Rencanaku ingin bercerita pun kandas. Lain waktu mungkin.
***
SEORANG tetangga datang ke rumah. Ia membawakan oleh-oleh dari kampungnya. Sebuah kopi bubuk yang diwadahi tupperware bundar. Wajahnya berbinar-binar, senyum pun terus mengembang seperti iklan pasta gigi terbaru. Aku yang kelelahan baru saja tiba dari kantor jadi ikut bahagia.
Madan, namanya. Bujangan senior pencinta motor Vespa 180 Rally.
“Ini kopi, rasanya maknyuuus!”
Dia lantas memberikan oleh-olehnya itu kepadaku. Aku segera ke dapur untuk meraciknya setelah aku melempari Madan dengan sebungkus tembakau agar dia betah menungguku.
Dua cangkir kopi panas aku suguhkan. Aromanya memang berbeda dengan kopi-kopi pada umumnya. Madan memintaku mengambil tisu dan korek api batangan.
“Untuk apa?”
“Sudah sana, nanti aku kasih tahu gunanya.”
Gila! Melalui Madan, aku baru tahu, ternyata ada tradisi unik di Tanah Air tentang kopi, yaitu nyete. Jadi, ampas bekas bubuk kopi itu ditaruh cangkir. Lantas dikeringkan dengan tisu. Setelah air kopi benar-benar kering, dicampur dengan sedikit susu kental, lalu diaduk rata.
Barulah kemudian, dengan batang korek api yang telah diruncingkan, adonan ampas kopi itu dibuat cat pada tubuh rokok. Madan sangat lihai melukis di batang rokok itu. Aku mengikutinya sekalipun hasilnya… buruk! Lukisan Madan menyerupai motif kain batik Nusantara, sedangkan hasil lukisanku lebih mirip gambar taoge, sperma juga encu—siklus nyamuk setelah dari telur—bentuknya bulat dan berbuntut.