Mohon tunggu...
Asri Nafa Safira
Asri Nafa Safira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

LAKUKAN YANG TERBAIK DALAM HIDUPMU!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Islam dan Budaya

14 September 2021   16:30 Diperbarui: 15 September 2021   21:11 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Landing Agama dan Budaya, serta Teknis Objektivikasi Agama

Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian, Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut oleh suatu masyarakat. Akan tetapi, dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya. Sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.

Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang Undang Dasar (UUD) Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, dijelaskan: "Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia."

Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam: Pertama, kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan: "al-'adatu muhakkamatun" artinya bahwa adat-istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syari'at, seperti kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu sah-sah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk joglo.

Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kriterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil "al adatu muhakkamatun" karena nikah antaragama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.

Kedua, kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian di "rekonstruksi" sehingga menjadi Islami. Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti lafadh "talbiyah" yang sarat dengan kesyirikan dan thowaf di Ka'bah dengan telanjang. Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk "Ibadah" yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantunkan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinyaagar sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Ketiga, kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya "ngaben" yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya "tiwah", sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam "tiwah" ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. 

Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar, karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yang meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah, mereka mempunyai budaya "Tumpeng Rosulan", yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa lautan selatan (Samudra Hindia).

Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.

Dengan demikian, objektivikasi agama memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut, dan Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan sunnah rasul. Dalam perjalanan sejarahnya, budaya lokal juga ikut mempengaruhi corak kebudayaan Islam. Istilah budaya Islam Syar`i digunakan untuk membedakan bentuk pemahaman dan pengamalan nabi atas agama yang belum dipengaruhi oleh budaya Jahiliyah (unsur-unsur budaya lokal). 

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam seperti yang dicontohkan oleh rasul, adalah sistem yang merupakan kesatuan utuh antara aspek aqidah (iman) aspek Islam (aturan-aturan formal) dan aspek ihsan (moral spiritual). Sepeninggal Rasul, untuk masa tertentu meski terjadi gejolak sosial dan politik, tetapi magnet al-Qur'an dan sunnah masih cukup kuat menarik jiwa penganutnya, terutama para sahabat besar, sehingga budaya lokal tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap budaya Islam. Di sisi lain, agama dan budaya dapat di-landing-kan tatkala memenuhi prinsip-prinsip syari'at dan tidak menyalahi norma-norma dan nilai-nilai dasar dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Keduanya merupakan sumber hukum Islam yang wajib diikuti untuk keselamatan umat manusia menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun