Lalu setelah ratusan kali matahari dan bulan saling menyapa di kala senja, perundungan itu pun mencapai puncaknya.
Sial sekali karena orang tuaku sedang di luar kota, membawa adikku yang katanya tak bisa ditinggal sendirian. Padahal saat seumurnya, aku sudah dituntut untuk mandiri.Â
(Maaf, aku malah mengoceh dan keluar dari topik utama).
Perundungan itu terjadi saat aku benar-benar sedang tidak sehat. Kali ini nama sakitnya adalah demam, kau pasti tahu itu. Dan yang betul-betul membuatku seperti sedang jatuh tertimpa menara adalah hari ini sedang hujan deras.
Aku dipukuli, ditendang, bahkan dilempari bebatuan kecil yang sedang tertidur pulas di tanah. Sakit, yang ini sakitnya selalu dua kali lipat, karena sebagian dapat kaulihat, sebagian lagi tidak.
Sampai pada puncaknya, mereka mematahkan kakiku.Â
Yah ... aku masih bisa bergerak, sih, meskipun dengan menyeret tubuhku menggunakan tangan. Tapi itu pasti melelahkan. Aku malas banyak bergerak ketika sedang sakit.
Maka kupasrahkan saja diriku yang sedang sekarat itu. Tetesan air hujan beberapa kali bertegur sapa dengan air mataku, juga dengan darah yang aku muntahkan ke tanah. Tak ada yang menyadarinya. Aku pun tidak terkejut, ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Tapi di sisi lain, kini pasukan air hujan pun ikut mengetahui sakitku.Â
Aku ditinggalkan sendirian. Demamku semakin parah karena memang sudah berlangsung selama tiga hari. Dan selama tiga hari itu pula aku tetap dipukuli, malah mereka sepertinya lebih senang saat melihatku semakin tak berdaya.
Belum sempat berpikir akan mati, tiba-tiba keajaiban terjadi. Kakek Ajaib muncul secara ajaib di sana. Dengan payung dan peri-peri kecil yang ikut bersamanya.
Aku tak ingat apa yang terjadi setelah itu, tetapi tiba-tiba saja aku sudah berada di perpustakaan, di depan perapian. Kakek Ajaib sadar jika aku sudah siuman, kemudian ia menanyakan bagaimana keadaanku, dan apakah aku mau diantar pulang ke rumah.