"Aku dengar. Sana pergi!"
Hanya tertawa, akhirnya Bastian beranjak. Kembali mengayuh pedal menyusuri jalan menuju toko kelontong di ujung gang. Sementara di belakang, Momo masih menatap punggung pria yang tak henti membuatnya tersenyum.
Sebuah perasaan yang seharusnya tidak ada di tengah persahabatan.
"Bastian mengajakku pergi," ucap Momo dengan senang. Pintu kamar yang sudah tertutup membuatnya semakin bertingkah kegirangan. "Baju apa yang harus aku pakai?"
Tanpa sadar, kaki ringan Momo melangkah menuju lemari. Memilah baju dengan hati-hati, sampai kesadarannya kembali, ia menggeleng kencang. "Tunggu. Sejak kapan aku memperhatikan penampilan? Bukankah kami sudah sering pergi bersama. Kau tidak boleh terlalu senang Momo. Benar, pakai baju yang biasa saja."
Setelah memutuskan dengan anggukan mantap, gadis itu kembali beranjak dari depan lemari. Duduk di atas ranjang dengan perasaan yang sulit dimengerti. Entah sudah berapa lama, tetapi lambat laun perasaannya mengalir seperti udara. Lembut, dan baru terasa ketika mereka sudah menumpuk.
Jarum jam seolah berjalan lebih lambat. Menunggu Bastian kali ini terasa mendebarkan. Hingga ketika belum genap jarum panjang menyentuh angka empat, suara motor berhenti di depan rumah, membuat Momo bergegas menuruni tangga dan berlari keluar.
Siapa yang mengira, pangeran yang biasanya menunggangi kuda putih kini sudah tiba dengan belalang besi beroda dua.
Tidak ada masalah dengan tampilan casual kaos dan celana pendek yang Bastian kenakan, kecuali ransel yang pria ini pakai sedikit menyita perhatian.
"Sebentar. Mungkin aku terlambat menyanyakan ini, tapi kemana sebenarnya kita akan pergi?" tanya Momo dengan ragu.
Sambil menyerahkan helm, Bastian menjawab, "Ke waduk. Kita akan menghabiskan sore di sana."