Mohon tunggu...
Asmara Dewo
Asmara Dewo Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Pendiri www.asmarainjogja.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Indra dan Yanti

16 Januari 2016   17:39 Diperbarui: 16 Januari 2016   17:56 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Terima kasih, “ jawabku, lalu meneguknya. Serasa segar tenggorokan ini. Tanyaku lagi, “kamu tidak biasa kena panas, ya? Tuh wajah kamu merah banget!”

“Hm … begitu deh,” dihapusnya peluh di dahi, “tinggi juga bukit ini. Huhh ..” Suara Yenti mendesah.

Angin yang sejuk di Bukit Karang melenakan setiap makhluk yang ada di sana. Begitu sejuk, begitu nyaman. Rindang pohon dan indahnya bunga-bungaan di taman-taman kecil ini menyambut kami di atas puncak. Yenti tersenyum, bercampur haru.

“Yenti, sini, Lihat Samudera Hindia!” aku memanggilnya dari tepi bukit.

Lautan maha luas kebiruan. Titik pandangan berakhir di garis kaki langit. Begitu jauh, begitu luas. Tampak perahu nelayan yang sedang berlayar di lautan itu. Di atas lautan, di bawah langit biru bergantung gumpalan awal putih. Nelayan menyabung nyawa mencari rezeki di lautan.

“Betapa beraninya mereka. Wuhh … ngeri-ngeri sedap melihatnya,” puji Yenti seraya bulu kuduknya merinding.

“Sudah biasa, Yen, sejak kecil mereka sudah bermain ombak dan badai lautan. Laut adalah sisi kehidupan mereka yang tak terpisahkan. Bagi mereka laut adalah kehidupan. Bukankah nenek moyang kita adalah pelaut?” mataku teduh menatap matanya yang bulat. Bulu matanya yang lentik itu seakan-akan merayuku. Tak ingin sekalipun untuk berkedip saat mataku mengikat pandangannya.

“Benar juga sih. Ya … ya … nenek kita adalah pelaut.” Ia kepalkan tangannya lalu meninju-ninju ke atas.

Kami terus mengobrol, berbagi cerita satu sama lain. Bersama Yenti di Pantai Indrayanti, bersama Yenti di Bukit Karang. Keindahan semesta yang tertandingi di wajah cantik Yenti adalah penyempurnaan alam yang sesungguhnya. Jangan diceraikan. Oh Tuhan …   anak manusia dari titisan mana yang Kau hadapkan padaku? Ini bukan fiksi yang selama ini kutulis. Ini sungguh nyata, benar-benar nyata.

Senyum Yenti yang mengambang, melukiskan kecintaan langit pada sang awan. Betapa cintanya langit biru, kesempurnaan birunya ia bagikan pada gumpalan awan putih. Dalam pelukannya yang mengambang. Awan putih berarakan bergumpal dalam timangan langit biru.

Mata bulat Yenti yang teduh adalah purnama dalam impian panjang sejoli. Selalu ditungggu, dinantikan dalam malam yang panjang. Api cinta sepasang kekasih itu bergelora menghitung hari   menyambut purnama. Hasrat merengkuh di bawah sinar purnama dalam cinta suci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun