Kemudian Buya menjabat tangan Moh. Yamin, dan menciumi lembut kening tokoh yang bertahun-tahun membencinya.
“Terima kasih, Buya, sudah sudi untuk datang,” bisik Moh. Yamin dengan suara nyaris tak terdengar oleh yang lain. Bisiknya lagi, “dampingi saya!”
Tangan Buya masih digenggamnya.
Mula-mula Buya membisikkan surah Al-Fathihah, kemudian kalimat La illaha illalah. Dengan lemah Moh. Yamin mengikuti bacaan yang Buya bisikkan. Kemudian Buya kembali membaca kalimat tauhi tersebut sebanyak dua kali.
Pada bacaan kedua, sudah tidak terdengar lagi Moh. Yamin mengikuti Buya. Hanya isyarat yang diberikannya berupa mengencangkan genggamannya pada Buya.
Kembali Buya membisikkan kalimat tauhid, bahwa Tiada Tuhan selain Allah, ke telinga Moh. Yamin. Kali ini sudah tidak ada respons sedikit pun dari Moh. Yamin. Gengaman Moh. Yamin mengendur dan tangannya terasa dingin, lalu perlahan terlepas dari genggaman Buya.
Mohammad Yamin tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci Buya Hamka, di akhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan Buya Hamka. Dan keesokan harinya, memenuhi pesan terakhir almarhum, Buya menemani jenazah Moh. Yamin dimakamkan di Desa Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat.
3. Pramoedya Ananta Toer
[caption caption="Pramoedya Ananta Toer | Foto via Wikipedia"]
“Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik.”
Awal tahun 1963, dunia sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar harian ibukota, yaituHarian Rakyat, dan Harian Bintang Timur. Koran berbau komunis itu memberitakan di halaman pertama ;“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”adalah hasil jiplakan oleh pengarang Hamka.
Alasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di Harian Bintang Timur, dalam lembaran lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alvonso Care, seorang pujangga Perancis. Lembaran Lentera itu diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.