“Iya, Sa. Ada banjir di jalan.”
“Tapi, motor kamu nggak mogok, kan?”
“Untung saja tidak.”
Aku berbohong kepada Salsa. Di jalan, sebenarnya banjir tidak begitu besar. Macet pun seperti biasanya. Hanya saja, aku telat karena satu hal. Aku berhenti di jalan Raya Bogor, aku heran mengapa kakek peminta-minta di pinggir jalan itu tidak ada? Aku sampai memarkirkan motorku, tepat di lokasi di mana kakek peminta-minta di pinggir jalan itu duduk.
Aku bertanya kepada pemilik bengkel di samping, dia menjawab tidak tahu. Toh, mana mungkin bos bengkel peduli dengan kakek peminta-minta di pinggir jalan itu. Aku melihat jam tangan, tidak ada yang ganjil. Biasanya tepat pukul ini aku melintas dan kakek peminta-minta di pinggir jalan itu juga ada di sini.
Lalu, ke mana kakek peminta-minta di pinggir jalan itu pergi?
Tanpa dia, aku tidak lagi termotivasi. Semangatku meleleh. Aku relakan menelusuri jalan di mana kakek peminta-minta di pinggir jalan itu lewat. Aku menebaknya pasti lewat pinggir kali, dekat Pasar Kramat Jati. Beberapa orang yang aku temui mengaku mengenalnya, tapi tidak tahu di mana tempat tinggalnya.
“Biasanya, mangkal di pinggir jalan itu, Om,” sahut seorang bocah yang mengenakan jersey Real Madrid.
“Iya, biasanya jam segini kakek itu juga lewat sini kok, Nak,” ibu-ibu penjual kue cucur memberi informasi.
Aku lihat jam tangan, sudah 10 menit berlalu, kakek peminta-minta di pinggir jalan itu belum juga tampak. Perasaanku tidak enak, mungkinkah ia mencari tempat pangkalan lain, atau memang sengaja libur tidak mangkal, atau apa. Tepat lima menit kemudian aku cabut menuju kantor.
***