Mohon tunggu...
Nurhudayanti Saleh
Nurhudayanti Saleh Mohon Tunggu... -

Mantan mahasiswa jurusan Biologi salah satu universitas negeri di Makassar yang sekarang lebih memilih menggeluti dunia menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sob Ebi (Ini Bukan Nama Masakan)

4 Oktober 2012   09:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:16 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengenalnya lewat dunia maya, facebook. Dia adalah teman dari teman SMA-ku dulu, Mala. Mala kerap kali menceritakan tentang note-noteku ke dia yang kala itu memang (kata sebagian orang) sangat lucu dan asyik dibaca. Kemudian karena penasaran, dia akhirnya mengadd akun facebookku. Aku pun mengkonfirmasinya tanpa melihat profilnya terlebih dahulu. Aku memang begitu, selalu mengkonfirmasi sebuah pertemanan tanpa melihat profil si empunya akun. Buatku berteman dengan banyak orang itu sangat mengasikkan. Semakin banyak teman, maka semakin banyak cerita dan pelajaran yang bisa kuambil. Tapi bukan berarti aku tidak pernah menghapus akun seseorang. Aku akan menghapus akun seseorang saat si empunya akun sudah berbuat ‘aneh’ menurut pandangan ‘mata’ku, saat si empunya akun sama sekali tidak mendatangkan manfaat dan malah mendatangkan banyak mudharat untukku.

Kembali membicarakan dia. Setelah aku dan dia berteman di FB, kami jadi sering berbalas komen. Dia suka membaca note dan statusku, mengomentarinya panjang lebar. Sampai pada suatu hari, saat kami sudah merasa akrab satu sama lain, kami akhirnya bertukar nomor hape. Percakapan hangatpun kami lanjutkan di telpon dan sms.

“Kapan ke Makassar Ti?” Tanyanya di suatu pagi.

“Em, kapan ya? Ada deh. Pokoknya mah kejutan, hehehe …” Balasku membuatnya penasaran.

“Kalau mau ke Makassar jangan lupa kasih tahu ya, biar aku sambut.”

“Tapi sambutnya pakai spanduk ya, yang ada tulisannya ‘selamat datang di Makassar’ dan kalungan bunga, hehehe …”

“Beres. Kalau perlu kamu aku sambut pakai tarian selamat datang dah, hihihi …”

Begitulah. Kami berdua menjadi semakin akrab. Kami bukan lagi sekedar teman tapi juga sahabat meski kami belum pernah bertemu sama sekali. Aku biasa melihat fotonya yang ia pasang di FB, dia wanita berdarah Ambon. Seperti kebanyakan wanita Ambon lainnya, maka seperti itulah gambaran sahabatku ini. Sedang dia, dia sama sekali belum pernah melihat wajahku meski hanya sebuah foto karena baik di FB maupun di jejaring sosial lainnya aku tidak memasang fotoku satu pun.

Waktu berlalu. Akhirnya aku berkesempatan ke Makassar. Aku dan dia pun berjanji untuk bertemu.

Malam itu kami janjian bertemu di depan gedung Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit yang ada di kota Makassar. Di benakku sama sekali tak ada rasa cemas, rasa khawatir kalau-kalau ternyata selama ini aku berteman dengan orang yang berniat buruk dan akhirnya menipuku. Aku sama sekali tidak ragu, aku yakin orang yang akan kutemui malam itu benar bernama Febi dan dia wanita yang baik.

Sebelumnya aku sudah memberinya klu bahwa malam ini aku memakai jilbab berwarna cokelat yang panjang dan lebar, memakai rok cokalat kotak-kotak dengan sebuah tas plastik berwarna pink di tangan kanan. Aku berdiri di dekat sebuah tiang lampu jalan.

“Anti …!!!” seorang wanita berteriak menyebut namaku. Wanita itu berada di atas becak yang sedang bergerak mendekatiku. Gelap. Saat itu gelap, aku tak bisa melihat jelas wajah wanita itu sampai akhirnya dia turun dan menghampiriku.

“Febi …???” kataku memastikan.

“Iya …” jawabnya cepat.

“Assalamualaykum …” kataku tersenyum sembari mengulurkan tangan.

“Wa alaykum salam …” balasnya sembari tersenyum manis menggenggam tangan kananku.

Febi. Dia sama dengan fotonya di FB. Dia juga sangat periang, sama dengan penilaianku sebelum kami bertemu. Dia bercerita ini dan itu. Aku pun sama, aku tak kalah ‘cerewetnya’.  Kami seperti dua sahabat yang dulu terpisah dan akhirnya dipertemukan kembali. Begitu banyak cerita yang terurai malam itu. Dari atas becak sampai di kamar kosannya, cerita kami terus mengalir.

“Aku seneng banget Ti, aku senang bisa temanan dengan kamu dan akhirnya bisa ketemu kamu.” akunya malam itu menatapku.

“Aku juga kok Bi. Aku senang kita akhirnya bisa ketemu.” Balasku.

Febi menatapku takjub. “Aku nggak nyangka loh kalau jilbabmu sebesar ini. Subhanallah, aku suka. Aku juga mau berjilbab Ti …” tandasnya.

Lagi-lagi aku tersenyum. Niat berjilbabnya memang sudah ia utarakan sejak dulu tapi kendala demi kendala masih ia hadapi, salah satunya minimnya pakaian yang berlengan panjang dan rok di lemarinya. Lemarinya hanya dipenuhi celana jins dan kemeja pendek. Kerudung? Jangan tanyakan, tentu tidak ada meski selembar.

“Aku punya sesuatu untukmu Bi …” Kataku sembari mengeluarkan isi tas berwarna pink. “Nih …,” lanjutku menyerahkan sebuah bungkusan dari kertas koran. Febi membukanya cepat. Ia sudah tak sabar ingin melihat isinya.

“Ya ampun Ti …, ini …” Katanya setelah tahu isi bungkusan itu. Beberapa lembar kerudung dengan berbagai warna dan sebuah buku.

“Ini kerudung yang sudah tidak aku pakai lagi. Maaf ya soalnya bekas. Tapi masih bagus kok. Dan yang itu, itu buku kesayanganku. Kamu baca ya. Isinya bagus.” Kataku menangkap keharuan di binar matanya.

“Makasih Ti. Ini aja aku udah senang banget. Makasih sekali lagi ya …” Katanya dengan mata berembun. “Semoga dalam waktu dekat aku udah pakai kerudung meski belum kayak yang kamu pakai …”

“Amin …” Aku mengaminkan doanya.

Pertemuan malam itu pun berakhir. Sebenarnya aku ingin bermalam bersamanya, berlama-lama dengan Febi, menghabiskan waktu untuk bercerita panjang lebar tentang keinginannya menutup aurat, tentang keinginannya berubah menjadi lebih baik. Tapi kadar Allah, kakakku datang menjemput karena ada sebuah urusan yang mendadak dan sangat penting.

Komunikasi kami semakin intens setelah pertemuan pertama kami. Febi sering bertanya ini dan itu. Sering pula ia menangis karena belum bisa segera menjalankan keinginannya menutup aurat. Dan hal itu masih sama saat aku haru ke Cirebon.

Pagi itu dia yang mengantarku ke Bandara. Dia pula yang sebelumnya yang menemaniku kesana-kemari mengurus keberangkatan, membeli tiket, membuka rekening, dan belanja ini dan itu. Dia wanita yang sangat baik, mudah menolong, dan tidak pernah mengeluh. Dia akan dengan senang hati membantu orang lain dengan kemampuan yang ia punya, apapun itu apapun. Dia juga wanita yang sangat ramah, bersahabat dengan semua orang, dan sangat hangat.

“Aku berangkat ya Bi …” kataku saat aku sudah harus masuk. Kupeluk ia erat.

“Iya Ti …” Ia membalas pelukanku.

“Ingat obrolan kita semalam kan? Semoga Allah segera mengaminkan doamu Bi …”

“Iya Ti. Makasih ya …”

Aku melepaskan pelukanku. Aku berjalan meninggalkan Febi yang masih setia memperhatikanku dari jauh. Sob, semoga Allah meneguhkan keinginanmu, semoga hatimu senantiasa istiqamah, dan semoga kita masih diberi umur panjang untuk bertemu lagi.

***

Ti …, aku udah pakai kerudung.

Sms ini kuterima sehari setalah aku tiba di Cirebon. Subhanallah. Air mataku langsung saja menetes. Kubalas smsnya segera.

Barakallah. Aku senang banget Bi. Aku senang banget.

Sms balasan dari Febi langsung tiba di hapeku.

Syukran ya Ti. Syukran. Ah, coba kamu berangkatnya hari ini, kamu kan bisa lihat aku pakai kerudung, hehehe. Oh iya, Om aku yang di Jakarta ngirimin aku uang buat beli baju lengan panjang dan rok. Dia senang banget pas aku cerita ke dia tentang niatan aku, Ti.

Aku tertawa kecil membaca sms dari sahabatku itu. Aku tertawa bahagia sekaligus haru. Aku jadi teringat dengan pesanku untuknya malam itu, malam sebelum aku berangkat ke Cirebon:

Bi …, Rasulullah pernah bersabda kalau kita disuruh untuk bersegera dalam kebaikan. Jika sudah ada niat, yuk dilaksanakan karena tak ada satu orang pun di dunia ini yang tahu kapan ia mati. Tak ada yang tahu apakah besok masih diberi nafas atau tidak.

Jangan cemas. Yakin sama Allah. Kalau kita menolong agama Allah, maka percaya, Allah akan menolong kita. Jangan karena kesulitan materi, kekurangan pakaian, lantas membuat kita menunda-nunda sebuah kewajiban. Bukankah semua itu ujian? Dan Allah tidak pernah memberikan ujian pada hamba-Nya kecuali hamba itu mampu melewati ujian tersebut kan? Jadi seberat apapun halangan kamu saat ini untuk menutup aurat, maka yakin, insyaAllah kamu bisa melewatinya. Yakin sama Allah Bi. Dia adalah zat yang Maha Kaya, Dia Maha Pemurah.

Sekali lagi aku tersenyum. Kuhapus air mata yang membasahi kedua pipiku.

~Selesai~

NB:

Cerita ini kudedikasikan untuk sahabatku Febi, Sob Ebi-ku,  yang sekarang sudah kembali ke tanah kelahirannya Ambon. Semoga Allah meneguhkan hati-hati kita. Semoga kita selalu dalam penjagaan-Nya, amin ^_^

Nurhudayanti Saleh a.k.a Asya Ran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun