************
Langit sore sedikit gelap tersaput mendung. Semilir angin senja meniup dedaunan pohon mangga besar yang dahan-dahannya menjulur rendah di samping rumah. Beberapa daun kering jatuh berserakan di halaman yang sudah seharian belum disapu. Aku duduk melamun di balai bambu di depan rumah, menatap kosong ke arah jalanan yang sesekali dilalui becak dan sepeda motor. Menunggu.
Dari arah seberang jalan kulihat sesosok perempuan berjalan ke arah rumahku. Aku memicingkan mata tuaku, mencoba mengamati lebih saksama. Belum sempat aku mengenali siapa perempuan itu, dia lebih dulu berteriak memanggilku.
“Mak Isah!”
Aku kenal suaranya. Itu suara Midah, saudaranya kepala lorong di sini. Usianya sudah menjelang tiga puluh tahun dan belum menikah. Sepertinya dia lebih sibuk memikirkan usaha salon yang dia buka di rumahnya ketimbang urusan mencari jodoh. “Ah, kalau udah waktunya ya jodoh datang sendiri.” Begitu yang sering dia katakan pada setiap orang yang bertanya.
Sosok langsing dan tinggi itu sudah sampai di depan pagar rumah. Dia membuka pintu pagar dari bambu sambil tersenyum riang. Ah, memang seperti itulah sifatnya. Periang dan menyenangkan.
“Eh, kau rupanya Dah. Sedang senang hatimu rupanya ya?” Aku menepuk ruang kosong di sampingku, mengajaknya duduk di sebelahku.
“Ah, biasa aja kok, Mak.” Midah duduk di sebelah kananku. Tangannya menyodorkan sebuah plastik. “Tadi Midah mampir di pasar, lihat mangga bagus-bagus. Midah belikan sekilo buat Mak Isah.” Dia tersenyum.
Aku terharu menerima pemberiannya. “Makasih, Dah. Kau memang selalu perhatian sama janda tua kayak aku ini.”
Midah tersenyum tak menanggapi. Kepalanya melirik ke dalam rumah. Senyumnya tersimpul. “Si Firman kemana, Mak?”
Aku sudah mendengar kabar kalau Midah ada hati dengan Firman. Tapi sejauh pengamatanku, Firman tidak menanggapi perhatian dari Midah. Mungkin dia menganggap Midah terlalu tua buatnya. Atau dia menganggap Midah hanya sebagai kakak.