"Gak. Mending loe pergi sekarang." Sifanggi mendorong tubuh cowok itu keluar menjauh dari kamarnya.Â
"Please. Terakhir kali, gue gak bakal ulangi lagi, Nggi." Pinta Ghio.
"Terakhir terakhir!!! Basi! Udah berapa kali loe bilang gak bakal sakitin Anin lagi, tapi apa? Bullshit! Pergi loe!" Sifanggi benar benar muak dengan lelaki di depannya ini.Â
Aku yang tahu kalo Ghio datang, menemui mereka yang sedang adu mulut. Ghio memaksa menemuiku, sementara Sifanggi bersi keras tidak akan membiarkan dia masuk.Â
"Masih ada nyali? Gak perlu ada yang dijelasin. Semua udah selesai." Ucapku tegas seraya melepaskan benda yang melingkar di jari manis.Â
"Engga Nin, gue janji bakal berubah. Please Nin." Ghio memegangi tanganku sembari memohon untuk tidak membatalkan pertunangan.Â
"Kalo belum nikah aja loe seenaknya sama gue. Gimana nanti? " Suarku naik lima oktaf.
"Loe anggep gue apa selama ini? Gue udah kasih semuanya. Bahkan_" tak sanggup melanjutkan kata kata yang ingin ku utarakan.Â
"Gue salah, Nin. Gue terlalu egois. Tapi gue janji, Nin. Kasih kesempatan sekali lagi."Â
"Sorry, gue gak bisa. Mungkin dengan gue pergi dari hidup loe bisa bikin loe sadar. wanita yang sabar atas perlakuan yang ngga seharusnya dia terima sekalinya dia sadar. Loe gak bakal bisa dapetin dia lagi." Tanganku mencengkram kuat ujung gamis yang panjang nya di atas lutut.Â
"Pikiran loe terlalu sempit. Hubungan kita udah sejauh ini. Dan loe ngebatalin gitu aja? Ngga mikirin gimana keluarga kita yang udh nyiapin semuanya?" Ghio memegangi kedua bahuku.