Mohon tunggu...
Astara SalsaDiffa
Astara SalsaDiffa Mohon Tunggu... Human Resources - Seorang Mahasiswa yang ingin tercapai citacitanya

Mahasiswa UNEJ

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ibu Kota Dipindah ke Luar Pulau Jawa

8 September 2019   10:34 Diperbarui: 8 September 2019   13:24 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Definisi dari ibu kota negara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kota tempat kedudukan pusat pemerintahan suatu negara, tempat dihimpunnya unsur administratif, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 

Sehingga, dapat diketahui bahwa pengertian ibu kota negara adalah kota atau munisipalitas penting atau utama di sebuah negara, negara bagian, provinsi, atau wilayah administratif lainnya, yang juga biasanya menjadi tempat kedudukan pusat administrasi pemerintahan. 

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa saat ini, ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu berada di Provinsi DKI Jakarta telah menerima dan menampung semua kegiatan sejak dari jaman Sang Proklamator/Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno membacakan proklamasi kemerdekaan RI. 

Dapat disimpulkan pula bahwa beban DKI Jakarta saat ini sangat berat, mengingat DKI Jakarta sudah banyak berperan selama 74 tahun.

Saat ini, publik sedang diramaikan dengan adanya kabar bahwa Presiden Republik Indonesia, Ir. Jokowi akan memutuskan kebijakan bahwa akan ada pemindahan ibu kota negara dari Provinsi DKI Jakarta ke provinsi di luar Pulau Jawa, yaitu Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. 

Hal ini memang memicu banyak pertanyaan, serta pendapat antara yang pro dan yang kontra. Mayoritas banyak masyarakat yang setuju atas kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh bapak presiden. 

Namun tak sedikit pula yang tidak setuju. Banyak alasan dari mereka bahwa Jakarta sudah tidak cocok lagi, yang artinya Jakarta sudah banyak menampung tugas yang berat. Bisa dibilang semua pusat dari pusat pemerintahan, perkantoran, perdagangan dan jasa, keamanan dan sebagainya terletak di Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 1945 hingga 2019 ini. Alasan mendukung lainnya adalah Jakarta sudah mengalami pembludakan populasi. 

Pembludakan populasi/over population sendiri dapat terjadi akbat banyaknya masyarakat dari luar kota atau bahkan dari luar Jawa hidup dan menetap di Jakarta karena faktor ekonomi yang dimana Jakarta terdapat banyak pusat dan lapangan kerja. Banyaknya penduduk berdampak pula pada meningkatnya volume kendaraan yang turun ke jalan. Hal ini menyebabkan banyaknya ruas jalan di Jakarta yang sering terpantau macet. 

Kemacetan yang terus menerus terjadi, menyebabkan pula banyaknya persentase tingkat polusi udara yang berasal dari asap kendaraan bermotor.  Jakarta selama ini juga berperan multi fungsi karena dampak dari sistem pemerintahan sentralistis dan sistem multi fungsi yang selama ini memusat di DKI Jakarta.

Banyak dampak hingga dampak sosial, politik, ekonomi, serta ekologi dari peran multi fungsi Jakarta selama ini. Beberapa dampak multi fungsi dari DKI Jakarta selama ini adalah: Pertama, pemerintahan sentralistis yang telah dikendalikan secara otoriter dan serba seragam dinilai telah mengabaikan kemajemukan sosial budaya masyarakat dan keseragaman ekosistem wilayah negara kepulauan. Sistem pemerintahan daerah mulai terkikis kemandirian serta fungsi birokrasi sehingga tidak dapat berkembang akibat adanya sistem kekuasaan yang terlalu memusat. 

Kedua, tidak adanya jarak antara sumber pusat pemerintahan dengan pusat ekonomi yang tentunya mengerucut pada kaum elite pejabat serta hampir hilangnya kontrol dari rakyat secara konstituuusional maupun publik tentunya akan menyebabkan mewabahnya KKN atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 

Ketiga, Pemusatan kedua bidang yaitu pemerintahan dan ekonomi, akhirnya membawa beban bagi Jakarta yang ditandai dengan ledakan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, adanya kesenjangan ekonomi yang kasat mata, kerawanan sosial, kekerasan dan kejahatan lainnya. 

Keempat, berbagai permasalahan diatas juga diikuti oleh krisis ekologi, yang berupa adanya pencemaran udara bahkan saat ini kondisi udara di DKI Jakarta dinilai menjadi salah satu kota dengan udara terburuk di dunia, hal ini tentunya tidak berpengaruh baik dan mengganggu kesehatan pernafasan masyarakat, pencemaran air tanah, krisis air bersih, banjir yang bisa dibilang sudah menjadi rutinitas dikala musim hujan, tata ruang yang sudah mulai tidak tertata, padatnya penduduk dan minimnya lahan menjadi penyebab munculnya kawasan kumuh, lingkungan hidup yang kurang nyaman karena sudah banyak pencemaran. 

Kelima dan terakhir, konflik yang mudah terjadi, antara kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi, dimana juga konflik yang terjadi antara beberapa kepentingan lain seperti kepentingan sesaat dan kepentingan jangka panjang. Konflik lain seperti kepentingan elite pejabat, dan kepentingan masyarakat dimana sudah dibuktikan dengan banyaknya provokasi serta aksi demo dan konflik lainnya. 

Secara keruangan, DKI Jakarta bsa dibilang memang sudah terlalu padat penduduk, sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, pusat perindustrian, pusat pariwisata dan tata ruang yang sudah semrawut, pemanfaatan lahan yang saling kontradiktif sering dan banyak terjadi. 

Pembangunan fisik membludak dan terus dipacu tanpa arah yang jelas. Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang sudah direncanakan dengan bagus oleh Bang Ali (1966-1977) banyak diubah dengan mudahnya sehingga banyak gangguan akibat peruntukan pola kota yang banyak dilanggar. 

Banyak pula situ-situ yang seharusnya berfungsi sebagai penampung air hilang dan beralih fungsi menjadi perumahan. Program proyek kali bersih atau yang disebut prokasih bisa dibilang telah macet total. Sebanyak tiga belas kali yang mengalir di Jakarta sudah beralih fungsi oleh warga menjadi pusat pembuangan atau kubangan sampah. 

Rencana Induk 1965-1985 sudah tidak berkelanjutan pada Rencana Induk 1985-2005, hal ini dicurigai dan memang sangat memungkinkan akibat dari campur tangan pihak pengusaha, terutama pengusaha properti, seperti developer dengan para elite pejabat Pemda DKI Jakarta. 

Dengan begitu banyak dampak dari multi fungsinya ibu kota negara saat ini yaitu Jakarta akibat pusat ibu kota yang sentralistis, masih layak kah Jakarta menjadi ibu kota negara? Maka memang seharusnya pemindahan ibu kota, serta perbaikan dan rehabilitasi DKI Jakarta harus segera dilakukan untuk kesejahteraan masyarakat puluhan hingga ratusan tahun kedepan.

Banyak dampak positif dari banyaknya populasi yang masuk ke Jakarta. Namun tak sedikit pula jumlah dampak negatif dari banyaknya populasi pendatang dari luar Jakarta masuk ke Jakarta. 

Membludaknya populasi di Jakarta sudah pasti akan menyebabkan tingginya angka kebutuhan tempat tinggal, tentunya hal ini akan membutuhkan banyak lahan. 

Adapula penduduk yang memilih untuk tinggal di tempat-tempat yang seharusnya tidak dianjurkan untuk dijadikan area mendirikan tempat tinggal. Seperti bantaran sungai, area steril rel kereta api, bahkan sudah banyak yang mendirikan rumah didaerah-daerah tersebut sehingga menjadi area kumuh yang menjadi permasalahan kota. Selain itu, pasti akan naiknya populasi kendaraan yang turun ke badan jalan yang tentunya banyak mengeluarkan polusi, juga adanya kemacetan pun tak dapat dihindari. 

Permasalahan sampah rumah tangga yang ikut membludak serta banyaknya sampah yang dibuang ke sungai, menipisnya lapisan tanah akibat banyaknya aktifitas pengerukan tanah untuk mata air yang berakibat mulai tercemarnya mata air tanah dan menyebabkan air yang tidak sehat, serta berbagai macam permasalahan lainnya. 

Tentunya pemindahan ibu kota tidak semata-mata dilakukan, namun memang banyak alasan dan faktor pendorong yang kuat. Selain permasalahan DKI Jakarta pada saat menjadi ibu kota negara selama 74 tahun, terdapat berbagai alasan lain juga, seperti pemerataan penduduk, pemerataan pembangunan infrastruktur dan sebagainya.  

Namun, ternyata Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno pernah melontarkan ide bahwa ia ingin mengusulkan pemindahan ibu kota negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar Pulau Jawa, yaitu tepatnya di Palangkaraya. Beliau sempat meramalkan bahwa Indonesia dengan ibu kota berada di Jakarta akan menjadi hampir tidak terkendali. 

Pertimbangan pemilihan Palangkaraya menjadi ibu kota negara kala itu dikarenakan alasan pertama, Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia, letaknya strategis karena benar-benar berada di tengah-tengah gugusan pulau di Indonesia. Kedua, Pulau Jawa sudah terlalu menjadi pemusatan, maka harus dihilangkan sentralistiknya. 

Ketiga, sudah banyaknya pembangunan di Pulau Jawa adalah penerapan konsep peninggalan Belanda, sementara Presiden pertama kita, Ir. Soekarno ingin mewujudkan ibu kota dengan konsepnya sendiri, sesuatu yang orisinil dan beridentitas, bukan peninggalan penjajah Belanda. Konsep kala itu, Soekarno ingin memanfaatkan sungai sebagai salah satu transportasi seperti di berbagai negara di Eropa. Jakarta ada Sungai Ciliwung, sementara Palangkaraya memiliki sungai Kahayan. 

Kajian pemindahan ibu kota negara pun telah lama dikaji pihak pemerintah sejak 3 Maret 2010. Rekomendasi ide pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa juga didukung dengan alasan bahwa keprihatinan akan daya dukung ekosistem dan bencana sosial di kota-kota besar di Pulau Jawa. 

Ketersediaan cadangan air bersih di Pulau Jawa saat ini hanya tersedia 20% dari kebutuhan. Tanah pertanian di Jawa memang memiliki kesuburan lebh dari 3 kali lipat kesuburan lahan pertanian di luar Pulau Jawa. 

Namun, seiring berjalannya waktu, apabila terus dibiarkan, lahan pertanian tersebut perlahan akan menciut luasnya karena terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri, proyek-proyek properti, bahkan kota-kota baru. Maka dengan begini, tingkat kesenjangan sosial akan terus terjadi.

Presiden Republik Indonesia, Ir. Jokowi telah mengumumkan bahwa ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia akan dipindahkan ke luar Pulau Jawa, tepatnya di Pulau Kalimantan. 

Kelebihan Pulau Kalimantan saat ini yaitu lokasinya terletak tepat ditengah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Luas lahan yang tersedia di Pulau Kalimantan ini memiliki potensi mempermudah penyusunan tata ruang ibu kota Negara yang ideal. 

Tepatnya lokasi pemindahan dilakukan di Pulau Kalimantan bagian yaitu di Kalimantan Timur dan Kalimantan tengah, kenapa demikian? Karena menurut studi kawasan perencanaan untuk beberapa wilayah yang telah menjadi kandidat ibu kota baru, Pulau Kalimantan dinilai cukup ideal dan memenuhi syarat untuk mendukung ibu kota negara serta keuntungan puluhan serta ratusan tahun kedepan. 

Beberapa alasan dan faktor pendukung pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa antara lain bahwa sekitar 57% konsentrasi penduduk berada di Pulau Jawa. Sedangkan sisanya terbagi di beberapa pulau lain. 

Sumatera di posisi kedua dengan 21,78% konsentrasi penduduk, disusul dengan Pulau Sulawesi menampung 7,33%, Bali dan Nusa Tenggara dengan konsentrasi penduduk sebesar 5,56%, kemudian Maluku dan Papua yang hanya sebesar 2,72% untuk Kalimantan sendiri masih memegang konsentrasi penduduk Indonesia sebesar 6,05% sebanyak 15.801.800 jiwa menetap disana. 

Seperti yang dilihat, bahwa persentase kosentrasi penduduk di Pulau Jawa yang padat beresiko pada ketersediaan air bersih. Krisis air bersih sering terjadi di Jawa Timur serta terjadi di DKI Jakarta. Faktor pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa berikutnya adalah besarnya angka konversi lahan di Pulau Jawa. 

Konsumsi lahan terbangun di Pulau Jawa terhitung hampir 50%.  Faktor berikutnya adalah pertumbuhan urbansasi dengan konsentrasi penduduk yang bisa dibilang cukup tinggi terutama di Jakarta dan Jabodetabekpunjur. 

Meningkatnya beban Jakarta menimbulkan degradasi lingkungan yang cukup berat, sperti naiknya permukaan air laut dikarenakan tanah Jakarta turun tiap tahunnya, kerugian ekonomi akbat kemacetan yang menurut PUSTRAL-UGM 2013 sebesar 56 Triliun Rupiah, sebesar 96% kualitas air sungai sudah tercemar, rawan banjir dan bencana alam lain seperti gempa bumi. 

Oleh karena itu, pemindahan ibu kota harus segera dilakukan dengan tujuan memperbarui kualitas ibu kota dan memperbaiki kota Jakarta yang telah berperan menjadi ibu kota negara selama 74 tahun lamanya.

Perpindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan sering mendapat pro dan kontra. Banyak diantara masyarakat berpendapat bahwa Kalimantan adalah salah satu penyumbang oksigen terbesar di dunia, karena kekayaan hutan dan sumberdaya alam di dalamnya. 

Masyarakat resah bahwa proyek pemindahan ibu kota dinilai akan berpotensi merusak dan mengurangi luas hutan didalamnya, bahkan saat ini pula Kalimantan Timur juga berperan sebagai pemasok dan sumber bahan bakar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU yaitu tambang batu bara. 

Tentunya aktivitas pertambangan sudah banyak memanfaatkan sumberdaya alam sekitarnya. Namun, Pemerintah Republik Indonesia telah menerapkan konsep yang tepat untuk ibu kota baru yaitu Ibu Kota Negara yang Green, Smart, Beautful, dan Sustainable atau Forest City. 

Arti dari konsep Forest City sendiri ialah konsep yang menerapkan besar luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 50 persen dari total luas area kawasan yang meliputi taman rekreasi, kebun binatang, taman hijau, botanical garden, dan sport complex, dimana mereka terintegrasi dengan sumberdaya berupa bentang alam yang ada seperti kawasan berbukit serta Daerah Aliran Sungai (DAS) dan struktur topografi. 

Konsep Forest City atau Green City ini juga mendukung penggunaan bahan bakar alternatif dengan pemanfaatan energi terbarukan dan rendah karbon seperti solar energi, gas, dan sebagainya untuk mengoptimalkan pasokan gas, jaringan listrik yang efisien, serta untuk penerangan jalan dan penerangan bangunan. 

Sementara untuk efsiensi dan konservasi energi, disebutkan bahwa akan diperlukannya desan bangunan hijau/ramah lingkungan melalui penerapan sistem manajemen seperti sistem manajemen sirkulasi air, efisiensi pencahayaan, serta sistem pendinginan distrik. 

Desain konsep ibu kota baru Negara Kesatuan Republik Indonesia memang mampu menunjukkan nilai pelestarian dan ramah lingkungan serta kombinasi antara kota pemerintahan berbasis keberlanjutan dan teknologi modern yang mendukung revolusi industri serta pemerhatian penuh terhadap efisiensi. Banyak kota dari berbagai negara dibelahan dunia yang telah menerapkan dan mengimplementasikan konsep Green City/Forest City antara lain Bristol (South West England), San Fransisco (Amerika Utara),  serta Singapura.

Pemerintah Republik Indonesia juga akan mengusahakan ibu kota baru sebagai simbol identitas bangsa, ibu kota modern dengan standart internasional, serta ibu kota negara yang memiliki tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien. Maka pemerintah juga melihat dari aspek wilayah untuk ibu kota negara yang baru. 

Menurut Bappenas, Kalimantan Timur berada di lokasi strategis, dimana secara geografis Kalimantan Timur berada di tepat tengah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Letak yang strategis ini mendukung representasi keadilan dan sebagai pendorong kecepatan pengembangan wilayah KTI (Indonesia Centris). 

Selain letak Provinsi Kalimantan Timur yang strategis untuk ibu kota negara yang baru, ketersediaan lahan yang luas dan melimpah milik pemerintah/BUMN Perkebunan juga masih banyak tersedia, maka dapat disimpulkan hal ini mampu mengurangi biaya investasi. Provinsi Kalimantan Timur selain memiliki letak kawasan yang strategis, kawasan tersebut juga bebas bencana alam, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir, erosi, serta kebakaran lahan gambut dan kebakaran hutan. 

Kemudian tersedianya sumber air yang cukup melimpah dan bebas dari pencemaran, mengingat kondisi air di DKI Jakarta bisa dibilang sangat tercemar dan tentunya mengganggu kesehatan masyarakat. Kalimantan Timur memang memiliki letak yang sangat strategis, letaknya dekat dengan kota eksisting yang sudah berkembang. Hal ini penting untuk efisiensi investasi awal kebutuhan infrastruktur untuk ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru. 

Akses menuju kota-kota pendukung juga dibilang mudah, karena dengan akses mobilitas atau logistik bisa melalui bandara, pelabuhan, dan jalan umum. 

Ketersediaan pelabuhan laut juga dinilai sangat penting, mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Martim, dengan jumlah lautan atau perairan serta sumberdaya yang lebih besar melalui konektivitas tol laut antar pulau yang tentunya memudahkan distribusi. Tingkat fasilitas kota pendukung juga diperhatikan, seperti air minum, sanitasi, listrik, serta jaringan komunikasi yang memadai untuk dikembangkan.

Selain itu, Kalimantan Tmur yang nantinya akan menjadi provinsi dari ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru tentunya akan menjadi kota yang heterogen, dimana akan banyak pendatang baru dari Pulau Jawa hingga masyarakat dari kota lain, dimana mereka berasal dari suku yang bermacam-macam, serta memiliki adat istiiadat serta memeluk agama yang berbeda-beda. Maka potensi konflik sosial di Kalimantan Timur harus rendah, sehingga memiliki daya budaya yang terbuka terhadap pendatang, kawasan ibu kota baru juga harus mampu meminimalisir dampak negatif terhadap komunitas lokal. 

Maka dari itu, perlu juga agar selalu menjaga kesatuan dan persatuan selayaknya simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika.  Walaupun ibu kota Negara Republik Indonesia akan dipindahkan dari DKI Jakarta ke luar Pulau Jawa, pembangunan dan perbaikan Jakarta tidak akan diabaikan pemerintah. Banyaknya permasalahan membutuhkan banyak pula perbaikan untuk kenyamanan dan kesejahteraan warga di DKI Jakarta. 

Mengingat bahwa udara di DKI Jakarta sudah bisa dibilang menjadi salah satu kota dengan udara terburuk di dunia membuat pemerintah khawatir akan kesehatan warganya. 

Telah di konfirmasi bahwa dana sebanyak 570 Triliun Rupiah oleh APBN akan digunakan untuk memperbaiki Jakarta agar kembal layak demi kesejahteraan warga. Dana sebanyak 570 Triliun Rupiah tersebut akan digunakan untuk pengelolaan transportasi massal, pengelolaan air bersih, air limbah, dan sampah. Pengendalian banjir serta penyediaan pasokan air, disusul dengan penyediaan kebutuhan pemukiman. 

Hal ini sebagai wujud dari kewajiban pemerintah pusat dengan turut mengatasi permasalahan di Jakarta (RPJMD 2018-2023). Selain itu, peran masyarakat khususnya masyarakat DKI Jakarta, dengan diadakannya rehabilitasi kota Jakarta agar kembali layak untuk dihuni dan memperbaiki kebjakan serta beberapa kondisi fisik yang sudah rusak, diharapkan masyarakat mampu berkontribusi dengan tidak membuang sampah sembarangan, bertanggung jawab atas kebijakan dan peraturan yang ada dengan mematuhinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun