“Bagus Dani, bagus...” ditepuknya pelan pundak dani, “terus, siapa saja nama perwira tinggi itu?” tanya Pak Karto lagi.
“Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen S Parman, Mayjen Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. Hm ... satu lagi ...” Dani mencoba mengingat-ingat dengan memicingkan matanya.
Wajah yang sejak tadi angker, kini sumringah bak setangkai bunga yang merekah menyambut cahaya lembut mentari pagi.
“ Ah ... kamu lupa, Dani?” kumis kirinya terangkat, tampak giginya yang kehitaman, “bIar kamu ingat terus, ya?!” jari gemuk Pak Karto mencubit perut Dani.
“Aduh, Pak ... acchhh ... sakit!” Dani merintih. Giginya bergemeretak menahan sakit.
Murid lainnya hanya diam. Di wajahnya masing-masing turut merasakan sakit yang dirasakan temannya. Tangan Adit mengepal. Semakin kuat.
“Ayo! Siapa yang bisa bantu tambahin jawaban Dani tadi?” mata Pak Karto menatap tajam satu persatu muridnya, “ Haaa ... ya, kamu Tina! Ayo jawab siapa satu lagi perwira yang dibunuh itu?”
“Saya, Pak?” tanya Tina terkejut.
“Iya ... kamu! Memangnya ada lagi nama Tina selain kamu di kelas ini? Atau ada Tina Toon, ya?” ucap Pak Karto bernada Canda. Wajahnya berubah seperti pelawak ketoprak.
Kelas yang senyap mendadak riuh gelak tawa para murid. Dan murid bertubuh gemuk itu wajahnya memerah, tertunduk malu. Tina hanya menatap lantai kelas.
“Ayo jawab?! Jangan diam kamu!” mata Pak Karto membulat.