Mohon tunggu...
Asya Gunadi
Asya Gunadi Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Memilih untuk memulai hobi baru.

Seorang ibu rumah tangga, yang senang membaca dan menulis. Menyukai hal berbau seni, dan seorang nutrisionis bagi keluarga kecilnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Disiden Abadi

9 Maret 2023   11:00 Diperbarui: 9 Maret 2023   11:01 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri Weni. Introspeksi lah. Atau kalau kamu tidak faham ku takut kamu akan kehilangan kami." Mas Anton pergi meninggalkanku menuju kamar Dion yang sedang menangis, mendengar kami bertengkar.

Aku terduduk di sofa kami dengan lemas. Emosiku meluap tak terima apa yang di katakan mas Anton. Kenapa dia menyalahkanku atas semua permasalahan keluarga ini. Ini sama sekali tidak adil. Aku marah dan berlari ke luar rumah, meninggalkan Mas Anton dan Dion dengan kesal.

Aku pergi menuju kediaman Ranti teman terdekatku saat ini, kami berdua bertemu di tempat kerja karena dahulu sama-sama pegawai baru. Hingga saat ini kami berteman dengan dekat, meski aku lebih dulu di promosikan.

"Mas Anton bener Wen, kamu ga pernah ada waktu buat keluargamu..coba kamu ingat ingat lagi, kapan terakhir kali kamu maen atau ngajak anakmu ngobrol." Kata Ranti setelah ku ceritakan penatku padanya. Aku hanya terdiam mencoba mengingat ingat kembali. Yah aku jarang sekali bersama mereka. Saat mereka mendekat padaku, Kepalaku telah dipenuhi lelah dan penat, menjadikanku lebih banyak meluapkan emosiku pada mereka terutama Dion si sulung, karena terlalu lelah di kantor.

           Tangisku membludak aku merasa malu pada suamiku. Ranti memberikanku saran agar aku bisa lebih memahami kondisinya melihat dari perspektif orang lain. Karena jika hanya melihat dari sisiku, aku tak bisa menilai dengan bijak.

            Disiden Abadi diri kita adalah kita sendiri. Kita sering kali menganggap diri kitalah yang paling benar, yang paling tersakiti dan yang paling berhak mendapatkan keadilan. Rasa egois dan harga diri  terlampau tinggi membuat kita enggan untuk selalu mawas dan melihat dari cara pandang orang lain. Menjadikan banyaknya korban akibat ulah dan ketidak sadaran diri menghadapi situasi yang bermasalah.

              Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang gundah, aku khawatir suami dan anak-anakku menolak dan menyalahkanku akan segalanya. Meski ku akui itu memang benar. Kulihat mas Anton tengah makan bersama dengan Dion di ruang makan. Mereka melihatku dengan cemas dan kaget.

"Kamu dari mana aja? kok pergi ngga bilang?" Tanya mas Anton dengan nada marah.

"Maafkan Weni mas, Weni terlalu egois sampai-sampai merasa sakit  hati saat mas coba kasih tau." Kataku sambil terisak.

"Mah, maafin Dion udah nakal di sekolah. Dion janji akan jadi anak baik, asal mamah jangan marahin Dion lagi." Ucap Dion menghampiriku yang tengah berdiri.

          Ku tatap wajah Dion dengan sendu, ada rasa takut terpancar di wajahnya. Setakut itukah dia padaku? sekasar apakah aku selama ini padanya, hingga membuat dia tak berani melihatku dengan kasih dan sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun