Mohon tunggu...
Asmara Dewo
Asmara Dewo Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Pendiri www.asmarainjogja.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Indra dan Yanti

16 Januari 2016   17:39 Diperbarui: 16 Januari 2016   17:56 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kecantikan wajah Yenti adalah goresan bentuk kesempurnaan makhluk Tuhan satu-satunya. Tak akan dilukiskan lagi oleh-Nya pada makhluk lain. Hanya untuknya, anugerah dari Sang Pencipta.

Yenti dengan segala yang dimilikinya adalah kehidupan dalam kisah cinta Indra dan Yanti. Saling menjaga sejak kecil, mencintai dan dicintai, berjanji sehidup-semati, berani melangkangkah atas nama cinta. Sungguh, Yenti adalah kehidupan.

Mengobrol seru dari   utara sampai selatan, dari ngobrol serius sampai bercanda, hingga hari pun tak terasa bergulir. Langit barat sudah mulai gelap. Keemasan warna langit berpendar menghipnotis makhluk bumi. Tak terkecuali kami. Cahaya lembut sang mentari yang akan dipeluk laut meraba kulit putih Yenti. Kulit putihnya pun ikut keemasan. Ia tersenyum bahagia. Takjub dengan segala yang ada.

“Benar-benar indah. Seumur hidupku, baru kali ini  melihat sunset seindah ini.” Yenti berseru, tak sengaja menggamit lenganku.

Aku mengamininya, tersenyum berujar, “Selama ini aku mengagumi surya yang akan tenggelam di telan laut. Tapi sungguh, kekagumanku direbut ciptaan Tuhan yang lainnya.” Ucapanku terhenti. Diam sejenak, lalu kulanjutkan, “Kalau Yanti dan Indra sejak kecil saling mengenal dan mencintai. Apakah bisa anak-anak manusia lainnya baru saja berjumpa, namun ada perasaan yang sama seperti  Indra dan Yanti?” tatapan serius kutujukan padanya.

Pelan jatuh surya menyisakan semburatnya. Awan keemasan berganti biru kehitaman. Memaksa raja siang tenggelam di garis cakrawala. Ombak pun semakin deras menggulung ke tepian pantai. Dan di langit yang semakin gelap itu, burung bergerombol pulang ke sarangnya,   juga nelayan berpulang dari buruannya menjala. Satu-persatu pengunjung meninggalkan perbukitan dan pasir putih. Satu persatu kesunyian tercipta. Semakin sepi.

“Bukankah sudah kubilang aku ingin menjadi Yanti. Namun aku bukan Yanti yang harus mati, aku ingin hidup bersama orang yang kucintai,” Alis Yenti terangkat. Sambungnya kemudian, “kamu siap menggendongku?”

Seketika gelak tawa kami pecahkan kebisuan alam. Aku tersenyum, ia tersenyum dalam lukisan temaram pantai Indrayanti.

Sumber: http://asmarainjogja.id/indra_dan_yanti_berita153.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun