Aku melirik Midah, meminta bantuannya. Midah segera mengerti isyaratku.
“Begini, Pak. Kami mencari anggota keluarga. Kami dapat kabar kalau tadi siang ada tabrakan bus dengan bus di daerah Bireuen dan korban-korbannya dibawa ke mari.”
Dokter itu menyikut temannya yang kemudian tergeragap.
“Ya, Pak?” katanya sambil mengucek mata.
“Buka buku daftar pasien!”
“Namanya siapa, Kak?” Dokter itu kembali menatap kami.
Midah melirikku. Cepat-cepat aku menjawab. “Firman Awwadin.”
Mahasiswa magang itu dengan sigap membuka buku catatan dan menelusuri nama-nama yang tercantum. Dokter muda yang kuketahui bernama Mahdi mengajak kami mengobrol.
“Kecelakaannya tragis kali, Kak, Bu. Kurasa kencang kali supir-supir itu bawa busnya. Udah macam dikejar setan aja.”
Kakiku membeku. Kucengkeram lengan Midah lebih erat. Dokter muda itu melanjutkan bicaranya.
“Korban paling banyak ya yang di bus menuju Banda Aceh. Macam mana nggak, busnya udah tabrakan, nabrak tiang listrik trus terbalik jatuh ke sawah-sawah pula. Dari 24 penumpang, cuma enam orang yang selamat.”