Mohon tunggu...
Asmara Dewo
Asmara Dewo Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Pendiri www.asmarainjogja.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Indra dan Yanti

16 Januari 2016   17:39 Diperbarui: 16 Januari 2016   17:56 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto Pantai Indrayanti/Pulang Syawal | AIJ"][/caption]

Ombak bergemuruh bergulung-gulung menghempas tepian pantai Pulang Syawal, buih putihnya meruak bagaikan soda yang tumpah dari langit. Gemintang kemerlipan di langit gelap, bercahayakan bulan sepasang anak manusia dalam dilema. Matanya sembab, berjam-jam dipaksa air mata duka diperas perasaan.

Indra dan Yanti saling menatap, tak berkata, tak sanggup suara kalimat untuk berbunyi. Indra berkali-kali mendongakkan dagunya pada mega, sementara Yanti hanya mampu sesunggukan menatap pria yang dicintainya.

Indra lembut berujar bersama desauan angin pantai, “Aku sudah nggak tahu harus berbuat apa lagi, jika memang itu pilihan ayahmu, biarlah aku mengalah. Aku akan pergi jauh. Biar kau tenang dengan pilihan ayahmu,” Indra berdiri, ucapnya lagi, “relakan aku. Ikhlaskan cinta kita, biarlah cinta kita kekal bersama samudera ini, di pantai ini. Tak menyatu bukan berarti kehilangan, kau akan selalu ada. Terbenam ke dalam dada.”

“Nggak, Indra, nggak …” suara Yanti serak keluar, tangannya menarik cepat lengan Indra, “kau nggak bisa pergi begitu saja. Aku hanya mencintaimu, aku milikmu. Bawalah aku pergi jauh, kemanapun kau mau. Aku akan setia menjadi istrimu, sekalipun nyawa kita di ujung samudera.”

“Kumohon, Yanti, dengarlah aku sekali ini saja. Sejak dulu sudah kubilang, cinta ini sulit untuk ditempuh. Kemiskinan selalu menyadarkanku, kita sungguh beda, Yanti,” Indra memohon, air matanya menitik deras.

Mendengar ucapan pasrah dari kekasih hatinya,  wajah Yanti semakin merah,  buas menatap bola mata Indra, “Jangan! Jangan kau ucapkan sekali lagi itu padaku, Indra. Dunia akhirat, tak kuizinkan siapapun merampas impian kita. Aku … Yanti, wanita yang paling mencintai dan dicintai bersumpah, apapun yang akan terjadi, aku akan tetap mencintaimu. Selamanya … selamanya.”

Deburan ombak meraung-meraung, ombak tinggi seperti gulungan perbukitan menghempas, angin kencang mendadak dari arah selatan. Kemerlipan bintang sirna seketika, awan tampak menggumpal menelan bulan. Terangnya semakin cepat meredup. Dan gelap seketika.

“Yanti, kenapa  air laut tiba-tiba begini?” tanya Indra penuh keheranan. Lama dipandangi Indra pantai tempatnya bermain sejak anak-anak itu. Bersama teman-teman kecilnya, juga Yanti.

“Sudahlah, Indra! Kau jangan alihkan pembicaraan ini. Aku sungguh serius ingin bersamamu. Ayo bilang, kau akan membawaku pergi! Ayo bilang, Indra! Kumohon,” lutut Yanti jatuh di pasir lembut, genggamannya begitu erat di tangan Indra.

Indra menarik napas begitu dalam, “Oh Tuhan … kau memang keras kepala. Baiklah, kita lalui bersama.”

Mendengar apa yang baru saja diucapkan Indra, senyum sumringah menghiasi gadis perawan yang paling rupawan nan menawan di desa Tepus itu. Tak terkira bahagianya Yanti jika terus bersama pria yang paling dicintainya. Cinta Yanti begitu dalam pada Indra, begitupun dengan Indra. Melebihi dalamnya Samudera Hindia. Tak terukur, tak terhitung, tak bisa dibanding-bandingkan dengan lainnya.

Tanya yanti bernada nakal, “Kau tak akan menghianatiku, kan? Kau akan terus menjagaku, kan? Hmm … apakah besok kita menikah?”

Indra menganggguk membalas senyum. Wajahnya semakin tampan, “Iya, Yanti.”

Sejoli itu kini dibalut kebahagiaan. Harapan yang dinantikan bertahun-tahun oleh Yanti terjawab sudah. Esok mereka segera menikah.

Dan mendadak alam semakin mencekam. Angin begitu kencang merobohkan pohon yang tidak begitu jauh dari Yanti dan Indra. Ombak di lautan pun semakin tinggi. Semakin meninggi, menggunung tinggi. Lalu menggumpal-gumpal menyapu ke pemermukaan pantai.

“Yanti, ayo cepat, kita lari!” Indra berteriak menarik lengan Yanti.

Sekuatnya Indra dan Yanti berlari sambil menghindari pohon-pohon yang tumbang di depan mereka. Naas, Yanti terjatuh, tubuhnya berguling-berguling penuh luka. Tangan dan perutnya tertancap ranting kering dari pohon besar yang tumbang.

“Astaga, Yanti … kau nggak apa-apa?” Indra mengangkat tubuh lemas Yanti, “Kau peluk aku kuat, ya?” Indra menggendong Yanti.

  Sejak puluhan tahun lalu, tak pernah pantai Pulang Syawal seperti ini. Namun malam ini, ia punya maksud lain. Entah ada apa? Hanya Tuhan semesta alamlah yang tahu dan berbuat apa saja pada ciptaan-Nya.

Air bergemuruh menaiki darat,  meeratakan apa saja yang menghadangnya. Tak terkecuali makhluk kecil Indra dan Yanti. Sepasang anak manusia yang saling menyayangi dan mencintai itu pun mematung pasrah, saat air laut sudah setinggi pohon kelapa di depan mereka.

“Tuhan … ampuni dosa kami. Restuilah cinta suci ini. Ridhoilah jalinanan kasih sayang ini hingga ke Surga-Mu,” Bibir Yanti bergetar, berdoa pada Tuhan penguasa Bumi. Begitu juga dengan Indra, doa-doa terakhir ia pintakan dalam hati.

Wuiiisshhhhh …. Daratan tepi pantai Pulang Syawal dihempas dengan ombak Samudera Hindia. Hilang daratan, kini berganti lautan. Semua tumpah apa yang ada di laut.   Gemuruh angin mengencang, awan hitam semakin pekat, kilatan menyambar-nyambar warnai langit hitam. Sesekali Guntur menggelegar berbisik pada bumi. Hujan pun turun sederas-derasnya. Paling terderas sejak puluhan tahun silam di Gunung Kidul ini.

Tubuh Indra dan Yanti saling berpelukan. Kuat tangan Indra memeluk Yanti ditengah pusaran air gelombang. Detik-detik … hitungan cepat menghukum sejoli itu. Genggaman Indra terlepas dari tubuh Yanti. Tak ada teriakan, tak ada ucapan perpisahan, hanya senyum tersimpul di wajah mereka dalam gelapnya air yang mengamuk.

“Begitulah kisah cinta Indra dan Yanti,” ucapku. Kaki kami terus melangkah menyisiri tepian pantai Indrayanti.

“Wah … sungguh terharu. Sekalipun akhirnya mereka mati, tapi setidaknya mereka bisa bersatu. Tetap memegang janji dan utuh saling mencintai.” Mata bulatnya menyipit diterpa sinar surya.

Lalu kakinya terhenti di pasir putih lembut saat dijilati ombak kecil yang nakal. Katanya, “Aku jadi ngebayangin Yanti kecil main-main di pantai ini deh. Ah … andaikan saja aku Yanti. Dapat mencintai dan dicintai seperti dirinya. Betapa bahagianya aku. Oh … Indra, kau sosok yang akan kucari terus dalam perjalanan hidupku.”

Aku tersenyum geli melihat senyum aneh di balik pejaman matanya yang bulat itu. Ini adalah tamu yang paling unik kutemukan sejak   menjadi Guide travelling di kota Jogjakarta. Ia datang seorang diri dari Medan. Kota asalku juga. Yah … Kota Medan dengan segala kenangan manis dan pahit yang kutelan.

“Hei, Yenti, ada begitu banyak guied dari kantor. Kenapa kamu pilih aku? Pakai booking jauh hari segala. Hahaha …” tawaku lepas dideru angin pantai.

Kaki putihnya kembali melangkah. Liar berlari seperti anak kecil bermain dengan jernihnya air. Lentik jemarinya mengibaskan ombak kecil di depannya. Sibuk ia merapikan anak rambut yang menutup mata, sebab rambut hitam legamnya terurai diterpa angin.

“Yenti, jangan terlalu di tengah, bahaya! Kamu dengarkan aku!”

Bukan malah ke tepi, ia semakin ke tengah. Mulutnya mengejek ke arahku, lalu tertawa jahat. Ucapnya, “nggak takut, aku ingin menjadi Yanti.”

“Kamu gila! Hahaa … Hari gini percaya gituan,” aku pun menyusulnya. Keselamatan adalah tugas utamaku sebagai guied. Ya, pelayanan kami harus memuaskan setiap tamu. Terlebih aku sendiri dalam prinsip dalam bekerja. Menjadi guide, berarti menjadi orang yang bertanggungjawab penuh terhadap tamu.

“Eh, kamu belum jawab pertanyaanku tadi,” kini aku di sampingnya. Bermain ombak mengikuti kekanakannya.

“Yang mana?” Yenti mendelik, “oh … yang masalah pilihan guide itu.”

Aku mengangguk.

“Karena aku sudah lama mengenal kamu.”

“Hah … kenal aku?” tanyaku heran.

“Iya, aku kan selalu membaca artikel travelling mingguanmu. Nah, satu lagi yang harus kamu tahu,” telunjuk Yenti teracung di depan wajih cantiknya, “aku juga tahu kamu seorang penulis fiksi. Bualan dalam ceritamu itu sungguh membuatku terharu, aku jadi ingin seperti Yanti.” Ia pun tertawa lebar.

Aku pun gelak tawa medengar jawabannya, “sebenarnya, Yenti, aku gerogi menemanimu travelling di Jogja. Ini sungguh-sungguh beda dari biasanya. Sudah ribuan tamu yang kulayani dan kutemani untuk menikmati wisata-wisata yang ada di Jogja ini. Tapi kali ini beda, kamu tamu yang tidak umum seperti lainnya. Nah, karena itu pula biar aku nggak kikuk menemanimu, aku mengarang cerita pantai ini.”

“It’s ok, no problem,” Yenti mendesis. Syal merah yang menggantung di lehernya yang berjenjang itu ia lilitkan sekali lagi.

“Kamu tahu, Yenti? Dari segala pantai di Jogjakarta ini, Pantai Indrayanti inilah yang paling kusuka. Menurutku ini adalah pantai yang terindah. Airnya yang jernih, hijau kebiruan, ombakmya yang tenang, lembut dan putih pasirnya, juga bukit yang menjulang tinggi itu. Ini adalah panorama eksotis yang menggairahkanku berimajinasi,” jelasku pada Yenti sambil menunjuk Bukit Karang.

“Ya … ya … aku setuju, ini adalah pantai yang paling indah,” kemudian Yenti ke tepi, mengajakku ke Bukit Karang, “temani aku ke sana.”

Wajah Yenti berubah seperti kerang rebus, memerah. Tenggorokan keringnya disejukkan dengan minuman soda dari tasnya, “ini untuk kamu.”

“Terima kasih, “ jawabku, lalu meneguknya. Serasa segar tenggorokan ini. Tanyaku lagi, “kamu tidak biasa kena panas, ya? Tuh wajah kamu merah banget!”

“Hm … begitu deh,” dihapusnya peluh di dahi, “tinggi juga bukit ini. Huhh ..” Suara Yenti mendesah.

Angin yang sejuk di Bukit Karang melenakan setiap makhluk yang ada di sana. Begitu sejuk, begitu nyaman. Rindang pohon dan indahnya bunga-bungaan di taman-taman kecil ini menyambut kami di atas puncak. Yenti tersenyum, bercampur haru.

“Yenti, sini, Lihat Samudera Hindia!” aku memanggilnya dari tepi bukit.

Lautan maha luas kebiruan. Titik pandangan berakhir di garis kaki langit. Begitu jauh, begitu luas. Tampak perahu nelayan yang sedang berlayar di lautan itu. Di atas lautan, di bawah langit biru bergantung gumpalan awal putih. Nelayan menyabung nyawa mencari rezeki di lautan.

“Betapa beraninya mereka. Wuhh … ngeri-ngeri sedap melihatnya,” puji Yenti seraya bulu kuduknya merinding.

“Sudah biasa, Yen, sejak kecil mereka sudah bermain ombak dan badai lautan. Laut adalah sisi kehidupan mereka yang tak terpisahkan. Bagi mereka laut adalah kehidupan. Bukankah nenek moyang kita adalah pelaut?” mataku teduh menatap matanya yang bulat. Bulu matanya yang lentik itu seakan-akan merayuku. Tak ingin sekalipun untuk berkedip saat mataku mengikat pandangannya.

“Benar juga sih. Ya … ya … nenek kita adalah pelaut.” Ia kepalkan tangannya lalu meninju-ninju ke atas.

Kami terus mengobrol, berbagi cerita satu sama lain. Bersama Yenti di Pantai Indrayanti, bersama Yenti di Bukit Karang. Keindahan semesta yang tertandingi di wajah cantik Yenti adalah penyempurnaan alam yang sesungguhnya. Jangan diceraikan. Oh Tuhan …   anak manusia dari titisan mana yang Kau hadapkan padaku? Ini bukan fiksi yang selama ini kutulis. Ini sungguh nyata, benar-benar nyata.

Senyum Yenti yang mengambang, melukiskan kecintaan langit pada sang awan. Betapa cintanya langit biru, kesempurnaan birunya ia bagikan pada gumpalan awan putih. Dalam pelukannya yang mengambang. Awan putih berarakan bergumpal dalam timangan langit biru.

Mata bulat Yenti yang teduh adalah purnama dalam impian panjang sejoli. Selalu ditungggu, dinantikan dalam malam yang panjang. Api cinta sepasang kekasih itu bergelora menghitung hari   menyambut purnama. Hasrat merengkuh di bawah sinar purnama dalam cinta suci.

Kecantikan wajah Yenti adalah goresan bentuk kesempurnaan makhluk Tuhan satu-satunya. Tak akan dilukiskan lagi oleh-Nya pada makhluk lain. Hanya untuknya, anugerah dari Sang Pencipta.

Yenti dengan segala yang dimilikinya adalah kehidupan dalam kisah cinta Indra dan Yanti. Saling menjaga sejak kecil, mencintai dan dicintai, berjanji sehidup-semati, berani melangkangkah atas nama cinta. Sungguh, Yenti adalah kehidupan.

Mengobrol seru dari   utara sampai selatan, dari ngobrol serius sampai bercanda, hingga hari pun tak terasa bergulir. Langit barat sudah mulai gelap. Keemasan warna langit berpendar menghipnotis makhluk bumi. Tak terkecuali kami. Cahaya lembut sang mentari yang akan dipeluk laut meraba kulit putih Yenti. Kulit putihnya pun ikut keemasan. Ia tersenyum bahagia. Takjub dengan segala yang ada.

“Benar-benar indah. Seumur hidupku, baru kali ini  melihat sunset seindah ini.” Yenti berseru, tak sengaja menggamit lenganku.

Aku mengamininya, tersenyum berujar, “Selama ini aku mengagumi surya yang akan tenggelam di telan laut. Tapi sungguh, kekagumanku direbut ciptaan Tuhan yang lainnya.” Ucapanku terhenti. Diam sejenak, lalu kulanjutkan, “Kalau Yanti dan Indra sejak kecil saling mengenal dan mencintai. Apakah bisa anak-anak manusia lainnya baru saja berjumpa, namun ada perasaan yang sama seperti  Indra dan Yanti?” tatapan serius kutujukan padanya.

Pelan jatuh surya menyisakan semburatnya. Awan keemasan berganti biru kehitaman. Memaksa raja siang tenggelam di garis cakrawala. Ombak pun semakin deras menggulung ke tepian pantai. Dan di langit yang semakin gelap itu, burung bergerombol pulang ke sarangnya,   juga nelayan berpulang dari buruannya menjala. Satu-persatu pengunjung meninggalkan perbukitan dan pasir putih. Satu persatu kesunyian tercipta. Semakin sepi.

“Bukankah sudah kubilang aku ingin menjadi Yanti. Namun aku bukan Yanti yang harus mati, aku ingin hidup bersama orang yang kucintai,” Alis Yenti terangkat. Sambungnya kemudian, “kamu siap menggendongku?”

Seketika gelak tawa kami pecahkan kebisuan alam. Aku tersenyum, ia tersenyum dalam lukisan temaram pantai Indrayanti.

Sumber: http://asmarainjogja.id/indra_dan_yanti_berita153.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun