“Ini ibu kandungnya Firman, Kak.” Midah menunjukku. Perawat itu menatapku sebentar. Kemudian ia menjawab. “Silakan menjenguk, dia ada di tempat tidur dekat jendela, tapi tolong jangan berisik ya. Semua pasien sedang istirahat.”
Kami mengangguk serempak. Perawat itu berlalu menuju sebuah ruangan di ujung koridor. Tiba-tiba ia berbalik, “Oh ya, masuknya bergiliran, jangan sekaligus.” Kami mengangguk.
Semula aku masuk duluan dan Midah menunggu di luar. Tapi setelah perawat tadi menghilang di persimpangan, aku memanggil Midah untuk sekalian masuk. Aroma alkohol dan obat langsung menyergap hidung kami. Ruangan itu cukup luas, dengan dinding-dinding berwarna krem yang tampak masih baru. Di dalam ruangan ini ada enam tempat tidur tapi hanya ada empat tempat tidur yang terisi. Semua pasien tampak sedang tertidur. Pandanganku tertuju pada sosok yang sebagian besar tubuhnya , termasuk bagian wajah dan kepala tertutup perban putih. Aku mendekat perlahan dengan penuh keharuan.
“Firman....” Aku berbisik lirih. Susah payah kutahan airmata yang menggenang di pelupuk mata agar tak tumpah. Tubuh itu berbaring menghadap dinding, membelakangiku. Ingin rasanya kubalikkan tubuh itu untuk kupeluk erat, tapi aku tak tega membangunkannya. Kutarik sebuah kursi plastik lalu duduk di bagian kaki tempat tidur. Midah duduk di ranjang seberang yang tak ditiduri pasien.
Entah berapa lama aku memandangi sosok yang tengah tertidur itu. Perasaanku sedikit miris. Sepertinya luka-luka yang diderita Firman cukup parah. Aku bangkit dan mendekati Firman. Tanganku terulur hendak membelai rambutnya. Tepat pada saat itu Firman berbalik. Aku terhenyak. Dia bukan Firman!
[bersambung]
cerita-cerita lain bisa dibaca di SINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H