Jalan Tuhan memanglah terbaik, itu yang saya rasakan ketika dulu diberi kesempatan kuliah di Jakarta. Selama kuliah, Tuhan mempertemukan aku dengan Tante Yulia yang merupakan adik ayah yang juga tinggal di Jakarta.
Seiring waktu saya dekat dengan Tante Yulia dan sedikit banyak tahu kehidupan ayah setelah bercerai. Telah menikah kembali dan memiliki 2 anak, setidaknya itulah sedikit informasi yang saya terima.
Hal tidak terduga, dalam suatu pertemuaan saya justru bertemu dengan ayah. Sosok yang nyaris 20 tahun menghilang dari hidupku. Saya hanya diberi tahu oleh Tante Yulia bahwa ayah ada di sekitar kami dan benar saja, seseorang lelaki yang sudah sepuh mendekat dan menanyai nama dan kabar.Â
Beliau adalah ayah saya dan sempat mengatakan "maaf telah menghilang dan tidak bisa menjadi ayah yang baik".
Saya hanya tersenyum, saya teringat dengan kisah Paus Yohanes Paulus II yang dengan ketulusan hati memaafkan orang yang telah melukainya. Disinilah saya akhirnya bisa tersenyum dan dalam hati saya juga memaafkan kesalahan yang sempat dilakukan ayah saya.
"Memaafkan adalah Bagian dari Kebajikan"
Saya justru mengingat momen ini ketika muncul lomba tulisan Komunitas Mettasik tentang Kebajikan Mettasik yang bekerjasama dengan Maybank Finance.
Ada alasan mengapa saya ingin berbagi Kebajikan Mettasik melalui memaafkan. Alasan utama karena memaafkan menjadi tindakan yang langka di masa sekarang.
Tetangga berbuat sesuatu yang menjengkelkan, tangan kita terasa gatal untuk menulis status "Sirik bilang bos atau dasar tetangga norak" melalui sosial media. Ketika diselingkuhi oleh pacar, langsung membuat status "rasa sakit ini akan ku bawa sampai mati".
Orang jaman sekarang seakan butuh perhatian dan pengakuan. Dunia harus tahu apa yang terjadi dan apa yang tengah kita rasakan. Kemajuan sosial media seakan menjadi "sahabat" untuk berkeluh kesah.
Jangankan memaafkan, sekedar melupakan sejenak masalah yang terjadi seakan sulit. Ini mengapa jiwa memaafkan hanya dimiliki oleh orang bijak dan berhati besar.
Baru disakiti sedikit langsung hiperbola merasa dirinya adalah sosok paling tersakiti. Orang lain tidak akan paham rasa sakit yang ia alami.