Mohon tunggu...
Asya Gunadi
Asya Gunadi Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Memilih untuk memulai hobi baru.

Seorang ibu rumah tangga, yang senang membaca dan menulis. Menyukai hal berbau seni, dan seorang nutrisionis bagi keluarga kecilnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Disiden Abadi

9 Maret 2023   11:00 Diperbarui: 9 Maret 2023   11:01 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

             Senja menguning di atas tanah bumi kami berdiri. Hari ini tepat hari ke seribu aku memutuskan untuk tidak kembali bekerja sebagai wanita karir. Dan menjadi seorang istri dan ibu yang bekerja untuk suami dan anak-anakku.

             Sebuah dilema besar, kala bakti terkalahkan oleh egoisme diri. Pun meski secara harfiah dan adab memang mendedisikasikan diri untuk tetap tinggal di rumah adalah yang paling tinggi pahalanya. Tetapi, harga diri terlalu ku jungjung hingga mencapai ubun.

              Diriku bukanlah seorang wanita sempurna, memang tak ada manusia yang dapat mencapai tingkat kesempurnaan kecuali nabi kita. Hanya saja, sejak awal aku memang terlampau perfeksionis dan selalu menganggap diri ini penting.

               Menjadi seorang ibu rumah tangga di tengah perekonomian keluarga yang sulit sangat menguras emosi dan fikiranku. Bagaimana tidak, sejak awal kami menikah, suamiku bukanlah seorang karyawan yang berjabatan tinggi. Ia harus mencari tambahan dari samping kanan dan kirinya hanya untuk mencukupi kebutuhan.

                Semua terasa baik-baik saja saat ku bekerja dulu. Aku orang yang cukup punya daya saing tinggi dan selalu berusaha untuk mencapai target pekerjaanku, sehingga saat usiaku 26 tahun, aku telah berhasil meraih posisi tinggi di kantor perusahaan tempat ku bekerja. Mengalahkan para seniorku yang telah bekerja si tempat itu puluhan tahun.

                 Namun ternyata, jika ku telaah lebih dalam, setinggi apapun penghasilanku, ternyata tidak membuat keluargaku baik-baik saja. Tetap saja apa yang kami butuhkan terasa kurang, uang yang kukumpulkan selalu habis sebelum waktunya upah datang bulan depan. Suamiku merasa tidak tenang, dan anak-anakku tak kuperhatikan dengan baik. 

                 Hingga tiba suatu masa permasalahan pertama terjadi, dimana anak pertamaku yang berusia 10 tahun menjadi biang kerok permasalahan di kelasnya. Dia anak laki-laki sulungku, sebagai seorang lelaki tentu alu mendidiknya keras. Berusaha mencetak insan unggul dengan cara melatih dia agar memiliki mental baja.

                Tetapi ternyata apa yang kulakukab padanya menjadi bumerang untukku. Ketegasan dan prilakuku yang cenderung lebih keras padanya, membuat dia menjadi anak yang impulsif di sekolah. Dan saat itu aku dan suamiku terpanggil oleh pihak sekolah karena anakku kedapatan memukuli teman sekolahnya karena perihal ejek mengejek. Simpel, tapi ternyata berujung sanksi.

                Kami memberikan nama Dion Prayoga padanya dengan harapan dia akan menjadi anak laki-laki  yang kuat, unggul dan suka membanggakan. Kuteringat akan hal yang kudapati dulu dari orang tuaku semasaku masih kecil. Ayah selalu mendidikku dan ke tiga saudaraku dengan cara yang tegas dan keras. Dan itulah yang kulakukan saat mendidik Dion.

                Dion terancam di keluarkan dari sekolah karena prilakunya yang kasar seperti itu bukan untuk kali pertama. Ia cenderung melakukan kekerasan pada sesama temannya jika merasa ada hal yang kurang ia senangi.

" Anak sejatinya mengikuti dan meniru perilaku orang tuanya dari rumah. Maaf saya mengatakan ini, tapi apakah Dion mengalami kekerasan di dalam rumah?" Tanya seorang psikolog sekolah padaku dan Mas Anton suamiku.

" Dion tidak mengalami kekerasan di rumah, kami memperlakukannya dengan baik, tak pernah sekalipun kami memukul Dion." Sanggah mas Anton tak terima.

" Dion mungkin tidak mengalami kekerasan fisik, tetapi bisa jadi dia mengalami kekerasan mental. Apakah anda sering memarahi Dion?" Tanya psikolog itu lagi.

                Aku dan mas Anton terdiam dan saling pandang. Kuhela nafasku panjang, aku tahu karena ini sedikit banyak akibat ulahku.

" Yah, saya beberapa kali sering memarahi Dion karena dia anak yang nakal dan sering membuat masalah." kataku mengakui.

                Psikolog itu tersenyum seakan mendapat sebuah dugaan yang tepat sasaran. Ia kemudian membuka sebuah catatan dan disodorkannya catatan itu pada kami.

"Perilaku impulsif Dion tidak di dasari dari kelainan tumbuh kembang dan emosionalnya, Dion memiliki IQ bernilai rata-rata dan cendering berprestasi sesuai dengan perkembangan usianya. Ia juga tidak mengalami kesulitan belajar dimana hal itu menandakan Dion bukan anak berkebutuhan khusus. Saya yakin ini karena kesalahan dalam pola asuh. Mohon maaf jika hal ini terkesan menyalahkan anda, tapi begitulah yang saya lihat." Jelas psikolog itu menohoh hati kami.

             Saat ku coba untuk menyanggah, Mas Anton menggenggam tanganku menyuruhku untuk tidak berkata apa-apa dan menunggu penjelasan dari pihak psikolog hingga selesai.

" Jika anda berdua berkenan saya sarankan anda mengikuti kelas parenting dan mencoba untuk dapat konseling mengenai masalah ini lebih intens. " seru Psikolog itu sebelum kami meninggalkan sekolah tempat Dion belajar.

              Dion mengikuti kami untuk pulang ke rumah, akibat dari perbuatannya ia di skors untuk belajar di rumah selama 2 hari. Selama perjalanan Dion hanya menunduk terdiam. Menatap ragu pada mataku dan Mas Anton ayahnya. Selama di perjalanan pulang kami diam seribu bahasa, menunggu waktu yang tepat yaitu berada di rumah.

              Sesampainya di rumah Dion menghambur lari masuk ke dalam rumah, dan memutuskan untuk menghindari amukanku. Aku yang tak kuat menahan emosi hendak mengejarnya, namun tanganku di tahan mas Anton. Ia menatapku dengan serius dan mengajakku masuk kerumah dengan tenang.

"Weni, kita harus bicara!" seru mas Anton padaku dengan nada tegas namun masih memelankan suaranya. Kuikuti kemana mas Anton pergi. Dia mengajakku untuk bicara di dalam kamar kami, menghindari agar terdengar oleh Dion.

"Ini sudah ke empat kalinya kita di panggil ke sekolah Dion. Kita nggak bisa mendiamkannya terus, anak-anak butuh pengawasan." Kata mas Anton serius.

"Iya tapi gimana caranya, aku kan kerja mas. Dion harus di bawa konseling ke psikolog.  Mungkin kira harus mulai mencadangkan biaya untuk konsulnya, aku akan cari info dimana tempat konseling yang bagus." Kataku sambil mengambil gawai di tas ku. Tapi tiba-tiba, Mas Anton menepis tanganku hingga gawaiky terjatuh ke lantai dengan keras.

"Mas!!" Seruku merasa terkejut dan tak menerima gawaiku dijatuhkan seperti itu.

"Bukan psikolog yang paling Dion butuhkan saat ini. Tapi Kau! ibunya. Apa kamu sadar, kamu tak pernah luangkan waktu untuk anak-anak, kerjamu sibuk melebihi aku yang pencari nafkah utama. Pulang lebih dari jam 8 malam dan ketika ada di rumahpun kau tak pernah luangkan waktu untuk mereka, sekalinya sama mereka. Kamu selalu marah-marah." Kata mas Anton dengan marah.

"Aku tidak melarangmu bekerja, tapi bijaklah mengatur waktu. Apa yang kau dapatkan dari mendedikasikan diri di kantor? Anak-anak menjadi tak terkendali karena kau terlalu sibuk."

"Mas juga harusnya ikut berperan dong. Jangan bisanya nyalahin aku aja. Kapan mas terakhir main dan berusaha deketin anak-anak. Nggak pernah tuh!" Kataku membalas tuduhan mas Anton.

"Kamu kira siapa yang antar jemput anak-anak sekolah. Dan memandikan mereka. Memastikan mereka sarapan dan makan malam dengan baik. Kamu kira seragam dan buku sekolah mereka diatur oleh mereka sendiri? Aku yang lakuin semua. Bagaimana kamu bisa tahu aku tak melakukan apapun demi mereka, sementara duniamu hanya pekerjaanmu, kamu pergi sebelum jadwal mereka berangkat sekolah dan pulang ketika mata mereka sudah terpejam. Tak ada aku ataupun anak-anak di otakmu. Pikirkan, sekarang kau mau pilih siapa, keluargamu atau kerjaanmu!" Seru mas Anton sambil pergi membanting pintu dan meninggalkan aku sendirian di kamar itu.

               Hatiku merasa tak terima di kritik seperti itu. Aku mengejar mas Anton dengan tangis yang tak bisa ku bendung.

"Apa mas sekarang menyalahkan aku? Aku bekerja untuk membantu keluarga kita. Mas sama sekali nggak ngehargai kerja keras aku selama ini. Bisanya hanya menyalahkanku saja!"

"Apa kamu pikir aku gak sanggup buat nafkahi keluargaku sendiri? Apa menurutmu penghasilanku tidak cukup, hah? apa dengan mu bekerja membuat keluarga kita kaya? Nggak Weni. Kita tetap di sini. Dan anak-anak menjadi nakal."

"Pokoknya aku gamau berhenti kerja! Sudah susah payah kuraih jabatan ini di usiaku sekarang. Jangan jadi musuhku mas, aku tahu kamu ga akan begitu."

"Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri Weni. Introspeksi lah. Atau kalau kamu tidak faham ku takut kamu akan kehilangan kami." Mas Anton pergi meninggalkanku menuju kamar Dion yang sedang menangis, mendengar kami bertengkar.

Aku terduduk di sofa kami dengan lemas. Emosiku meluap tak terima apa yang di katakan mas Anton. Kenapa dia menyalahkanku atas semua permasalahan keluarga ini. Ini sama sekali tidak adil. Aku marah dan berlari ke luar rumah, meninggalkan Mas Anton dan Dion dengan kesal.

Aku pergi menuju kediaman Ranti teman terdekatku saat ini, kami berdua bertemu di tempat kerja karena dahulu sama-sama pegawai baru. Hingga saat ini kami berteman dengan dekat, meski aku lebih dulu di promosikan.

"Mas Anton bener Wen, kamu ga pernah ada waktu buat keluargamu..coba kamu ingat ingat lagi, kapan terakhir kali kamu maen atau ngajak anakmu ngobrol." Kata Ranti setelah ku ceritakan penatku padanya. Aku hanya terdiam mencoba mengingat ingat kembali. Yah aku jarang sekali bersama mereka. Saat mereka mendekat padaku, Kepalaku telah dipenuhi lelah dan penat, menjadikanku lebih banyak meluapkan emosiku pada mereka terutama Dion si sulung, karena terlalu lelah di kantor.

           Tangisku membludak aku merasa malu pada suamiku. Ranti memberikanku saran agar aku bisa lebih memahami kondisinya melihat dari perspektif orang lain. Karena jika hanya melihat dari sisiku, aku tak bisa menilai dengan bijak.

            Disiden Abadi diri kita adalah kita sendiri. Kita sering kali menganggap diri kitalah yang paling benar, yang paling tersakiti dan yang paling berhak mendapatkan keadilan. Rasa egois dan harga diri  terlampau tinggi membuat kita enggan untuk selalu mawas dan melihat dari cara pandang orang lain. Menjadikan banyaknya korban akibat ulah dan ketidak sadaran diri menghadapi situasi yang bermasalah.

              Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang gundah, aku khawatir suami dan anak-anakku menolak dan menyalahkanku akan segalanya. Meski ku akui itu memang benar. Kulihat mas Anton tengah makan bersama dengan Dion di ruang makan. Mereka melihatku dengan cemas dan kaget.

"Kamu dari mana aja? kok pergi ngga bilang?" Tanya mas Anton dengan nada marah.

"Maafkan Weni mas, Weni terlalu egois sampai-sampai merasa sakit  hati saat mas coba kasih tau." Kataku sambil terisak.

"Mah, maafin Dion udah nakal di sekolah. Dion janji akan jadi anak baik, asal mamah jangan marahin Dion lagi." Ucap Dion menghampiriku yang tengah berdiri.

          Ku tatap wajah Dion dengan sendu, ada rasa takut terpancar di wajahnya. Setakut itukah dia padaku? sekasar apakah aku selama ini padanya, hingga membuat dia tak berani melihatku dengan kasih dan sayang.

"Apa menurut Dion mamah itu galak?" Tanyaku pada Dion. Dengan polos dia mengangguk pelan. Dan menunduk tak berani menatapku.

"Mamah yang paling sering marahin Dion, malah mamah sering marah-marah meski Dion ga ngapa-ngapain." Akhirnya tangis Dion pecah.

"Mah, kamu tau ga kenapa Dion hari ini sampai mukul temannya? Itu karena temannya bilang Mama Dion galak, suka marahin Dion dan ga pernah izinin temen-temen main sama Dion. Dion kesal karena temannya itu ngejek mamanya. Makanya dia pukul." Kata Mas Anton menjelaskan padaku. Aku terkejut dan melihat wajah Dion yang menangis dengan terharu. 

"Dion ga akan mukul lagi mah, Dion janji. Tadi papah udah kasih Dion hukuman. Mamah jangan hukum Dion lagi ya mah." kata Dion dengan tangisnya yang makin kencang.

        Aku memeluk Dion merasa menyesal untuk semuanya. Sudah saatnya aku bersaing dengan egoisku sendiri. Akhirnya akupun memutuskan untuk berhenti bekerja dan membaktikan diriku pada keluargaku. Aku tak mau mengulang kesalahan yang sama.

          1000 haripun telah kulewati, sekarang aku menikmati masa masaku menjadi seorang ibu yang tidak bekerja dan mengabdikan diriku untuk menjadi ibu yang baik. Meski tak mampu membantu mengais rizki dari arah penghasilan keuangan, tapi aku mendapatkan kelebihan Rizki dari arah yang lain. Kesehatan dan kebahagiaan keluargaku.

-Tamat-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun