"Ya Allah, Nin. Loe kenapa?" Ntah seberapa beruntung nya aku dianugerahi sahabat yang sudah seperti kakak kandung sendiri.Â
"Perut gue sakit, Nggi." Darah mengalir dari area sensitif mengenai celanaku.Â
"Loe lagi dapet ya?" Sifanggi langsung memapahku ke dalam mobilnya dan membawaku ke rumah sakit terdekat.Â
Remang remang mataku menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Sifanggi mengelus kepalaku. Tatapannya sendu. Bahkan, butiran bening itu menetes mengenai keningku.Â
"Syukurlah loe udah sadar, Nin." Sifanggi membantuku bersandar di dinding.Â
"Apa kata dokter?" Tanya ku pelan. Suaraku masih terdengar lemah.
Sifanggi ragu untuk mengatakan suatu hal. Dia memalingkan wajah sesekali ke arah lain. Berupaya membendung air mata yang seperti nya overload.Â
"Ya Tuhan. Gimana gue cara ngomongnya ya. Pasti dia bakal syok banget." Bisik Sifanggi dalam hatinya.
"Kata dokter, loe keguguran Nin."
"What? Kamu serius? Gue sampe gak nyadar ada kehidupan di dalam rahim gue." Tangisku pecah menggema di ruang kamar Bugenvil.
Sifanggi mendekapku erat seraya mengelus kepalaku.Â