Namaku Raib. Nama yang unik bukan? Aku juga heran, dari berjuta-juta nama di dunia ini, kenapa orang tuaku memilih nama Raib. Aku masih ingat, ketika masih sekolah dasar dulu, guru memanggil namaku.
"Raib", sahut guruku
"Hilang bu guru" timpal temanku
"Lho, kalian kok bilang begitu, Raib kan ada, tuh dia duduk di belakang" Â kata guruku sambil menunjuk dengan jari telunjuknya yang aku kira jari jempol karena saking besarnya.
"Habis, namanya Raib sih bu" celoteh temanku dengan wajah tak berdosa.
Sontak seisi kelas menertawakanku. Dan aku? Ya aku hanya bisa ikut tertawa, terasa ada angin yang masuk ke dalam mulutku karena saat itu kedua gigi depanku telah raib di cabut oleh ibuku dengan beringasnya. Saat itu, aku masih polos belum tahu apa makna dibalik tertawaan. Aku hanya tahu, jika seseorang tertawa itu tandanya ia bahagia.
Saat aku beranjak remaja, saat itu aku sudah di Sekolah Menengah Pertama. Masih jelas diingatanku ketika guru agama memanggilku.
" Raib" teriak guruku
"Hilang pak" timpal temanku
"Anak-anak, jangan katakan seperti itu. Tidak boleh mengatakan seperti itu pada teman. Itu sama dengan menghina, dan agama kita melarang untuk berbuat demikian. Mengerti semua anak-anak" sahut guruku dengan bijaknya.
"Iya pak" teriak kami bersamaan
Lagi-lagi aku terdiam, aku pasrah dengan candaan temanku. Yang ku rasakan hanya gelisah karena belum mengerjakan PR yang diberikan guruku. Dan terasa lebih resah tatkala ingin menyalin PR temanku, tiba-tiba polpenku raib di dalam tas. Dua jam kemudian aku hanya bisa pasrah berdiri di bawah terik matahari sambil memberi hormat pada bendera yang berkibar sebagai bentuk hukuman karena tidak mengerjakan PR.
Dan kini usiaku 17 tahun, rasa ingin tahuku sangat tinggi. Orang-orang juga mengatakan bahwa masa ini merupakan masa pencarian jati diri. Tidak seperti kebanyakan remaja lelaki pada umumnya, yang memilih olahraga sebagai hobinya, aku justru lebih menyukai mambaca buku. Bagiku buku adalah jendela dunia, dengan segala informasi ada padanya yang tak pernah dilekang oleh waktu. Tapi tunggu dulu, jangan membayangkanku seperti kutu buku lainnya, berpakaian rapi, berwajah culun, berkacamata tebal. Oh no! Itu bukan gayaku. Aku hanya siswa biasa, berpakaian ala kadarnya, dan berwajah apa adanya. Dan dimasa ini pula aku baru tahu bahwa ketika melihat seseorang, lalu jantung berdegup kencang, hati berbunga-bunga dan tatapan tak bisa berpaling darinya itu namanya jatuh cinta.
Suatu ketika, aku berada di toko buku dan berjalan diantara deretan buku yang tertata rapi di rak-rak lemari, aku melihat buku yang selama ini aku cari. Seperti anak kecil yang kegirangan mendapatkan eskrim, aku berlari untuk mengambilnya. Namun betapa kecewanya, ketika buku dan tanganku tinggal sejengkal, tiba-tiba buku itu raib diambil orang.
Deg. Hatiku tak karuan. Ternyata yang mengambil buku itu adalah teman sekelasku. Namanya syifa, rambutnya panjang, badannya mungil, dan berwajah imut. Sudah tiga tahun aku sekelas dengannya. Dan selama itu pula aku memendam rasa padanya. Dan seperti remaja kebanyakan, aku setiap harinya sangat bersemangat ke sekolah dengan keyakinan mengejar cita-cita dan cinta dari Syifa.
Setelah beberapa lama di toko buku, akhirnya aku menemukan beberapa buku yang menarik. Ketika berjalan ke arah kasir, tiba-tiba aku kembali melihat Syifa yang sedang berada diantrian. Sore itu memang banyak pengunjung di toko buku jadi mau tidak mau kami harus mengantri di tempat kasir. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, akupun berbalik melihanya. Seorang pria berkaca mata, berambut gondrong, dan berwajah sangar. Hampir saja aku berpikiran negatif tentangnya tapi segera kutepis pikiran itu tatkala kulihat ia memegang buku berjudul " Tata Cara Sholat".
"Ada apa pak?" tanyaku.
"Itu dik, buku adik terjatuh" katanya sambil menunjuk buku yang tergeletak dilantai
"Oh iya, terima kasih pak" balasku sambil mengambil buku yang tergeletak di lantai.
Ketika tiba giliran untuk membayar dikasir, aku mengambil dompet yang sedari tadi di kantong belakang celanaku. Dan betapa terkejutnya, ketika tak kutemukan dompetku di sana. Dompetku raib entah kemana, aku panik sejadi-jadinya. Lalu tiba-tiba muncul kecurigaanku terhadap bapak tadi. Dan naas tenyata bapak yang sedari tadi di belakangku juga ikutan raib. Aku merasa malu karena tak dapat membayar buku yang ingin kubeli. Hampir saja aku mengembalikan buku itu, sebelum akhirnya terdengar suara lembut di sampingku.
"Biar aku saja yang bayar" kata Syifa
"Tidak usah syifa" jawabku tegas
"Nggak apa-apa, ini juga nggak gratis kok, kamu hutang sama aku, gimana?" katanya dengan mimik simpati.
"Baiklah kalau begitu, dari pada malu" jawabku pelan sambil menggaruk kepalaku yang memang gatal karena ketombe.
"Nah gitu dong, sini bukunya" katanya sambil mengambil buku yang ada di genggamanku.
Setelah hari itu, aku bertambah kagum padanya. Selalu memikirkannya dan curi-curi pandang padanya. Akhirnya aku bertekad untuk mengungkapkan perasaanku. Segera kubeli coklat di kantin dan kusimpan coklat itu di dalam tas. Lalu ketika jam pulang tiba, dengan segenap keyakinan, kuhampiri Syifa yang saat itu tengah duduk di taman sekolah kami.
"Syifa, ada yang ingin kusampaikan padamu" kataku mantap
"Iya Raib, katakan saja" jawab Syifa singkat
"Sebenarnya dari dulu aku suka sama kamu dan aku ingin kamu mau jadi pacarku" kataku dengan penuh percaya diri.
"Kalau kamu terima aku, kamu ambil coklat ini. Tapi kalau kamu nolak, kamu nggak ambil coklat ini" sambungku
"Coklatnya mana?" jawab syifa
"Oh iya, tunggu dulu aku ambilkan" kataku sambil merogoh tas yang ada di pundakku.
Dan betapa terkejutnya, ketika tak kutemukan coklat di dalam tas. Di sana hanya ada sebuah tulisan disecarik kertas yang aku tahu tulisan itu dari Doni, teman sebangkuku.
Maaf ya Raib, coklat kamu aku makan soalnya aku lapar sekali, tadi pagi aku tidak sarapan, hehe..... sebagai gantinya besok aku traktir kamu bakso ya!
Coklatku raib. Dan itu membuat suasana seketika jadi canggung.
"Coklatnya mana Raib?" tanya Syifa
"Aduh, coklatnya ketinggalan di kelas, aku ke sana dulu ya" jawabku seadanya
"Nggak usah Raib. Maaf ya aku juga mau pulang, soalnya mobil jemputanku sudah datang" kata Syifa sambil berlalu.
Aku kecewa, benar-benar kecewa. Aku merasa duniaku runtuh, usahaku gagal karena coklat yang raib. Dan hal yang lebih menyesakkan hatiku tatkala ku tahu bahwa keesokan harinya berhembus kabar bahwa Syifa telah raib. Dia telah pindah sekolah di kota yang lain. Akhirnya kuputuskan untuk menggenggam jantungku yang berdegup, membuang bunga-bunga dihatiku yang telah layu dan memalingkan tatapanku pada bangkunya yang telah kosong.
Hari-hari kini kujalani dengan rasa sepi, seperti anak ayam yang nyasar karena kehilangan induknya, Â semenjak kepergian Syifa, rasanya aku tak semangat lagi untuk pergi ke sekolah. Ditambah akhir-akhir ini aku sering melamun. Aku harus pasrah oleh omelan ibuku yang bertubi-tubi karena nilai-nilaiku anjlok. Lalu kupikir dengan matang jika terus seperti ini bisa-bisa sekolahku terbengkalai. Aku harus kuat, aku harus tegar. Kuyakinkan pada diri bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Perjalanan hidupku masih panjang.
Kemudian dengan hati yang mantap, aku berjalan ke Mesjid yang tak jauh dari rumah. Sebelum masuk ke dalam mesjid, kusimpan dengan rapi sandal jepit yang kupakai, maklum sandal jepit ini adalah kesayanganku. Hadiah dari ayah, saat aku memenangkan lomba puisi tingkat dusun di daerahku. Lalu, aku masuk ke dalam mesjid, kulihat sudah ada beberapa orang yang sedang melaksanakan sholat sunnah, setelah menunggu beberapa saat kami pun melaksanakan sholat magrib berjamaah. Kemudian setelah selesai sholat, kami saling berjabat tangan, kurasakan betapa indahnya persaudaraan jika dibarengi dengan iman.
Ketika hendak meninggalkan mesjid, sandal jepit kebanggaanku raib entah kemana. Sandal jepit kesayanganku lenyap tinggal kenangan. Hatiku tambah sedih tatkala kudapati sandalku yang trendi tergantikan oleh sandal jepit yang bisa dikatakan lima tahun tak dicuci, kusam, dan tak layak pakai.
"Oh Tuhan, cobaan apa lagi ini", gumamku dalam hati.
Akhirnya diriku lunglai tak berdaya, seketika aku mengingat rentetan kejadian yang menimpa. Sepertinya aku terus kehilangan sesuatu disaat aku benar-benar menginginkanya. Sambil duduk di teras mesjid, aku berpikir bahwa apakah nasibku yang selalu raib karena namaku adalah Raib?
"Oh Tuhan, kenapa namaku harus Raib, kenapa namaku bukan Udin atau Ajul atau Joni atau apalah itu asal bukan Raib" gumamku dalam hati. Tiba- tiba seseorang memegang pundakku. Aku berbalik dan tiba-tiba di sampingku ada seseorang memakai pakaian serba putih, ya dia imam mesjid kami, pak Khalik namanya. Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata semua yang ada pada dirinya berwarna putih. Kopiahnya, rambutnya, jenggotnya, sampai sandal yang dipakainya juga berwarna putih. Aku mulai berpikir bahwa warna putih merupakan warna favorit pak Khalik.
"Kenapa belum pulang Raib?" tanya pak Khalik.
"Aduh pak, sandal saya hilang " jawabku lunglai
"Ib, ib, malang benar nasibmu Raib. Tapi kalau kamu ikhlas, insyaAllah pasti akan digantikan dengan yang lebih baik" kata pak Khalik bijak
"Iya saya juga percaya pak, bahwa sandal saya akan digantikan tapi sayangnya bukan dengan yang lebih baik pak tapi justru jadi jelek begini" kataku sambil memperlihatkan sendal yang reyot itu.
"Jangan-jangan karena nama saya Raib, nasib saya juga raib ya pak. Nama adalah doa kan pak. Kalau begitu saya ganti nama saja ya pak" timpalku
"Hush, jangan ngomong begitu Raib. Memang benar bahwa nama adalah doa tapi belum tentu nasib kamu juga ikutan raib" kata pak Khalik meyakinkan
"Habis pak, nasib saya selalu apes" kataku lagi
"Raib, jangan jadi orang yang suka berkeluh kesah. Yakinlah bahwa apa yang terjadi pada dirimu sekarang itu pasti ada hikmanya. Bersabarlah, karena Allah lebih menyukai orang-orang yang sabar. Yakinlah nak, bahwa segala yang baik akan datang padamu segera". Â Kata pak Khalik
"Aamiin....saya harap sesuatu yang baik akan segera tiba dihidup saya pak" kataku penuh harap.
"Nah begitu dong. Anak muda itu harus selalu semangat dan berpikir positif. Jangan sia-siakan masa mudamu. Ingatlah masa muda adalah masa terbaik dalam hidup manusia" kata pak Khalik sambil berlalu.
Akhirnya aku pulang dengan memakai sandal yang kusam itu. Kuikhlaskan hatiku menerima segala yang terjadi dihidupku. Dan aku percaya bahwa segala sesuatu yang baik akan tiba disaat yang tepat.
Keesokan harinya ketika aku berangkat ke sekolah tiba-tiba Adi, tetangga yang tinggal di samping rumah memberikanku sandal berwarna merah tua, ya itu adalah sandalku yang semalam raib di mesjid. Setelah kutanyakan mengapa sendal itu ada padanya, ternyata ia sendiri yang mengmbilnya. Setelah keluar dari mesjid ia tergesa-gesa pulang ke rumahnya sampai tak menyadari ternyata ia salah memakai sandal. Akupun bahagia sandal kesayanganku kembali.
Keberuntunganku pun tak sampai disitu, sampai di sekolah Doni memanggilku. Hari ini ia membawa uang yang banyak, jadi ia ingin mentraktirku bakso di kantin, sebagai permintaan maafnya karena pernah mengambil coklatku tanpa permisi. Dan lebih senangnya karena aku bisa makan bakso sepuasnya.
Aku mulai merasa, apa yang dikatakan pak Khalid memang benar. Kalau kita sabar dan ikhlas sesuatu yang baik itu akan datang. Pada sore yang cerah, aku tiba-tiba dikagetkan oleh panggilan telepon dari orang yang tak kukenal.
"Halo, ini dengan siapa ya?" tanyaku penuh dengan selidik
"Apa ini dengan Raib?" jawab seseorang diseberang telepon.
"Iya, ini dengan Raib sendiri. Ada apa ya?" tanyaku lagi
"Begini, kita pernah bertemu di toko buku, masih ingat dengan lelaki yang berambut panjang dan berkaca mata?" katanya
 "Iya saya masih ingat, ada apa ya?" tanyaku penuh selidik
"Saya menemukan dompet anda tergeletak di lantai toko. Awalnya saya berikan kepada penjaga toko, tapi beliau menolak karena dia juga tidak mengetahui siapa pemilik dompet ini. Akhirnya saya membawanya pulang, sekian lama baru saya periksa baik-baik ternyata di dalamnya terselip sebuah kertas kecil tertera nomor telepon.. Nanti saya kirimkan alamat supaya anda bisa mengambil dompet anda kembali. Lain kali hati-hati ya" katanya mengingatkanku
Kututup telepon, saking senangnya aku sampai lupa mengucapkan terima kasih. Ah, biarlah toh kami nanti akan bertemu lagi. Sepanjang hari hatiku sangat senang. Pada malam hari sebelum tidur, aku ingat tadi siang Fani, teman sekelasku memberikan sebuah buku. Ya, buku yang dibelikan oleh seseorang yang kukagumi, buku yang mengingatkanku pada Syifa. Aku buka lembar demi lembar. Sampai pada halaman terakhir, kudapati surat di lembaran buku itu. Kubuka dengan perlahan, dan kubaca dengan seksama. Deg, hatiku sekali lagi berdegup ternyata surat itu dari Syifa.
Dear Raib
Maaf ya Raib, aku tahu kamu kecewa padaku. Aku pergi sebelum menjawab pertanyaanmu. Aku juga nyaman bila bersamamu. Tapi aku sadar orangtuaku akan pindah, jadi hari itu aku tidak bisa berkata apa-apa. Sebenarnya rasaku padamu juga sama.
Raib, kamu percaya nggak dengan takdir. Aku yakin kalau memang kita jodoh, kita pasti akan dipertemukan lagi pada masa dan waktu yang tepat. Jadi, mari kita kejar impian kita dulu. Aku ingat, kamu pernah bilang suatu hari nanti kamu ingin jadi orang yang sukses. Akupun begitu Ib. Aku berharap suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi, dan aku harap, hari itu aku sudah bisa jadi wanita yang hebat. Karena aku percaya bahwa dibalik lelaki yang sukses ada wanita hebat. Jika memang aku adalah tulang rusukmu yang hilang, kemanapun aku pergi, aku pasti akan kembali.
Syifa
Aku tak bisa mengucapkan apapun. Besar keyakinanku suatu saat nanti, aku pasti bertemu dengannya lagi, seperti yang ia katakan dimasa dan pada waktu yang tepat. Segala yang baik benar-benar terjadi pada padaku sekarang. Dan aku tak ingin mengganti namaku, sebab aku percaya bahwa nasibku tak seraib namaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H