“Benar-benar keren ceritanya. Kamu rutin membaca cerpen di tabloid?” aku mengembalikan tabloidnya.
“Iya, cerita-cerita fiksi memang selalu memberi inspirasi.”
Terus terang, itu adalah kali pertamanya aku membaca cerpen secara tuntas. Sebelum-sebelumnya paling hanya tiga sampai lima paragraf aku mampu membacanya. Maklum, banyak cerpen membingungkan pembacanya. Atau pembacanya yang tak bisa memahami cerpen. Entahlah.
“Kalau kau punya cerita menarik, bisa juga dibikin cerpen, Bob.”
Tiba-tiba aku teringat tentang kakek peminta-minta di pinggir jalan. Mungkin kisah itu bisa dituangkan jadi cerpen, seperti yang diusulkan Tata.
Sepulang dari kantor, aku langsung membuka laptop. Di layar canggih itu aku mencoba menuliskan kisah tentang kakek peminta-minta di pinggir jalan. Mungkin dengan cara ini, visi dan misiku berhasil.
Namun sayang, burung tetaplah burung, tidak bisa dipaksa menyelam dalam laut, sebagaimana ikan yang tidak bisa dipaksa terbang ke angkasa luas. Aku tidak pernah menulis cerita. Baru satu setengah paragraf jari-jariku berhenti. Aku tak bisa melanjutkan bagaimana menulis cerita dengan bagus. Pun aku tak pernah mengikuti training dan workshop kepenulisan.
***
IBUKU senang sekali menyaksikan acara-acara televisi seperti Kick Andy, Hitam Putih, sampai Bukan Empat Mata. Tampak malam ini, ibu duduk manis di depan kotak ajaib sambil mengemil kacang kulit. Kalau sudah begini, tidak seorang pun yang bisa mengganggunya, apalagi memindah channel televisi lain.
“Tayangan ini berisi edukasi tinggi, lihat saja ‘orang-orang kecil’ bisa diangkat kepermukaan. Bukan seperti program lainnya yang hanya berisi hiburan, atau ajakan hidup ala selebritis,” pesan ibu suatu ketika.
“Tapi terkadang, ibu juga nonton sinetron-sinetron, hayooo…” bapak menyeloroh.