Mohon tunggu...
Asmara Dewo
Asmara Dewo Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Pendiri www.asmarainjogja.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

3 Tokoh Bangsa yang Berpesan Kepada Buya Hamka

18 April 2016   19:21 Diperbarui: 18 April 2016   19:47 2328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Buya Hamka | Foto via Rabithah-alawiyah"][/caption]

Buya Hamka adalah seorang ulama, sastrawan, politis, dan pejuang. Beliau bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di Maninjau, Sumatera Barat, pada tanggal 17 Februari 1908.

Bagi kamu yang pernah menonton film Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, dua film keren ini adalah hasil dari adaptasi novel beliau. Kalau kamu belum pernah nonton?! Aihhh… rugi banget deh.

Walaupun beliau adalah seorang ulama yang terpandang, dan disegani oleh orang-orang yang bersebrangan dengannya, namun Buya Hamka juga sempat “dimusuhi” oleh beberapa tokoh besar Indonesia.

Namun, karena jiwa pemaafnya dan tak pernah menggubris orang-orang yang membencinya membuatnya tetap istiqomah di jalan kebenaran. Buya selalu yakin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik.

Nah, tiga tokoh besar ini pernah bersebrangan dengan Buya Hamka. Sembari meminta maaf secara tak langsung, juga berpesan pada beliau:

1. Soekarno

                                                     [caption caption="Soekarno | Foto via Wikipedia"]

                                                                              [/caption]

“Saya ingin bila wafat kelak, Hamka bersedia mengimami shalat jenazahku.”

Soekarno dan Buya hamka secara langsung tak pernah konflik.   Karena memang Buya Hamka bukanlah seorang yang rakus kekuasaan. Apalagi menganggap orang lain yang tidak sepaham dengannya musuh. Tidak! Dalam catatan sejarah Buya tak pernah menganggap musuh pada siapapun.

Lalu kenapa ada pesan begitu kuat dari Soekarno pada Buya Hamka?

Tahun 1964-1966, dua tahun empat bulan Buya Hamka ditahan atas perintah Presiden Soekarno. Beliau dituduh melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No.11 yaitu merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno.

Buya akhirnya bebas setelah rezim Soekarno jatuh, dan digantikan rezim Soeharto.

Dan pada tanggal 16 Juni 1970, seorang ajudan Soeharto, Mayjen Suryo mendatangi rumah Buya Hamka untuk memberitahukan bahwa Soekarno meninggal, dan menyampaikan pesan terakhirnya, yaitu: Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.

Mendengar Soekarno meninggal, Buya pun bergegas berangkat melayat jenazah sang proklamator ini di Wisma Yaso. Di sana telah hadir pula Presiden Soeharto, dan beberapa pejabat tinggi negara lainnya.

Buya Hamka dengan mantap menjadi imam sholat jenazah Soekarno. Pesan terakhir sang Presiden Pertama Republik Indonesia yang memenjarakannya, dengan ikhlas ditunaikan Buya Hamka.

2. Mohammad Yamin 

                                                [caption caption="Mohammad Yamin | Foto via Wikipedia"]

[/caption]

“Bila saya wafat, tolong Hamka bersedia menemani di saat-saat akhir hidupku dan ikut mengantarkan jenazahku  ke kampung halamanku di Talawi.”

Tahun 1955 sampai 1957, sebagai seorang anggota Kontituante dari Fraksi Partai Masyumi, Buya Hamka aktif dalam sidang perumusan Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam sidang ada dua pilihan sebagai Dasar Negara, yaitu:

UUD’45, dengan Dasar Negara Pancasila
UUD’45, dengan Dasar Negara Berdasarkan Islam
Untuk kedua pilihan Dasar Negara tersebut, terbelah dua front yang sama kuat. Front pertama, kelompok  Islam dengan paartai Masyumi sebagai pimpinanannya, mengajukan dasar negara berdasarkan Islam.

Sedangkan front kedua, dipimpin PNI, Partai Nasional Indonesia, yang ingin negara berdasarkan Pancasila.

Dalam acara persedingan, Buya Hamka menyampaikan pidato politiknya.

“Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!” kata Buya dalam pidatonya.

Mendengar pernyataan Buya Hamka, para hadirin dalam Sidang Paripurna Konstituante tersebut terkejut. Tak hanya yang mendukung Pancasila terkejut, tetapi yang mendukung negara berdasarkan azas Islam juga terkejut.

Mohammad Yamin juga sangat terkejut mendengar pernyataan Buya Hamka. Sebagai seorang anggota Konstituante dari fraksi PNI, tokoh PNI ini tidak hanya marah besar, tetapi berlanjut kebencian yang sangat pada Buya Hamka.

Pada tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit parah dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Dasar, RSPAD.

Suatu hari Buya Hamka kedatangan tamu yaitu Chaerul Saleh, seorang Menteri di Kabinet  Soekarno waktu itu. Chaerul Saleh pun menceritakan perihal sakitnya Mohammad Yamin, dan pesannya.

Buya Hamka pun menanyakan apa pesan dari Mohammad Yamin.

“Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke Rumah Sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini, Pak Yamin dalam keadaan sekarat,” kata Chaerul Saleh.

Mendengar perkataan Chaerul Saleh Buya Hamka agak terkejut.

“Apalagi pesan Pak Yamin?” tanya Buya.

“Begini Buya, yang sangat merisaukan Pak Yamin adalah, beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjunginya. Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi, kampung halamannya, tidak berkenan menerima jenazahnya. Karena ketika terjadi pergolakan di Sumatera Barat dahulu, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisahan wilayah dari NKRI. Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke liang lahat.”Ucap Chaerul Saleh penuh harap.

Mendengar penjelasan Chaerul Saleh itu, Buya dan tamunya itu bergegas ke RSPAD. Sesampai di rumah sakit, di ruangan VIP sudah banyak yang hadir. Hadir juga beberapa Pendeta, Biksu Budha, dan tokoh-tokoh lainnya.

Mohammad Yamin terbaring di tempat tidur  dengan selang infus dan oksigen tampak terpasang. Melihat kedatangan Buya, tampak wajahnya agak berseri. Dengan gerakan yang sangat lemah Moh. Yamin mencoba melambaikan tangannya sebagai isyarat agar Buya mendekat.

Kemudian Buya menjabat tangan Moh. Yamin, dan menciumi lembut kening tokoh yang bertahun-tahun membencinya.

“Terima kasih, Buya, sudah sudi untuk datang,” bisik Moh. Yamin dengan suara nyaris tak terdengar oleh yang lain. Bisiknya lagi, “dampingi saya!”

Tangan Buya masih digenggamnya.

Mula-mula Buya membisikkan surah Al-Fathihah, kemudian kalimat La illaha illalah. Dengan lemah Moh. Yamin mengikuti bacaan yang Buya bisikkan. Kemudian Buya kembali membaca kalimat tauhi tersebut sebanyak dua kali.

Pada bacaan kedua, sudah tidak terdengar lagi Moh. Yamin mengikuti Buya. Hanya isyarat yang diberikannya berupa mengencangkan genggamannya pada Buya.

Kembali Buya membisikkan kalimat tauhid, bahwa Tiada Tuhan selain Allah, ke telinga Moh. Yamin. Kali ini sudah tidak ada respons sedikit pun dari Moh. Yamin. Gengaman Moh. Yamin mengendur dan tangannya terasa dingin, lalu perlahan terlepas dari genggaman Buya.

Mohammad Yamin tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci Buya Hamka, di akhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan Buya Hamka. Dan keesokan harinya, memenuhi pesan terakhir almarhum, Buya menemani jenazah Moh. Yamin dimakamkan di Desa Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat.

3. Pramoedya Ananta Toer 

                                            [caption caption="Pramoedya Ananta Toer | Foto via Wikipedia"]

[/caption]

“Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik.”

Awal tahun 1963, dunia sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar harian ibukota, yaituHarian Rakyat, dan Harian Bintang Timur. Koran berbau komunis itu memberitakan di halaman pertama ;“Tenggelamnya  Kapal Van Der Wijk”adalah hasil jiplakan oleh pengarang Hamka.

Alasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di Harian Bintang Timur, dalam lembaran lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang  Alvonso Care, seorang pujangga Perancis. Lembaran Lentera itu diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.

Berbulan-bulan lamanya kedua koran itu menyerang Buya Hamka dengan tulisan-tulisan berbau fitnah. Bahkan juga menyerang pribadi Buya Hamka. Namun begitu, Buya Hamka tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin, dan Pramoedya Ananta Toer.

Pada tanggal 30 September 1965 PKI melakukan usaha kudeta pemerintahan Indonesia, namun gagal. Dalam usaha kup, 6 orang jenderal, dan 1 perwira gugur ditangan PKI. Begitu sejarah mencatat. Sedangkan Pramoedya Ananta Toer sendiri kemudian ditahan di Pulau Buru.

Beberapa tahun kemudian, Pramoedya Ananta Toer dibebaskan.

Pada suatu hari, Buya Hamka kedatangan sepasang tamu. Si perempuan pribumi, sedangkan laki-lakinya seorang keturunan China. Kepada Buya Hamka, si perempuan memperkenalkan diri. Namanya Astuti, sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan.

Buya Hamka agak terkejut saaat Astuti mengatakan bahwa ia adalah anak sulung dari Pramoedya Ananta Toer. Astuti menemani Daniel menemui Buya Hamka untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam.

Cerita Astuti, selama ini Daniel adalah non-muslim. Ayahnya, Pramoedya, tidak setuju bila anak perempuannya yang muslimah menikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan agama.

Selesai Astuti menceritakan maksud kedatangannya serta latar belakang hubungannya dengan Daniel, tanpa ada sedikit pun keraguan Buya Hamka, permohonan kedua tamu itu diluluskannya.

Daniel Setiawan calon menantu Pramoedya Ananta Toer langsung dibimbing Buya Hamka membaca dua kalimat syahadat. Buya Hamka lalu menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam dengannya.

Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramoedya dan calon menantunya itu, Buya Hamka sama sekali tidak pernah menyinggung bagaimana sikap Pramoedya terhadapnya beberapa tahun lalu. Seperti benar-benar tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua.

Salah seorang teman Pramoedya yang bernama Dr. Hoedaifah Koeddah pernah menanyakan kepada Pramoedya, apa alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pramodya menjelaskan kepada temannya itu.

“Masalah paham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki yang seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka.”

Menurut Dr. Hoedaifah yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak langsung tampaknya Pramoedya Ananta Toer dengan mengirim calon menantu ditemani dengan anak perempuannya kepada Buya Hamka, seakan ia meminta maaf atas sikapnya yang telah memperlakukan Buya Hamka kurang baik di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat.

Dan secara tak langsung pula Buya Hamka memaafkan Pramoedya Ananta Toer  dengan bersedia membimbing  dan memberi pelajaran agama Islam kepada calon menantu Pramoedya.[]

Sumber: asmarainjogja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun