Keadaan ini diperparah dengan semakin suburnya bisnis lembaga pendidikan swasta, terutama yang fokus pada profesi-profesi tertentu, seperti kesehatan, kebidanan dan lainnya. Jika ada uang, maka gelar sarjana dapat dengan mudah didapat. Ini adalah fakta yang susah dibantah.
Padahal seharusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang tinggi, memiliki analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila di terjunkan dalam suatu permasalahan dapat mengambil suatu keputusan, bukan hanya gelar sarjana tanpa arti apa-apa.
4. Standarisasi Nasional
Standarisasi pendidikan melalui mekanisme Ujian Nasional (UN) melahirkan sangat banyak kontroversi. Koalisi Pendidikan mensinyalir bahwa praktek UN ini mengandung sedikitnya 4 penyimpangan, baik dari aspek pendidikan pedagogis (kognitif, psikomotorik dan afektif), aspek yuridis, aspek sosial/psikologis maupun aspek ekonomis.
Selain itu, penyelenggaran Ujian Masuk SD/SMP/SMU/PT juga masih perlu dievaluasi kembali, terlebih ketika kita mencari sejauh mana proses seleksi seperti ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas alumni lembaga pendidikan kita, terlebih ketika mencoba membandingkan praktek ini pada seluruh lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, di negeri kita.
5. Fasilitas Terbatas
Fasilitas belajar sangat banyak mempengaruhi proses belajar mengajar. Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Selain itu, sarana penunjang lain, terutama yang berhubungan dengan alat peraga, teknologi dan internet juga masih sulit didapatkan di setiap sekolah.
6. Disparitas Barat – Timur
Tidak banyak lembaga pendidikan yang cukup berkualitas di Indonesia bagian Timur, jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan di Indonesia Barat, terutama di pulau Jawa. Akibatnya, banyak alumni SMU/Sederajat di Indonesia bagian Timur terpaksa melanjutkan kuliah di PT yang low grade, dengan konsekuensi yang hampir bisa ditebak: pengangguran terdidik!
Distribusi lembaga pendidikan yang secara geografis tidak merata ini juga diikuti dengan sebaran tenaga pendidik yang tidak merata pula, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Terlepas dari sejumlah persoalan yang masih membelit dunia pendidikan kita di atas, saya mau lebih fokus untuk membahas bagaimana mengentaskan persoalan pengangguran terdidik dari kampus-kampus perguruan tinggi. Setidaknya dengan lebih fokus menyelesaikan hal ini, kita bisa berharap akan melahirkan sebuah generasi sarjana berdaya guna yang dapat memberikan angin segar perubahan dan perbaikan taraf hidup bagi masyarakat di sekitarnya.