Mohon tunggu...
Anis Sakina Kurniawati
Anis Sakina Kurniawati Mohon Tunggu... Lainnya - Energy Enthusiast

Energy Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Optimalisasi Limbah Rumput Laut sebagai Langkah Akselerasi Pemanfaatan EBT di Lingkup Kementerian Pertahanan

5 Juni 2022   18:31 Diperbarui: 5 Juni 2022   19:23 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia dengan sebagian besar wilayahnya adalah lautan dan telah diakui melalui Hukum UNCLOS (United Nation Conventio on the Law of the Sea). Pengakuan tersebut menguntungkan Indonesia dari adanya kepentingan negara maritim besar yang ingin menancapkan hegemoninya di laut. 

Keamanan dan kedaulatan negara Indonesia menjadi isu sangat kompleks, yang mana disebabkan adanya konflik di kawasan Laut Cina Selatan. Peperangan hibrida berupa klaim energi hidrokarbon Laut Cina Selatan turut memberi peran dalam konflik Laut Cina Selatan (LCS). 

Dinamika lingkungan strategis dikawasan Laut Cina Selatan selalu membawa implikasi kemudian mempengaruhi kepentingan nasional. Sengketa wilayah dan persoalan batas laut di Laut Cina Selatan hingga saat ini belum terselesaikan. Ancaman Laut Cina Selatan yang semakin tak terbendung akibat tumpang tindih klaim antara negara yang berperang menyebabkan kerugian pada hubungan dengan beberapa negara ASEAN hingga pihak Republik Rakyat Tiongkok melakukan unjuk diri dengan pernyataan One Belt One Road. 

Setelahnya Cina meningkatkan kekuatan militernya dikawasan tersebut, maka dari itu mau tak mau Indonesia harus turut meningkatkan keamanan maritimnya. Meskipun Indonesia telah mendeklarasikan dirinya sebagai non-claiment state namun ketika Cina telah melakukan klaim sepihak atas blok Natuna hingga menimbulkan ketegangan antara Indonesia dan Cina, Indonesia perlu mengambil langkah strategis guna mitigasi ancaman perang hibrida. Indonesia kemudian mengambil langkah dengan mendeklarasikan visinya sebagai Poros Maritim Dunia. 

Doktrin bahwasanya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) bertujuan mewujudkan kedaulatan maritim. Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan, maka sudah seyogyanya untuk memperkuat pertahanan berbasis kelautan melalui penguatan postur TNI. Namun langkah ini mendapat hambatan dari keterlibatan adanya ancaman hibrida. 

Adanya konflik perebutan wilayah di Laut Cina Selatan menjadi salah satu ancaman hibrida yang harus siap dihadapi Indonesia. Selain perebutan wilayah nyatanya klaim energi hidrokarbon di LCS turut menjadi penyebab konflik. Ancaman hibrida dengan embargo energi di LCS yang terus mengintai Indonesia nyatanya akan mempengaruhi kondisi lingkungan strategis Indonesia. 

Lingkungan strategis yang bergerak sangat dinamis tentunya akan berpengaruh terhadap strategi guna mewujudkan doktrin Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Dinamika lingkungan strategis yang terus berubah di kawasan Laut Cina Selatan inilah yang kemudian mendorong Indonesia untuk melakukan penguatan pertahanan maritimnya. 

Pembangunan industri pertahanan di Indonesia yang memberi deterence effect nyatanya masih menemui beberapa permasalahan. Masalah yang sering digaungkan adalah terkait anggaran. Penerapan kebijakan yang tegas penting dilakukan guna merubah negara berkembang menjadi negara maju. Luasnya lautan Indonesia hanya akan dapat berdaulat apabila kekuatan Angkatan Laut nya terbina dengan baik. 

Pembangunan kekuatan TNI saat ini dilaksanakan atas dasar konsep Capability Base Defence, yang mana perencanaan pembangunan kekuatan pertahanan akan cenderung berkembang mengikuti dinamika lingkungan strategisnya (Purwoto, 2014). Kebutuhan pertahanan pun akan dihitung dengan mempertimbangkan kekuatan musuh yang dilawan. Konsep pembangunan kekuatan pertahanan didasarkan pada skala prioritas demi tercapainya kekuatan yang memadahi sebagai detterence effect (Martin, 2007). 

Pembangunan kekuatan TNI haruslah diakselerasi agar segera terwujud sebuah standar penangkalan yang diinginkan meskipun Indonesia mengedepankan prinsip cinta damai tapi lebih cinta kemerdekaan. Pembangunan postur TNI jadi prioritas dalam pembangunan pertahanan negara yang kemudian diarahkan dengan tercapainya Minimun Essential Force (MEF). 

Sejak dicanangkan, pembangunan MEF oleh pemerintah dibagi dalam tiga tahapan Rencana Strategis hingga tahun 2024 (Purwoto, 2014). Dengan tercapainya MEF diharapkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dapat terwujud. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia menegaskan bahwa Poros Maritim Dunia merupakan visi Indonesia untuk menjadi sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri dan kuat. 

Pemerintah tentunya memiliki peranan penting dalam membangun industri pertahanan Indonesia sebagai pembeli tunggal. Melalui ketersediaan anggaran, pemerintah menggunakan daya belinya untuk menentukan material apa yang akan dibeli, spesifikasi teknis, tingkat efisiensi bahkan sampai kepada profitabilitas industri pertahanan, baik BUMN maupun BUMS. 

Indonesia negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), dengan tingkat endemisme yang tinggi. Sehingga sangat ironis ketika Indonesia dinyatakan berada dalam kondisi tidak memiliki cadangan minyak dan penemuan ladang minyak. Ancaman hibrida dengan embargo energi di Laut Cina Selatan (LSC) yang terus mengintai Indonesia menjadi faktor pentingnya melakukan transisi energi menuju energi baru terbarukan. 

Mengingat selama ini Indonesia sangat bergantung pada fosil untuk menghasilkan energi. Berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2019, total energi final pada tahun 2018 mayoritas sekitar 40% dikonsumsi oleh sektor transportasi. 

Penggunaan energi ini menyumbang 13,6% emisi CO2 di tahun 2019. Sektor transportasi masih mengandalkan 92% energi fosil dengan 65% konsumsi minyak dipasok dari impor. Dalam mewujudkan upaya pertahanan negara tentunya dibutuhkan peran langsung Kementerian Pertahanan. Divisi Fasilitas dan Jasa (Fasjas) Kementerian Pertahanan (Kemhan) Republik Indonesia tahun 2020 mencatat kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) alutsista adalah sebesar 410.772 kiloliter. Kebutuhan tersebut setara Rp.3,87 Triliun/tahun.

 Sedang untuk kebutuhan non-alutsista Kementerian Pertahanan mengeluarkan biaya setara 861,6 Miliar/tahun. Jumlah ini tentunya sangat besar dan menjadi ancaman apabila pemenuhannya secara terus menerus bergantung pada fosil. Meskipun Statistic Review of World Energi 2021 mencatat Indonesia hingga tahun 2020 masih memiliki cadangan minyak sebesar 2,4 ribu miliar barel minyak. 

Sedangkan batubara sebagai sumber primer pembangkit listrik memiliki cadangan 39,56 milyar ton di tahun 2020. Divisi Fasilitas dan Jasa (Fasjas) Kemhan 2020 mencatat setidaknya tiga matra TNI yaitu matra darat, laut maupun udara akan mengabiskan sejumlah 12.558.710,78 barel BBM per hari dimasa damai. Kebutuhan tersebut akan meningkat seiring perkembangan lingkungan strategis Indonesia. 

Dalam masa perang Divisi Fasjas Kementerian Pertahanan memproyeksikan bahwasanya Tentara Nasional Indonesia akan menghabiskan tiga kali kebutuhan bahan bakar minyak dimasa damai. Artinya akan ada sejumlah 37.676.132,34 barel BBM perhari yang akan dikeluarkan untuk menghadapi peperangan. 

Cara pemenuhan kebutuhan Kementerian Pertahanan ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah. Mengingat meskipun dalam masa peperangan kebutuhan nasional akan pemenuhan bahan bakar minyak untuk kegiatan ekonomi masyarakat masih harus terus dipenuhi. 

Hubungan antara energi dan pertahanan terletak dimana energi digunakan untuk mendukung pertahanan dan bagaimana pertahanan melindungi energi. Peran energi dalam mendukung pertahanan terwujud sebagai sumber daya pendukung pertahanan dan sebagai logistik pendukung pertahanan. Energi sangat penting sebagai infrastruktur untuk mendukung pertahanan daerah basis, perbatasan serta operasi militer.

Melalui Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan yang selanjutnya di sebut RUU EBT memberi wacana guna pemberian kerangka hukum. Kerangka terkait penetapan kebijakan, pengelolaan, penyediaan, dan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan disusun agar terstruktur dan terarah implementasinya dari skala nasional hingga daerah.

Berlakunya Rancangan Undang Undang Energi Baru dan Terbarukan memberi efek pada penggunaan energi fosil yang lambat laun harus dihentikan. Sehingga perlu di cari alternatif lain sebagai sumber energi terutama bahan bakar cair.

Salah satu potensi yang bisa di manfaatkan Indonesia dalam keistimewaannya sebagai negara kepulauan adalah produksi hasil laut. Eucheuma Cottonii merupakan salah satu hasil laut Indonesia yang berpotensi untuk diolah menjadi bioetanol. Industri pengolahan Eucheuma Cottonii tersebar diberbagai wilayah, beberapa diantaranya adalah Bali, Lombok. 

Produksi yang melimpah diikuti pula dengan melimpahnya limbah Eucheuma Cottonii yang terkadang menjadi sumber pencemaran apabila tidak di kelola dengan baik. Maka limbah ini sudah selayaknya harus dapat di optimalkan. Langkah optimalisasi salah satunya ditempuh dengan pembuatan biofuel jenis bioetanol sebagai langkah akselerasi pemanfaatan energi baru terbarukan. 

Selain karena tidak bersaing dengan bahan pangan, limbah Eucheuma cottonii dipilih karena banyak nya industri pengolahan Eucheuma cottonii yang tersebar di Indonesia sehingga diharapkan dapat di implementasikan secara nasional. 

Harapannya bioetanol yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar cair dalam mendukung operasional dilingkungan kementerian pertahanan. 

Meskipun kita ketahui bersama bahwa mayoritas mesin alutsista nasional difasilitasi dengan mesin diesel fosil. Hal ini kemudian menjadi tantangan tersendiri untuk dilakukan inovasi teknologi alutsista yang sejalan dengan rodmap Indonesia dalam mewujudkan ketahanan energi nasional serta perwujudan pembangunan yang berwawasan lingkungan. 

Referensi 

Dewan Energi Nasional. (2019). Indonesia Energy Outlook 2019. Jakarta : DEN. 

Martin, The Economic of Offset: Defence Procurement and Countertrade (Terjemahan); Amsterdam; Routledge, 2007, hlm. 87. 

Purwoto, Agus. 2014 Profesionalitas Prajurit TNI Dalam Rangka Minimum Essential Forces Guna Mendukung Kemandirian Pertahanan Negara. Kementerian Pertahanan. Wira: Media Informasi Kementerian Pertahanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun