Mohon tunggu...
Riga Sanjaya
Riga Sanjaya Mohon Tunggu... -

Cerita-cerita dari bilik kepala.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takdir [Bagian 1]

28 Januari 2014   17:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:22 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bunda, tolonglah kali ini aja berkorban buat Firman. Jual tanah punya Bunda itu.”

Anak lelakiku meminta dengan sedikit memaksa.

“Bunda nggak bisa, Fir. Cuma itu harta yang Bunda masih punya, selain rumah yang kita tempati sekarang.” Aku berusaha bertahan.

“Kalau Bunda nggak mau berkorban, kayak mana nasib Firman, Bun? Jadi tentara itu cita-cita Firman sejak kecil. Sekarang umur Firman udah dua puluh. Kesempatan buat masuk tinggal sedikit lagi. Lihat itu si Popon, udah jadi tentara dia sekarang.”

“Fir...”

“Kenapa sih Bunda nggak mau lihat anaknya senang?” Firman memalingkan wajahnya, menatap halaman yang gelap sebab lampu belum dinyalakan. Dadanya naik turun menahan emosi.

“Bukan Bunda nggak mau, Firman. Tapi kamu kan tahu sendiri, kalau tanah itu dijual, kita nggak bisa nanam lagi. Lalu Bunda nyari duitnya dari mana? Kita mau makan apa?”

Firman tak menjawab. Aku melanjutkan kalimatku.

“Dan lagi kalau dijual paling laku cuma berapa? Sementara buat masuk jadi tentara biayanya berapa? Kamu tahu kan berapa puluh juta yang udah dikeluarin bapaknya si Popon biar dia jadi tentara? Tahu kan?”

Aku berusaha menekan emosiku. Anak bungsuku ini memang manja. Jika keinginannya tidak dipenuhi, dia akan merajuk. Padahal sekarang dia bukan anak-anak lagi.

“Aaaaah!  Firman benci kayak gini! Punya cita-cita tapi nggak didukung orangtua. Coba kalau Ayah sama Bunda nggak pisah, pasti Firman nggak jadi kayak gini.”

“Firman!”

Seketika emosiku melonjak. “Kamu tahu kan kayak mana perlakuan Ayahmu sama Bunda? Bunda udah coba tahan-tahan sabar. Bunda juga nggak mau pisah. Malu, udah tua. Tapi Bunda nggak tahan juga. Makanya Bunda minta cerai dari Ayahmu. “ Aku menata emosiku. Dadaku terasa perih sebab luka lama itu terbuka lagi. Aku bangkit menuju meja makan, mengambil segelas air minum. Meneguknya perlahan hingga tandas, lalu kembali duduk di depan Firman.

“Apa Bunda nggak bisa minjam duit aja dulu?”

Astaghfirullah! Firman berkata dengan ringan, seolah pinjam duit itu urusan gampang.

“Mau dijaminkan apa? Bunda nggak punya apa-apa. Mengerti lah sikit.  Kau kan bisa cari kerja yang lain. Apa saja asal halal.”

“Aaaah, ngomong sama Bunda memang nggak nyambung! Ini soal cita-cita, mana bisa seenaknya aja diganti. Kerja? Kerja apa? Mana enak kalau nggak sesuai cita-cita.”

“Firman!”

“Ah, mending minta sama Ayah aja. Pasti Ayah dan Tante Sari mau bantu.” Firman berkata sambil bangkit dari kursi. Sontak telingaku panas mendengar nama perempuan itu disebut. Darahku mendidih karena anak kesayanganku itu seperti memuji perempuan sialan yang sudah merebut suamiku.

“YA SUDAH!! PERGI SANA TEMUI AYAHMU!! TEMUI IBU TIRIMU, PEREMPUAN SIALAN ITU!! BUNDAMU INI MEMANG MISKIN, NGGAK BISA APA-APA!! PERGI SANAAA!”

Mataku memerah murka. Napasku seakan hendak lepas. Kurasakan wajahku seperti dipanasi uap. Firman yang semula hendak berlalu kini berdiri terpaku. Ia berdiri memandangku. Wajahnya menyiratkan campuran antara rasa takut dan rasa bersalah. Aku meliriknya.

“TUNGGU APA LAGI? PERGI SANA!” Sentakku garang. Dia berlalu cepat-cepat dari hadapanku. Aku berjalan menuju beranda. Kuharap angin yang berhembus bisa menenangkan pikiranku.

************

Langit sore sedikit gelap tersaput mendung. Semilir angin senja meniup dedaunan pohon mangga besar yang dahan-dahannya menjulur rendah di samping rumah. Beberapa daun kering jatuh berserakan di halaman yang sudah seharian belum disapu. Aku duduk melamun di balai bambu di depan rumah, menatap kosong ke arah jalanan yang sesekali dilalui becak dan sepeda motor. Menunggu.

Dari arah seberang jalan kulihat sesosok perempuan berjalan ke arah rumahku. Aku memicingkan  mata tuaku, mencoba mengamati lebih saksama. Belum sempat aku mengenali siapa perempuan itu, dia lebih dulu berteriak memanggilku.

“Mak Isah!”

Aku kenal suaranya. Itu suara Midah, saudaranya kepala lorong di sini. Usianya sudah menjelang tiga puluh tahun dan belum menikah. Sepertinya dia lebih sibuk memikirkan usaha salon yang dia buka di rumahnya ketimbang urusan mencari jodoh. “Ah, kalau udah waktunya ya jodoh datang sendiri.” Begitu yang sering dia katakan pada setiap orang yang bertanya.

Sosok langsing dan tinggi itu sudah sampai di depan pagar rumah. Dia membuka pintu pagar dari bambu sambil tersenyum riang. Ah, memang seperti itulah sifatnya. Periang dan menyenangkan.

“Eh, kau rupanya Dah. Sedang senang hatimu rupanya ya?” Aku menepuk ruang kosong di sampingku, mengajaknya duduk di sebelahku.

“Ah, biasa aja kok, Mak.” Midah duduk di sebelah kananku. Tangannya menyodorkan sebuah plastik. “Tadi Midah mampir di pasar, lihat mangga bagus-bagus. Midah belikan sekilo buat Mak Isah.” Dia tersenyum.

Aku terharu menerima pemberiannya. “Makasih, Dah. Kau memang selalu perhatian sama janda tua kayak aku ini.”

Midah tersenyum tak menanggapi. Kepalanya melirik ke dalam rumah. Senyumnya tersimpul. “Si Firman kemana, Mak?”

Aku sudah mendengar kabar kalau Midah ada hati dengan Firman. Tapi sejauh pengamatanku, Firman tidak menanggapi perhatian dari Midah. Mungkin dia menganggap Midah terlalu tua buatnya. Atau dia menganggap Midah hanya sebagai kakak.

“Mak... Kok nggak dijawab?”

Aku tergeragap. Rupanya aku melamun.

“Firman...”

Midah menatapku. Menunggu.

“Dia minggat ke rumah bapaknya.”

“Ya ampun! Memangnya ada apa, Mak?” Midah tampak prihatin. Aku menatap wajah Midah. Ya, anak ini bisa kupercaya. Maka mengalirlah cerita tentang pertengkaran aku dan Firman kemarin.

*************

Midah menatapku prihatin. Dielus-elusnya pundakku. Saat bercerita tak urung emosiku ikut naik.

“Yang sabar, Mak. Terus si Firman kapan perginya?”

Aku menghembuskan napas. “Tadi pagi. Nggak tahu persisnya. Sepulang dari pasar, kulihat kamarnya kosong. Cuma ada kertas di mejanya, tulisannya cuma : Bunda, aku ke rumah Ayah.”

Midah mengangguk-angguk. “Jadi dia ke tempat ayahnya di Banda Aceh ya, Mak?”

Aku diam. Rasanya pertanyaan Midah tak memerlukan jawaban.

Ada keheningan panjang di antara kami berdua. Midah seperti kehilangan kata. Sementara aku memilih untuk tak berkata-kata. Midah akhirnya bersuara.

“Mak, sini mangganya aku kupasin. Tadi udah aku cobain, manis kok. Midah ambil pisau di dapur ya.”

Tanpa menunggu jawabanku, dia melesat ke dapur. Semenit kemudian Midah kembali. Di tangan kanannya tergenggam sebilah pisau. Tangan kirinya memegang sebuah ponsel yang sedang berdering.

“Mak, ini hape Mamak, kan? Ada telpon dari nomor nggak dikenal nih!” Midah mengulurkan ponsel jadul yang kubeli dalam kondisi bekas setahun lalu. Kupicingkan mata membaca layar. Tidak tertera nama siapapun, hanya sederet angka. Kutekan tombol ‘on’, lalu sebuah suara bernada resmi menyapaku. Hatiku mendadak cemas.

“Mak, kok nangis? Ada apa?” Midah bertanya khawatir melihatku seperti orang yang mendapat pukulan mental sesudah menerima telepon dari orang tak dikenal. Midah memelukku erat-erat, sebab aku sudah mulai menangis tersedu.

“Firman, Dah...si Firman...” jawabku di antara isak.

“Iya, Firman kenapa, Mak?”

“Kecelakaan.” Tangisku kian keras.

“Innalillahi.”

[bersambung]

cerita-cerita lain bisa dibaca di SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun