“Ya ampun Ti …, ini …” Katanya setelah tahu isi bungkusan itu. Beberapa lembar kerudung dengan berbagai warna dan sebuah buku.
“Ini kerudung yang sudah tidak aku pakai lagi. Maaf ya soalnya bekas. Tapi masih bagus kok. Dan yang itu, itu buku kesayanganku. Kamu baca ya. Isinya bagus.” Kataku menangkap keharuan di binar matanya.
“Makasih Ti. Ini aja aku udah senang banget. Makasih sekali lagi ya …” Katanya dengan mata berembun. “Semoga dalam waktu dekat aku udah pakai kerudung meski belum kayak yang kamu pakai …”
“Amin …” Aku mengaminkan doanya.
Pertemuan malam itu pun berakhir. Sebenarnya aku ingin bermalam bersamanya, berlama-lama dengan Febi, menghabiskan waktu untuk bercerita panjang lebar tentang keinginannya menutup aurat, tentang keinginannya berubah menjadi lebih baik. Tapi kadar Allah, kakakku datang menjemput karena ada sebuah urusan yang mendadak dan sangat penting.
Komunikasi kami semakin intens setelah pertemuan pertama kami. Febi sering bertanya ini dan itu. Sering pula ia menangis karena belum bisa segera menjalankan keinginannya menutup aurat. Dan hal itu masih sama saat aku haru ke Cirebon.
Pagi itu dia yang mengantarku ke Bandara. Dia pula yang sebelumnya yang menemaniku kesana-kemari mengurus keberangkatan, membeli tiket, membuka rekening, dan belanja ini dan itu. Dia wanita yang sangat baik, mudah menolong, dan tidak pernah mengeluh. Dia akan dengan senang hati membantu orang lain dengan kemampuan yang ia punya, apapun itu apapun. Dia juga wanita yang sangat ramah, bersahabat dengan semua orang, dan sangat hangat.
“Aku berangkat ya Bi …” kataku saat aku sudah harus masuk. Kupeluk ia erat.
“Iya Ti …” Ia membalas pelukanku.
“Ingat obrolan kita semalam kan? Semoga Allah segera mengaminkan doamu Bi …”
“Iya Ti. Makasih ya …”