Mohon tunggu...
Riga Sanjaya
Riga Sanjaya Mohon Tunggu... -

Cerita-cerita dari bilik kepala.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takdir [Bagian 1]

28 Januari 2014   17:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:22 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

************

Langit sore sedikit gelap tersaput mendung. Semilir angin senja meniup dedaunan pohon mangga besar yang dahan-dahannya menjulur rendah di samping rumah. Beberapa daun kering jatuh berserakan di halaman yang sudah seharian belum disapu. Aku duduk melamun di balai bambu di depan rumah, menatap kosong ke arah jalanan yang sesekali dilalui becak dan sepeda motor. Menunggu.

Dari arah seberang jalan kulihat sesosok perempuan berjalan ke arah rumahku. Aku memicingkan  mata tuaku, mencoba mengamati lebih saksama. Belum sempat aku mengenali siapa perempuan itu, dia lebih dulu berteriak memanggilku.

“Mak Isah!”

Aku kenal suaranya. Itu suara Midah, saudaranya kepala lorong di sini. Usianya sudah menjelang tiga puluh tahun dan belum menikah. Sepertinya dia lebih sibuk memikirkan usaha salon yang dia buka di rumahnya ketimbang urusan mencari jodoh. “Ah, kalau udah waktunya ya jodoh datang sendiri.” Begitu yang sering dia katakan pada setiap orang yang bertanya.

Sosok langsing dan tinggi itu sudah sampai di depan pagar rumah. Dia membuka pintu pagar dari bambu sambil tersenyum riang. Ah, memang seperti itulah sifatnya. Periang dan menyenangkan.

“Eh, kau rupanya Dah. Sedang senang hatimu rupanya ya?” Aku menepuk ruang kosong di sampingku, mengajaknya duduk di sebelahku.

“Ah, biasa aja kok, Mak.” Midah duduk di sebelah kananku. Tangannya menyodorkan sebuah plastik. “Tadi Midah mampir di pasar, lihat mangga bagus-bagus. Midah belikan sekilo buat Mak Isah.” Dia tersenyum.

Aku terharu menerima pemberiannya. “Makasih, Dah. Kau memang selalu perhatian sama janda tua kayak aku ini.”

Midah tersenyum tak menanggapi. Kepalanya melirik ke dalam rumah. Senyumnya tersimpul. “Si Firman kemana, Mak?”

Aku sudah mendengar kabar kalau Midah ada hati dengan Firman. Tapi sejauh pengamatanku, Firman tidak menanggapi perhatian dari Midah. Mungkin dia menganggap Midah terlalu tua buatnya. Atau dia menganggap Midah hanya sebagai kakak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun