Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Dari tahun ke tahun kita masih terus bergulat dengan pengangguran. Sebuah kenyataan yang sangat mencekam hati mengingat setiap tahun sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini kembali merilis ribuan alumni. Dengan tingkat pertumbuhan lapangan kerja yang rendah, dikhawatirkan pengangguran akademik (juga sama halnya dengan pengangguran lainnya), akan semakin bertambah dan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada Februari 2008 tercatat 9,43 juta penganggur atau sebanyak 8,46 persen dari total penduduk. Pengangguran di tingkat SD-SMP berjumlah 4,8 juta orang, sedangkan di jenjang SMA-universitas mencapai 4,5 juta orang.
Di sisi lain, lapangan kerja rata-rata hanya menyerap 37% lulusan perguruan tinggi. Bahkan, beberapa tahun ke depan diperkirakan daya serap itu menurun karena pengaruh resesi dan perkembangan teknologi yang semakin meminimalkan peran tenaga manusia.
Sebagaimana dimaklumi, salah satu motivasi mendasar untuk mengikuti proses pendidikan adalah untuk dapat bekerja dengan penghasilan yang layak menghidupi keluarga. Jika keadaan ini tidak segera dikendalikan, maka sejumlah dampak negatif akan bermunculan, dan ujung-ujungnya adalah bertambahnya kemiskinan.
Padahal, praktek kehidupan bernegara diselenggarakan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera, setidaknya jauh dari kemiskinan. Membicarakan dunia pendidikan, lapangan kerja dan sejumlah aspek kehidupan yang lain memang senantiasa bermuara pada upaya pengetasan kemiskinan.
Pendidikan Tinggi
Sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa, pendidikan tinggi merupakan kelanjutkan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyakarat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian.
Kenyataannya, praktek penyelenggaraan pendidikan tinggi di negeri ini, harus diakui, masih jauh dari yang diharapkan. Angka-angka statistik pengangguran yang tersaji setiap tahun, menjadi salah satu parameter untuk kembali mempertanyakan sistem pendidikan kita, termasuk proses pendidikan tinggi; apakah benar-benar bisa menghasilkan anggota masyarakat yang berdaya saing unggul atau belum.
Dalam perkembangannya, paradigma pendidikan tinggi kita memang kelihatan lebih condong berorientasi untuk menghasilkan alumni pencari kerja (job seekers), bukan alumni pencipta lapangan kerja (job creator). Sampai saat ini, sekitar 82,2 persen lulusan perguruan tinggi yang berhasil mendapatkan pekerjaan, ternyata bekerja sebagai pegawai.
Salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang tidak menggembirakan. Pendidikan tinggi belum bisa menjadi faktor penting bagi kenaikan kesejahteraan masyarakat
Selain itu, pendidikan tinggi juga terbukti belum mampu melahirkan para entrepreneur/risk taker dengan orientasi job creating dan kemandirian; pengangguran terdidik dari pendidikan tinggi terus bertambah; belum lagi problem pengabdian masyarakat, di mana perguruan tinggi dirasa kurang responsif dan berkontribusi terhadap problem masyarakat yang berada di wilayah di mana kampus itu berdiri. Jadilah Tri Dharma Perguruan Tinggi nyaris tinggal bacaan saja, padahal di situlah entitas pendidikan tinggi berada; pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Perguruan tinggi belum mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat. Anarkisme/kekerasan intra dan inter kampus seperti membentuk lingkaran kekerasan. Hampir setiap tahun, atau di waktu-waktu tertentu, kita disajikan dengan berita tawuran mahasiswa, juga tawuran para siswa.
Tentunya ada juga prestasi yang telah dicapai, akan tetapi gaung masalah jauh lebih bergema dibandingkan deretan prestasi-prestasi itu.
Pengangguran Terdidik
Sulit mendapatkan angka pasti berapa jumlah mahasiswa baru yang mendaftar ke perguruan tinggi setiap tahun, tetapi diyakini jumlahnya terus meningkat. Hal ini didukung oleh semakin bertambahnya jumlah perguruan tinggi, baik yang berbentuk Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Politeknik, atau Akademi.
Yang pasti, jumlah pengangguran terdidik di Indonesia setiap tahun terus bertambah, apalagi bila mengingat tiap tahun ada dua gelombang wisuda di tiap Perguruan Tinggi (PT).
Tahun 2008, Indonesia mendapat ranking 1 di Asia dalam jumlah pengangguran tertinggi. Hal ini dianggap mengancam stabilitas kawasan Asia mengingat secara keseluruhan jumlah penduduk Indonesia lebih besar daripada Negara-negara tetangga. Meskipun ditengarai turun sekitar 9% dari tahun 2007, tapi secara umum angka ini tetap saja dianggap yang tertinggi di Asia.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah sarjana (S-1) pengangguran pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, tepatnya Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau sekitar 626.200 orang. Tiap tahun rata-rata 20% lulusan perguruan tinggi kita menjadi pengangguran.
Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, pada Februari 2012 terdapat lebih dari 1 juta pengangguran terdidik. Belum ditambah pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) terus meningkat. Dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%.
Jika dikaji dari perspektif sosiologi, meningkatnya pengangguran terdidik jelas membahayakan. Para penganggur itu sangat rentan melakukan tindak kriminalitas. Bahkan dengan kemampuan intelektual yang dimiliki, para sarjana pengangguran itu bisa menciptakan kejahatan baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Dari perspektif ekonomi, para pengangguran ini akan menjadi beban ekonomi keluarga, masyarakat bahkan bangsa ini. Mereka bahkan dapat menjadi pemicu lahirnya kemiskinan model baru; mereka miskin bukan karena tidak tahu apa-apa, melainkan akibat sulitnya mengakses lapangan kerja.
Beberapa Masalah
Kenyataan bahwa perguruan tinggi belum mampu berperan sebagaimana yang diharapkan, memang meniscayakan upaya perbaikan. Namun, terlebih dahulu kita mesti memahami bahwa problem di perguruan tinggi sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari karut-marutnya keseluruhan sistem pendidikan nasional kita.
Berikut ini adalah beberapa poin permasalahan yang bisa menjadi fokus kita:
1. Kurikulum
Kurikulum pendidikan kita kerap berubah-ubah dalam waktu yang relatif singkat. Akibatnya menjadi sangat sulit untuk menggambarkan bagaimana sebenarnya arah pendidikan kita selama ini. Masyarakat banyak berkesimpulan bahwa perubahan kurikulum yang berlangsung terus-menerus sesungguhnya tidak substansial, bahkan dianggap hanya praktek menghabiskan uang negara, dan pada bagian akhir yang berbeda hanyalah bukunya.
Selain itu, konsep umum pendidikan kita adalah lebih menekankan pada aspek kecerdasan konseptual (kognitif) saja, bukan dengan menyeimbangkannya dengan kemampuan psikomotorik, afektif maupun enterpreneurship. Tidak berlebihan jika lembaga pendidikan kita lebih dikenal sebagai rumah produksi sarjana tidak produktif.
2. Biaya Tinggi
Tak bisa dinafikkan bahwa kian hari biaya pendidikan semakin mahal saja. Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang kerap mengatakan, kalau mau pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal.
Pembagian jalur masuk lembaga pendidikan melalui jalur formal standar dan jalur formal mandiri memberikan kesan diskriminasi yang sangat kental, karena telah mengkotak-kotakan model pendidikan kita berdasarkan kemampuan finansial dan akademik.
3. Kaburnya Konsep Pendidikan
Konsep mulia pendidikan untuk mencerdaskan manusia dan membentuk akhlak mulia kian redup. Tidak dapat dipungkiri, kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya dengan harga yang sangat murah.
Keadaan ini diperparah dengan semakin suburnya bisnis lembaga pendidikan swasta, terutama yang fokus pada profesi-profesi tertentu, seperti kesehatan, kebidanan dan lainnya. Jika ada uang, maka gelar sarjana dapat dengan mudah didapat. Ini adalah fakta yang susah dibantah.
Padahal seharusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang tinggi, memiliki analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila di terjunkan dalam suatu permasalahan dapat mengambil suatu keputusan, bukan hanya gelar sarjana tanpa arti apa-apa.
4. Standarisasi Nasional
Standarisasi pendidikan melalui mekanisme Ujian Nasional (UN) melahirkan sangat banyak kontroversi. Koalisi Pendidikan mensinyalir bahwa praktek UN ini mengandung sedikitnya 4 penyimpangan, baik dari aspek pendidikan pedagogis (kognitif, psikomotorik dan afektif), aspek yuridis, aspek sosial/psikologis maupun aspek ekonomis.
Selain itu, penyelenggaran Ujian Masuk SD/SMP/SMU/PT juga masih perlu dievaluasi kembali, terlebih ketika kita mencari sejauh mana proses seleksi seperti ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas alumni lembaga pendidikan kita, terlebih ketika mencoba membandingkan praktek ini pada seluruh lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, di negeri kita.
5. Fasilitas Terbatas
Fasilitas belajar sangat banyak mempengaruhi proses belajar mengajar. Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Selain itu, sarana penunjang lain, terutama yang berhubungan dengan alat peraga, teknologi dan internet juga masih sulit didapatkan di setiap sekolah.
6. Disparitas Barat – Timur
Tidak banyak lembaga pendidikan yang cukup berkualitas di Indonesia bagian Timur, jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan di Indonesia Barat, terutama di pulau Jawa. Akibatnya, banyak alumni SMU/Sederajat di Indonesia bagian Timur terpaksa melanjutkan kuliah di PT yang low grade, dengan konsekuensi yang hampir bisa ditebak: pengangguran terdidik!
Distribusi lembaga pendidikan yang secara geografis tidak merata ini juga diikuti dengan sebaran tenaga pendidik yang tidak merata pula, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Terlepas dari sejumlah persoalan yang masih membelit dunia pendidikan kita di atas, saya mau lebih fokus untuk membahas bagaimana mengentaskan persoalan pengangguran terdidik dari kampus-kampus perguruan tinggi. Setidaknya dengan lebih fokus menyelesaikan hal ini, kita bisa berharap akan melahirkan sebuah generasi sarjana berdaya guna yang dapat memberikan angin segar perubahan dan perbaikan taraf hidup bagi masyarakat di sekitarnya.
Persoalan mendasar yang kita hadapi adalah, tingginya jumlah pengangguran berpendidikan tinggi yang jelas-jelas menunjukkan proses pendidikan di perguruan tinggi kurang menyentuh persoalan-persoalan nyata di dalam masyarakat. Perguruan tinggi belum bisa menghasilkan lulusan yang mampu berkreasi di dalam keterbatasan dan berdaya juang di dalam tekanan. Mentalitas alumni PT yang kita produksi lebih banyak yang pasif dan berupa type kuli – hanya mengerjakan apa yang diperintahkan atasan, minim kreatifitas dan mandul inisiatif.
Guna menekan kenaikan jumlah pengangguran terdidik, tidak ada pilihan bagi perguruan tinggi (PT) dan dunia pendidikan untuk mengubah paradigma. Jika semula lebih menekankan pada aspek kecerdasan konseptual (kognitif), kini harus dibarengi penanaman jiwa kewirausahaan (entrepreneurship).
Pasalnya, berbagai penelitian menunjukkan keberhasilan mahasiswa bukan ditentukan kepandaian yang dipunyai, tetapi oleh faktor lainnya yang sangat penting. Singkatnya, tingkat kecerdasan hanya menyumbang sekitar 20%-30%, sementara jiwa kewirausahaan yang didukung kecerdasan sosial justru menyumbang 80% keberhasilan anak di kemudian hari.
Istilah kewirausahaan atau entrepreneurship, merupakan kemampuan untuk menginternalisasikan bakat rekayasa dan peluang yang ada. Seorang entrepreneur akan berani mengambil risiko (risk-taker), inovatif, kreatif, pantang menyerah, dan mampu menyiasati peluang secara tepat.
Lebih dari itu, jiwa dan semangat kewirausahaan juga sangat urgen dalam menentukan kemajuan perekonomian suatu negara. Bukan hanya ketepatan prediksi dan analisis yang tepat, melainkan juga merangsang terjadinya invensi dan inovasi penemuan-penemuan baru yang lebih efektif bagi pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, jumlah entrepreneur masih sangat minim. Pada 2007 angkanya tercatat baru 0,18% atau 400.000 dari jumlah penduduk Indonesia. Padahal, dibutuhkan sedikitnya 2% enterpreneur untuk bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan bangsa ini. Sebagai perbandingan, Singapura saja pada 2001 memiliki 2,1% entrepreneur dan pada 2005 meningkat menjadi 7,2%. Bandingkan saja perekonomian kita dengan negara kota ini! (Bersambung ke tulisan bahagian kedua)
Makalah ini dibawakan dalam Seminar Nasional Penyelerasan Pendidikan Tinggi dengan Dunia Kerja oleh Kemendiknas di Jakarta, 14-16 Oktober 2010. Makalah ini juga dipublikasikan di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H