Konferensi setiap agama itu menghadirkan perwakilannya untuk tampil menguraikan topik tersebut melalui sebuah karya tulis yang akan dibacakan di hadapan banyak orang. Dan pada waktu itu perwakilan dari Islam, Hz. Mirza Gulam Ahmad yang dikemudian hari mendirikan sebuah organisasi bernama Jamaah Ahmadiyah lalu kemudian memproklamirkan dirinya sebagai Imam Mahdi serta Juru Selamat yang ditunggu oleh semua umat manusia di dunia ini.
Sayangnya dalam buku tersebut hanya memaparkan pembahasan dari satu sudut pandang agama Islam yang ditulis oleh Hz. Mirza Gulam Ahmad. Sedangkan tulisan dari perwakilan agama lain tidak tercantum. Sehingga membentuk pola pikir dalam benak saya waktu itu. Bahwa agama lain tak mampu sehebat agama Islam dalam memaparkan topik-topik di atas.
Dari situ secara tak sadar diri saya telah mendiskreditkan agama lain. Padahal, saya sendiri pun belum mengetahui penjelasan agama lain terkait topik-topik yang dihadirkan dalam konferensi agama-agama besar waktu itu. Kebanggaan yang melampaui batas menyebabkan diri saya sedikit intoleran. Ditambah dengan prinsip hidup yang ambisius menciptakan keinginan dalam hati waktu itu, 'mengapa tidak aku Ahmadiyah-kan saja seluruh umat manusia di dunia ini.'
Mungkin kebanyakan orang akan bersikap intoleran dikarenakan hidup dalam satu lingkungan yang homogen. Akan tetapi itu tidak berlaku bagi diri saya. Saya memang lahir di tengah lingkungan homogen yakni kultur Islam sampai kelas empat SD. Itu pun mengalami suatu perpindahan yang sifatnya situasional karena selama menginjak sekolah dasar saya sempat empat kali pindah sekolah.
Sampai di mana secara terbiasa mulai bergaul dan berteman dengan no muslim ketika menginjak kelas lima SD di salah satu sekolah di Jambi. Lalu kemudian menginjak kelas enam SD, saya mulai pindah lagi ke SDN Air Terbit 039, Desa Air Terbit Kec. Kampar, Kab. Pekanbaru. Di sana saya berinteraksi dengan anak-anak transmigrasi dari sebagian daerah di Indonesia.
Saya berhubungan baik dengan mereka, terkadang saling bertukar jawaban saat ulangan, berbagi makanan, bahkan sempat juara dua volly satu kecamatan Kampar yang terdiri dari saya Muslim, Gilang Jawa Kristen, Gery Batak Kristen, Robert Batak Kristen, dan dua lagi nama rekan saya yang lupa.
Mungkin karena waktu itu pemahaman nilai-nilai religius belum begitu mendalam, hanya sebatas baru mengenal huruf ali dan ba. Sehingga kefanatikan kepada nilai-nilai religius belum muncul dalam diri saya.
Namun sejak menginjak sekolah menengah atas, saya mulai sedikit demi sedikit mendalami agama Islam yang berkiblat pada paham Muslim Jemaah Ahmadiyah. Dari mulai membaca Al-Quran, mengenal hadist, sampai ke arah kajian tentang kewafatan Nabi Isa As, Khatamannabiyyin, dan kedatangan Juru Selamat. Yang menjadi suatu kekhasan dari Jemaah Ahmadiyah.
Yang mana ketiga kajian itu, seiring berjalannya waktu saya baru memahami bahwa sedikit besar mampu menyulut kemarahan baik itu non-muslim, begitu pun dalam tubuh Islam sendiri terpercik sedikit amarah. Hal itu dikarenakan paham Muslim Jemaah Ahmadiyah melawan arus utama mayoritas bendera Islam pada umumnya. Yang memahami bahwa Nabi Isa As masih di langit, tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad, dan masih menunggu Imam Mahdi.
Nyatanya tidak hanya itu, keberadaan Jamaah Ahmadiyah secara tidak langsung memicu semua agama di dunia ini, baik itu agama samawi maupun kepercayaan lokal yang ada di dunia ini tersulut amarahnya. Hal itu karena Hz. Mirza Gulam Ahmad nyatanya tidak hanya memproklamirkan diri beliau sebagai Juru Selamat bagi umat Islam semata yakni Imam Mahdi (Isa Almasih).
Namun  Juru Selamat bagi agama di luar Islam, seperti Kristen yang sedang menunggu Isa Almasih, Yahudi yang menanti Elyasa, Hindu dengan Avatarnya, Budha dengan Budhanya, Kong Hu Cu dan kepercayaan lokal lainnya yang ada di seluruh negara di dunia ini. Yang mana kesemuanya itu sejatinya tengah menunggu Juru Selamat  dengan ragam namanya yang ditunggu. Jelas hal ini menimbulkan suatu kebanggaan tersendiri dalam diri saya.