Mohon tunggu...
Asmara Dewo
Asmara Dewo Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Pendiri www.asmarainjogja.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kelas Ladang Tebu

30 September 2015   10:51 Diperbarui: 30 September 2015   10:51 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto Ilustrasi Cosmo"][/caption]

“Jadi begitu ya, anak-anak ... bahwasanya PKI itu kejam, bengis, tak manusiawi. Sukanya membunuh! Dan PKI itu adalah musuh kita bersama, karena itu pula dibumihanguskan pada masa orde baru,” ujar Pak Karto berapi-api menerangkan pelajaran sejarah pada muridnya.

Ruangan kelas tenang, suasana dimonopoli oleh pria berkumis tebal dengan tatapan yang tajam pada setiap muridnya. Adit mengernyitkan dahi, dan wajahnya memerah, ada sesuatu yang ingin disampaikankan pada sosok yang berdiri di depan tulis.

Dasar Pak Karto ... korban sejarah pemerintah, gumam Adit. Rahangnya tampak mengeras.

“Kalian sudah remaja, generasi bangsa, dan di pundak kalianlah negeri ini kemana perginya. Kalau kalian tidak tahu saja sejarah, lalu bagaimana akan menatap masa depan negara kita. Hah ... bagaimana?” kumis tebalnya ikut bergoyang di atas bibirnya yang tebal.

Semakin senyap, tak ada suara dari muridnya. Semilir angin berembus sejuk dari jendela kelas.  Sementara di luar kelas udara mulai menyengat. Panas.

“Sekarang bapak tanya satu persatu pada kalian, ya? Awas kalau nggak bisa jawab!” ancam pria bertubuh gempal tersebut.

“Iya, Pak ...” jawab murid serentak.

“Hm ... ya ... ya ... bagus,” lalu Pak Karto mendekati salah satu murid, “nah, kamu Dani! Apa yang kamu ketahui tentang PKI?”

“PKI adalah Partai Komunis Indonesia yang mencoba mengkudeta pemerintah Indonesia dengan menculik perwira tinggi angkatan darat, kemudian membunuhnya dengan keji di lubang buaya,” jawab Dani tanpa ragu-ragu.

Pak karto mengangguk-angguk, wajahnya berbingkai bangga karena Dani bisa menjawab pertanyaannya.

“Bagus Dani, bagus...” ditepuknya pelan pundak dani, “terus, siapa saja nama perwira tinggi itu?” tanya Pak Karto lagi.

“Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen S Parman, Mayjen Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. Hm ... satu lagi ...” Dani mencoba mengingat-ingat dengan memicingkan matanya.

Wajah yang sejak tadi angker, kini sumringah bak setangkai bunga yang merekah menyambut cahaya lembut mentari pagi.

“ Ah ... kamu lupa, Dani?” kumis kirinya terangkat, tampak giginya yang kehitaman, “bIar kamu ingat terus, ya?!” jari gemuk Pak Karto mencubit perut Dani.

“Aduh, Pak ... acchhh ... sakit!” Dani merintih. Giginya bergemeretak menahan sakit.

Murid lainnya hanya diam. Di wajahnya masing-masing turut merasakan sakit yang dirasakan temannya. Tangan Adit mengepal. Semakin kuat.

“Ayo! Siapa yang bisa bantu tambahin jawaban Dani tadi?” mata Pak Karto menatap tajam satu persatu muridnya, “ Haaa ... ya, kamu Tina! Ayo jawab siapa satu lagi perwira yang dibunuh itu?”

“Saya, Pak?” tanya Tina terkejut.

“Iya ... kamu! Memangnya ada lagi nama Tina selain kamu di kelas ini? Atau ada Tina Toon, ya?” ucap Pak Karto bernada Canda. Wajahnya berubah seperti pelawak ketoprak.

Kelas yang senyap mendadak riuh gelak tawa para murid. Dan murid bertubuh gemuk itu wajahnya memerah, tertunduk malu. Tina hanya menatap lantai kelas.

“Ayo jawab?! Jangan diam kamu!” mata Pak Karto membulat.

“Kapten Piere Tendean, Pak” jawab Tina pelan.

Pak Karto mengangguk-angguk sambil berjalan ke bangku paling belakang, “ Ya ... ya, kamu benar, bagus.”

“Eh ... kamu Adit! Bapak perhatikan kamu diam saja, kenapa?” tanya guru Sejarah itu bernada sinis.

“Nggak apa-apa, Pak,” jawab Adit datar.

“Hm, baiklah, sekarang kamu jawab pertanyaan bapak. Apa pendapat kamu mengenai presiden kita Ir Joko Widodo akan segera meminta maaf kepada eks-PKI?”

Murid yang duduk di bangku paling belakang tersebut diam sejenak. Belum ada jawaban darinya, tampak raut wajahnya cemas dan bingung.

“Kenapa kamu, Adit? Tidak bisa jawab, ya?” wajah Pak Karto memerah.

“Maaf, Pak ... saya tidak mengerti eks-PKI, eks-nya itu maksudnya apa, Pak?”

“Oh ... kamu tidak mengerti ‘eks’ itu apa, ya? Ayo yang lain! siapa yang tahu apa arti ‘eks’?” suaranya keras sampai keluar kelas.

“Saya tau, Pak!” tina mengacungkan jari telunjuknya.

“Hm ... bagus ... bagus ... Apa itu ‘eks’?

“Eks itu artinya bekas atau mantan, Pak.”

Pak Karto mengangguk bangga pada muridnya yang berbadan gemuk itu. Kemudian ia dekati lagi Adit.

“Udah ngerti kamu kan apa itu ‘eks’? Nah sekarang jawab pertaanyaan bapak tadi?” tangan guru itu mengelus rambut Dani yang baru tumbuh 1 cm.

“Pak tadi pertanyaannya apa, ya?” tanya Adit bingung.

Huuu .... Berseru suara murid meledek Adit yang lupa pertanyaan dari Pak Karto. Dan Pak Karto sendiri tersenyum.  Terlihat gigi-gigi hitamnya tampak dari luar.

“Mulai besok sepertinya kamu duduk di depan, jangan di belakang lagi! Baik, bapak ulang pertanyaannya, Apa pendapat kamu mengenai presiden kita Ir Joko Widodo akan segera meminta maaf kepada eks-PKI?” jarinya yang gemuk itu sudah siap-siap mencubit perut Adit.

“Pak .... sudah memang sepatutnya, bangsa ini meminta maaf kepada eks-PKI. Karena tidak semua tokoh  PKI sejahat apa yang dipelajari dan diberitakan media,” Adit memulai jawabannya.

“Maksud kamua apa? Apakah kamu tidak paham apa yang bapak terangkan selama ini?” hidung Pak Karto mendengus, seperti seekor banteng yang akan menanduk musuhnya dari depan.

“Saya selalu mendengarkan apa yang Bapak terangkan, dan saya pahami pula apa yang sudah Bapak jelaskan. Hanya saja, Pak ...” suara Adit terhenti ditenggorokan.

“Hanya saja apa, Adit? Ayo jawab!”

“Hanya saja agar lebih paham lagi belajar sejarah, jangan dari satu sumber saja. Sejarah PKI yang dikaburkan oleh pihak berkepentingan pada masa itu terus berlanjut sampai sekarang. Akibatnya belajar sejarah hanya dari satu sumber pemerintah saja, sementara pemerintah sendiri peninggalan zaman orde baru. Yang diketahui pula, saat rezim berganti pun terindikasi penipuan besar-besaran pada bangsa ini. Dan apa salahnya jika kita juga belajar sejarah dari eks-PKI itu sendiri, dan dari media yang benar-benar netral tidak ada kepentingan politiknya,” didongakkan kepalanya tinggi ke arah Pak Karto.

“Ayo! Lanjutkan apa lagi yang ingin kamu jawab.”

“Sejarah selalu mengenang atau memperingati peristiwa G-30/S/PKI, pembunuhan para kiyai, dan perusakan kitab suci. Namun kenapa tidak dikenang pula pembantaian terhadap anggota PKI dan partisannya yang menelan korban begitu banyak pada tragedi ladang tebu. Dan alangkah lucunya era orde baru saat itu. Begitu buasnya menangkapi orang-orang yang dicurigai dan berbahaya menurut mereka,” lanjut Adit.

Pandangan semua murid kini mengarah ke Adit. Sepertinya Adit sudah seperti Pak Karto saja yang menjelaskan sejarah di ruangan kelas.

“Ada lagi yang ingin kamu jawab, Adit?” tanya Pak Karto lagi.

“Bapak tentu mengenal, Pram, bukan? Hampir seumur hidupnya dihabiskan di penjara.  Karena apa dan siapa? Tentu saja karena pemerintah yang gentar menghadapi kebenaran, dan malah menuduh Pram seorang PKI. Padahal sampai masa Orde Baru runtuh, Pram tidak terbukti seorang PKI. Bukankah itu satu kejahatan terbesar menahan seseorang berpuluhan tahun tanpa ada buktinya?”

“Kamu ada yang keliru Adit. Tapi bapak bangga padamu, kamu banyak paham juga sejarah. Kamu tahu dari mana itu semua?” ucap Pak Karto sambil membunyikan jemari gemuknya, “Pram bergabung di Lekra. Nah, kamu tahu Lekra yang sebenarnya?”

“Ya, saya tahu, Pak. Lekra memang tak bisa dilepaskan dari PKI itu sendiri. Namun, Bapak juga jangan keliru, sekalipun Lekra didirikan oleh orang-orang PKI, Lekra juga bebas dari politik PKI. Setiap anggota tidak harus masuk PKI, jadi memang ada yang benar-benar mengikuti karena seni saja,” nada Adit bicara semakin tegas.

“Oh, ya? Kamu tahu dari siapa sejarah ini semua?” tanya Pak Karto penasaran.

“Kakek saya, Pak. Beliau adalah salah satu dari bayaknya korban akibat kekejaman ormas dan ABRI yang didukung pemerintah. Kakek saya sempat meloloskan diri, saat teman-temannya dihabisi di ladang tebu. Hanya karena Kakek percaya bahwa Partai Komunis Indonesia bisa menyejahterakan rakyat.”

Suara bel berbunyi, tanda jam kelas berakhir. Adit yang tampak masih semangat menjelaskan apa yang dipahami dari kakeknya hanya sampai di situ saja. Murid yang lain mulai sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Diiring Suara bising seperti kumbang berdengungan.

“Sebagai guru sejarah, mungkin bapak keliru dalam sejarah. Dan bapak juga tidak begitu saja percaya apa yang kamu bilang tadi. Oh ya, kamu harus ingat, Adit, sejarah kamu pahami secuil, maka kamu punya tanggungjawab untuk meluaskannya lagi.” Pesan Pak Karto guru sejarah pada Adit.

 Sumber: asmarainjogja.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun