangkir kopi panas aku suguhkan. Aromanya memang berbeda dengan kopi-kopi pada umumnya. Madan memintaku mengambil tisu dan korek api batangan.

“Untuk apa?”

“Sudah sana, nanti aku kasih tahu gunanya.”

Gila! Melalui Madan, aku baru tahu, ternyata ada tradisi unik di Tanah Air tentang kopi, yaitu nyete. Jadi, ampas bekas bubuk kopi itu ditaruh cangkir. Lantas dikeringkan dengan tisu. Setelah air kopi benar-benar kering, dicampur dengan sedikit susu kental, lalu diaduk rata. 

Barulah kemudian, dengan batang korek api yang telah diruncingkan, adonan ampas kopi itu dibuat cat pada tubuh rokok. Madan sangat lihai melukis di batang rokok itu. Aku mengikutinya sekalipun hasilnya… buruk! Lukisan Madan menyerupai motif kain batik Nusantara, sedangkan hasil lukisanku lebih mirip gambar taoge, sperma juga encu—siklus nyamuk setelah dari telur—bentuknya bulat dan berbuntut.

Malam itu, aku yakin Madan adalah orang yang tepat untuk aku ajak bercerita tentang kakek peminta-minta di pingir jalan. Namun sayang, dia telanjur keburu pamit. Teman-temannya sesama pencinta vespa mengajaknya berkeliling. Entah kepada siapa aku akan bercerita. 

***

SEPERTI biasa, tepat jam tujuh pagi aku sudah amblas dari rumah. dengan berpakaian rapi, berjaket kulit warna coklat, dan bersepatu pantofel aku menuju kantor. Aku tak pernah khawatir motorku kehabisan bensin, sebab aku selalu mengisinya malam hari saat pulang. 

Ketika melintasi jalan Raya Bogor, aku sengaja mengambil jalur kiri. Tak lain karena aku ingin selalu bertemu dengan kakek peminta-minta di pinggir jalan itu. Bagiku, melihat wajahnya yang berkarakter itu adalah sebuah energi yang bisa membuat hidupku lebih bersemangat. 

“Selamat pagi, Bob.”

Salsa menyapaku ketika aku hendak menjulurkan jempolku ke mesin absensi fingerprint.

“Pagi, Nona...” balasku.

Pagi ini terasa hambar. Ada sedikit rasa canggung antara kami berdua. Aku yakin, karena kami masih menyimpan potongan kejadian kemarin. Saat aku mengajak Salsa makan siang bersama, dan dia menolaknya.

Aku biarkan saja. Nanti rasa itu pun akan hilang dengan sendirinya.

“Bob, coba kamu baca ini. Kisahnya menarik!”

Tiba-tiba Tata menyodorkanku sebuah tabloid. Ia membukanya, tepat pada rubrik cerpen. Hanya memakan waktu isapan tiga batang rokok, cerpen itu tuntas kubaca. 

“Benar-benar keren ceritanya. Kamu rutin membaca cerpen di tabloid?” aku mengembalikan tabloidnya.

“Iya, cerita-cerita fiksi memang selalu memberi inspirasi.”

Terus terang, itu adalah kali pertamanya aku membaca cerpen secara tuntas. Sebelum-sebelumnya paling hanya tiga sampai lima paragraf aku mampu membacanya. Maklum, banyak cerpen membingungkan pembacanya. Atau pembacanya yang tak bisa memahami cerpen. Entahlah. 

“Kalau kau punya cerita menarik, bisa juga dibikin cerpen, Bob.”

Tiba-tiba aku teringat tentang kakek peminta-minta di pinggir jalan. Mungkin kisah itu bisa dituangkan jadi cerpen, seperti yang diusulkan Tata. 

Sepulang dari kantor, aku langsung membuka laptop. Di layar canggih itu aku mencoba menuliskan kisah tentang kakek peminta-minta di pinggir jalan. Mungkin dengan cara ini, visi dan misiku berhasil. 

Namun sayang, burung tetaplah burung, tidak bisa dipaksa menyelam dalam laut, sebagaimana ikan yang tidak bisa dipaksa terbang ke angkasa luas. Aku tidak pernah menulis cerita. Baru satu setengah paragraf jari-jariku berhenti. Aku tak bisa melanjutkan bagaimana menulis cerita dengan bagus. Pun aku tak pernah mengikuti training dan workshop kepenulisan. 

***

IBUKU senang sekali menyaksikan acara-acara televisi seperti Kick Andy, Hitam Putih, sampai Bukan Empat Mata. Tampak malam ini, ibu duduk manis di depan kotak ajaib sambil mengemil kacang kulit. Kalau sudah begini, tidak seorang pun yang bisa mengganggunya, apalagi memindah channel televisi lain. 

“Tayangan ini berisi edukasi tinggi, lihat saja ‘orang-orang kecil’ bisa diangkat kepermukaan. Bukan seperti program lainnya yang hanya berisi hiburan, atau ajakan hidup ala selebritis,” pesan ibu suatu ketika.

“Tapi terkadang, ibu juga nonton sinetron-sinetron, hayooo…” bapak menyeloroh. 

“Loh, itu kan menyiasati nunggu iklan yang lewat.”

“Emangnya kalo nonton iklan kenapa, Bu?” adikku yang baru duduk di bangku SMP ikut diskusi."

“Bawaannya mau belanja terus, nanti kalau uangnya habis gimana?”

Ibu lalu kembali ke tayangan semula, mengemil lagi dan lagi sampai gemuk. 

Aku jadi terbesit untuk mengangkat kakek peminta-minta di pinggir jalan itu ke layar televisi. Namun lagi-lagi, aku tak tahu bagaimana caranya. Memang sih, aku punya teman-teman insan pertelevisian tapi apakah mereka mau mengangkat kisah ini? Setahuku, mereka lebih banyak memburu berita-berita yang bersifat komersial. Seperti, prestasi dan aktivitas pejabat tinggi, atau konflik partai politik yang berkepanjangan. 

“Bob, lihat nih!”

“Iya, Bu. Ada apa?”

“Tuh, masih banyak orang-orang miskin di negeri kita. Makanya, kamu jadi menteri sana, biar bisa bantu mereka.”

Aku memang tidak bisa meneteskan air mata seketika. Barulah di atas kasur, sebelum mataku terpejam, pipiku basah dengan linangan air mata. Betul kata ibu, di negeri ini masih banyak kaum dhuafa, dan tetap saja tidak ada yang mengurusnya sekalipun kabinet terus berganti—sekadar berganti nama bukan kinerja. Orang seperti kakek peminta-minta di pinggir jalan itu pun tidak satu jumlahnya. Pasti bisa dijumpai di mana saja.

***

“TUMBEN kamu terlambat, Bob?”

“Iya, Sa. Ada banjir di jalan.”

“Tapi, motor kamu nggak mogok, kan?”

“Untung saja tidak.”

Aku berbohong kepada Salsa. Di jalan, sebenarnya banjir tidak begitu besar. Macet pun seperti biasanya. Hanya saja, aku telat karena satu hal. Aku berhenti di jalan Raya Bogor, aku heran mengapa kakek peminta-minta di pinggir jalan itu tidak ada? Aku sampai memarkirkan motorku, tepat di lokasi di mana kakek peminta-minta di pinggir jalan itu duduk. 

Aku bertanya kepada pemilik bengkel di samping, dia menjawab tidak tahu. Toh, mana mungkin bos bengkel peduli dengan kakek peminta-minta di pinggir jalan itu. Aku melihat jam tangan, tidak ada yang ganjil. Biasanya tepat pukul ini aku melintas dan kakek peminta-minta di pinggir jalan itu juga ada di sini. 

Lalu, ke mana kakek peminta-minta di pinggir jalan itu pergi?

Tanpa dia, aku tidak lagi termotivasi. Semangatku meleleh. Aku relakan menelusuri jalan di mana kakek peminta-minta di pinggir jalan itu lewat. Aku menebaknya pasti lewat pinggir kali, dekat Pasar Kramat Jati. Beberapa orang yang aku temui mengaku mengenalnya, tapi tidak tahu di mana tempat tinggalnya.

“Biasanya, mangkal di pinggir jalan itu, Om,” sahut seorang bocah yang mengenakan jersey Real Madrid.

“Iya, biasanya jam segini kakek itu juga lewat sini kok, Nak,” ibu-ibu penjual kue cucur memberi informasi.

Aku lihat jam tangan, sudah 10 menit berlalu, kakek peminta-minta di pinggir jalan itu belum juga tampak. Perasaanku tidak enak, mungkinkah ia mencari tempat pangkalan lain, atau memang sengaja libur tidak mangkal, atau apa. Tepat lima menit kemudian aku cabut menuju kantor.

***

ESOKNYA, aku berangkat lebih pagi. Aku berhenti sejauh sepuluh lompatan kelinci dari tempat kakek peminta-minta itu biasa duduk. Sambil melawan bisingnya klakson kendaran, aku menyulut tembakauku. Kepulan asap keluar dari mulut dan hidungku. Aromanya lebih kunikmati daripada asap knalpot belalang modern yang macet di depan mataku. 

Dua batang rokokku habis. Kakek peminta-minta di pinggir jalan itu belum juga muncul. Aku ingin menunggunya lagi dengan satu batang rokok. Tapi langit keburu menghitam. Aku starter motorku, lalu melaju cepat menuju kantor. 

“Bob, ini ada tabloid dari Tata,” Salsa dengan gaun ungunya menuju mejaku. Aku menelan ludah. Setidaknya, jika aku tidak bertemu dengan kakek peminta-minta di pinggir jalan itu, minimal Salsa masih terus menyapaku setiap pagi. Itu nutrisi bagiku.

Aku membaca cerpen untuk kedua kalinya. Sial! Lagi-lagi aku iri ingin menjadi penulis cerita bagus. Kemudian aku mencoba akan men-share kisah tentang kakek peminta-minta di pinggir jalan itu lewat media sosial. Aku mencoba menulis sebisaku. Namun sayang, aku lupa pasword akun-akun sosmedku, mungkin karena seringnya berganti-ganti seperti kurs rupiah dan nominal harga BBM yang tak konsisten. 

Sudahlah, aku memang bukan orang yang pandai bercerita, juga bukan penulis cerita bagus. Aku hanya bisa mendoakan kakek peminta-minta di pinggir jalan itu. 

***

PING!!!” 

Aku kaget pagi-pagi buta Salsa menyapaku lewat BBM. Ini juga hari libur. Ada apa?

PING!!! juga...”

“Semalam aku bermimpi, Bob.”

“Mimpi apa, Sa?”

“Kita makan siang bersama, lalu kamu bercerita.”

“Cerita tentang apa?”

“Kakek peminta-minta di pinggir jalan.”

--TAMAT--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun