Mohon tunggu...
Athfal NurBaeti
Athfal NurBaeti Mohon Tunggu... Jurnalis - Website developer, jurnalis media berita

Halo. Saya gemar menulis berbagai topik, terutama teknologi, hiburan, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Anti-Romantic Bestfriend

5 Juli 2023   18:50 Diperbarui: 5 Juli 2023   20:39 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Chapter 1 - Sayangnya Aku Menyukainya


Musim panas baru dimulai, aroma terik tercium lebih tajam dari kemarin. Duduk di boncengan belakang sepeda tidak terasa jauh berbeda bagi Momo, kecuali matahari yang sedikit membakar rambut hitamnya. Daripada itu, bukankah pria yang mengayuh pedal dari tadi harusnya lebih diperhatikan?

"Ya ampun, ada apa dengan siang ini? Bukankah ini terlalu berlebihan untuk awal musim panas?" keluh Momo seraya menyeka keringat di balik poni.

"Berhentilah mengeluh. Aku lebih pantas mengatakan itu, apalagi kau terasa lebih berat akhir-akhir ini."

Refleks bibir Momo terlipat. "Bilang saja aku gendut!"

"Aku tidak mengatakan itu. Tapi kalau kamu sadar, syukurlah."

"Mulut!" Satu pukulan mendarat di tas punggung pria di depan Momo. "Apa kau sadar jika mulut jujurmu itu sangat menyebalkan?" lanjut gadis itu.

Pria di depan Momo terkekeh pelan sembari menyeimbangkan sepeda yang oleng. "Aku hanya diberitahu jika jujur adalah hal baik, bukannya menyebalkan."

"Dasar Bastian menyebalkan!" Ingin melipat kedua tangan, sayangnya Momo terlalu takut untuk tidak berpegangan.

Tak ada jawaban dari Bastian, tertawa adalah reaksi terbaik setelah menggoda gadis yang telah menjadi sahabat kecilnya itu.

Sahabat kecil. Mungkin itu sebutan yang paling tepat untuk menjelaskan hubungan dua remaja ini. Entah bagaimana awalnya, rasanya mereka sudah sangat lama menghabiskan pergantian musim bersama.

10 tahun, bahkan hubungan persahabatan Momo dan Bastian menghabiskan waktu lebih banyak dari setengah umur mereka.

Bukan hanya empat musim, bahkan sungai yang dilewati setiap pulang sekolah harusnya sudah mengenal mereka dengan baik.

"Lupakan tentang aku yang menyebalkan. Apa kau luang sore ini?"

Mendengar itu, Momo melempar pandangan pada wajah yang hanya terlihat setengah. "Kenapa? Jangan bilang kau mau menyuruhku menggantikanmu berjaga di toko. Jika itu, aku akan dengan tegas menolak."

Masih dengan kaki mengayuh pedal, Bastian menjawab, "Bukan. Lagipula adikku ada di rumah, aku tidak perlu menjaga toko. Aku mau mengajakmu ke suatu tempat."

"Oh, apa ini? Akhirnya kau mengajakku kencan?"

"Kau akan tahu nanti."

Seperti udara tiba-tiba berubah menjadi gula. Bahkan aroma terik yang satu detik lalu masih menyengat, kini sangat terasa manis melewati tenggorokan gadis yang tak bisa menyembunyikan senyum. Di balik punggung Bastian, pipi Momo memerah.

Entah sejak kapan kalimat sederhana itu dapat membuat jantung Momo berdebar. Punggung yang sudah bertahun-tahun terlihat biasa saja, kini nampak bidang dan luas. Kemudian rahang yang tak pernah diperhatikan, sekarang bahkan membuat gadis itu tak bisa mengalihkan pandangan.

"Sejak kapan ...?" Kalimat Momo terhenti, tanpa sadar ia mengeluarkan apa yang ada di pikiran.

"Apa?"

Kedua mata Momo melebar. "Ha?"

"Ha? Ada apa?"

Tak bisa mendengar jelas, Momo mencondongkan kepala ke depan. "Apa? Kau bilang sesuatu?"

"Tidak." Bastian menggeleng. "Bukankah kamu yang tadi bilang sesuatu?"

Tidak merasa, dahi Momo mengerut. "Tidak ada. Aku tidak mengatakan apapun," ucapnya dengan yakin. Benar, gadis ini bahkan tidak sadar dengan apa yang keluar dari mulutnya beberapa saat lalu.

Bastian tak lagi menimpali, mungkin ia juga tidak terlalu peduli. Hingga tanpa ada obrolan yang berarti, keduanya sudah tiba di depan rumah mewah berlantai dua.

"Turun. Sampai kapan kau akan terus duduk di sana?" ucap Bastian setelah menghentikan sepeda.

"Dih, sabar. Baru juga berhenti," pekik Momo, kesal.

Seolah membuat Momo kesal adalah hal yang menyenangkan, Bastian terkekeh. "Aku akan menjemputmu jam empat nanti, oke?" lanjutnya.

Momo terdiam. Bibirnya memang terlipat, tapi siapa yang menduga jika di dalam sana ada kupu-kupu yang berterbangan. Ketika tak bisa menyembunyikan senyum, memukul Bastian dengan tas adalah satu-satunya cara untuk bersembunyi.

"Aku dengar. Sana pergi!"

Hanya tertawa, akhirnya Bastian beranjak. Kembali mengayuh pedal menyusuri jalan menuju toko kelontong di ujung gang. Sementara di belakang, Momo masih menatap punggung pria yang tak henti membuatnya tersenyum.

Sebuah perasaan yang seharusnya tidak ada di tengah persahabatan.

"Bastian mengajakku pergi," ucap Momo dengan senang. Pintu kamar yang sudah tertutup membuatnya semakin bertingkah kegirangan. "Baju apa yang harus aku pakai?"

Tanpa sadar, kaki ringan Momo melangkah menuju lemari. Memilah baju dengan hati-hati, sampai kesadarannya kembali, ia menggeleng kencang. "Tunggu. Sejak kapan aku memperhatikan penampilan? Bukankah kami sudah sering pergi bersama. Kau tidak boleh terlalu senang Momo. Benar, pakai baju yang biasa saja."

Setelah memutuskan dengan anggukan mantap, gadis itu kembali beranjak dari depan lemari. Duduk di atas ranjang dengan perasaan yang sulit dimengerti. Entah sudah berapa lama, tetapi lambat laun perasaannya mengalir seperti udara. Lembut, dan baru terasa ketika mereka sudah menumpuk.

Jarum jam seolah berjalan lebih lambat. Menunggu Bastian kali ini terasa mendebarkan. Hingga ketika belum genap jarum panjang menyentuh angka empat, suara motor berhenti di depan rumah, membuat Momo bergegas menuruni tangga dan berlari keluar.

Siapa yang mengira, pangeran yang biasanya menunggangi kuda putih kini sudah tiba dengan belalang besi beroda dua.

Tidak ada masalah dengan tampilan casual kaos dan celana pendek yang Bastian kenakan, kecuali ransel yang pria ini pakai sedikit menyita perhatian.

"Sebentar. Mungkin aku terlambat menyanyakan ini, tapi kemana sebenarnya kita akan pergi?" tanya Momo dengan ragu.

Sambil menyerahkan helm, Bastian menjawab, "Ke waduk. Kita akan menghabiskan sore di sana."

Mendengarnya, Momo terdiam sebentar. Matanya menyipit penuh keraguan. "Menghabiskan sore ... baiklah, kuharap aku tidak terlalu kecewa," gumamnya.

Tentu, setelah mendengar tempat mereka akan pergi adalah waduk, Momo merasa sedikit ragu. Meski bisa dibilang itu adalah salah satu tempat wisata, tapi tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh remaja seperti mereka.

Dengan harap-harap cemas, Momo hanya berdoa semoga kekhawatirannya tidak terjadi. Namun sepertinya benar, semakin kita mengkhawatirkan sesuatu, kemungkinan hal itu terjadi semakin tinggi.

Lalu benar saja, saat Bastian tidak menghentikan motor di parkiran yang tersedia, dugaan terburuk Momo seperti menemukan pintu untuk diiyakan. Alih-alih berhenti, Bastian justru terus melajukan motornya hingga tiba di tepi waduk.

Pemandangan yang seharusnya nampak menyenangkan berubah seketika saat Momo melihat ada banyak sekali pemancing di sekeliling.

"Bastian, jangan bilang kamu ... mengajakku kemari untuk memancing?" tanya Momo dengan ragu.

Membenarkan pertanyaan Momo, Bastian mengangguk. Senyum lebar mengembang seraya mengeluarkan dua alat pancing dari dalam tas. Merentangkannya, lalu menyerahkan pada gadis yang mulutnya masih menganga.

"Ini. Kau bisa memasang umpan sendiri, kan? Sebenarnya aku akan pergi sendiri, tapi mengingat kau pandai memancing, sepertinya akan dapat lebih banyak jika aku mengajakmu." Bastian mengatakan itu dengan enteng, ia tidak tahu jika gadis di sampingnya hampir menelannya hidup-hidup sekarang.

Momo menarik napas sangat dalam. Benar, tidak seharusnya ia berharap banyak pada pria seperti Bastian. 10 tahun berteman sepertinya belum cukup bagi Momo untuk mengerti bagaimana otak pria itu berpikir.

Tak mau berdebat, Momo menerima alat pancing dengan wajah terlipat. Ia memilih diam dan mengikuti apa yang sahabatnya katakan. Memasang umpan dan melemparnya lebih jauh dari Bastian. Sudah sangat jelas, ia tidak dianggap sebagai wanita oleh pria itu.

Meski kesal, setidaknya Momo merasa lebih baik karena ia bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Bastian. Namun, sepertinya ketenangan bukan hal yang gadis ini inginkan.

Ketika keadaan menjadi hening cukup lama, tiba-tiba Momo berteriak, membuat seluruh mata fokus di sana teralihkan, terutama Bastian yang terkejut hampir melempar pancing.

"Aaa! Ini pasti bercanda! Kenapa tidak ada ikan di sini! Ini semakin membuatku kesal!"

***

Halo. Ini penulis ^^ Semoga kalian suka dan nantikan chapter selanjutnya~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun