Pemerintah tentunya memiliki peranan penting dalam membangun industri pertahanan Indonesia sebagai pembeli tunggal. Melalui ketersediaan anggaran, pemerintah menggunakan daya belinya untuk menentukan material apa yang akan dibeli, spesifikasi teknis, tingkat efisiensi bahkan sampai kepada profitabilitas industri pertahanan, baik BUMN maupun BUMS.Â
Indonesia negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), dengan tingkat endemisme yang tinggi. Sehingga sangat ironis ketika Indonesia dinyatakan berada dalam kondisi tidak memiliki cadangan minyak dan penemuan ladang minyak. Ancaman hibrida dengan embargo energi di Laut Cina Selatan (LSC) yang terus mengintai Indonesia menjadi faktor pentingnya melakukan transisi energi menuju energi baru terbarukan.Â
Mengingat selama ini Indonesia sangat bergantung pada fosil untuk menghasilkan energi. Berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2019, total energi final pada tahun 2018 mayoritas sekitar 40% dikonsumsi oleh sektor transportasi.Â
Penggunaan energi ini menyumbang 13,6% emisi CO2 di tahun 2019. Sektor transportasi masih mengandalkan 92% energi fosil dengan 65% konsumsi minyak dipasok dari impor. Dalam mewujudkan upaya pertahanan negara tentunya dibutuhkan peran langsung Kementerian Pertahanan. Divisi Fasilitas dan Jasa (Fasjas) Kementerian Pertahanan (Kemhan) Republik Indonesia tahun 2020 mencatat kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) alutsista adalah sebesar 410.772 kiloliter. Kebutuhan tersebut setara Rp.3,87 Triliun/tahun.
 Sedang untuk kebutuhan non-alutsista Kementerian Pertahanan mengeluarkan biaya setara 861,6 Miliar/tahun. Jumlah ini tentunya sangat besar dan menjadi ancaman apabila pemenuhannya secara terus menerus bergantung pada fosil. Meskipun Statistic Review of World Energi 2021 mencatat Indonesia hingga tahun 2020 masih memiliki cadangan minyak sebesar 2,4 ribu miliar barel minyak.Â
Sedangkan batubara sebagai sumber primer pembangkit listrik memiliki cadangan 39,56 milyar ton di tahun 2020. Divisi Fasilitas dan Jasa (Fasjas) Kemhan 2020 mencatat setidaknya tiga matra TNI yaitu matra darat, laut maupun udara akan mengabiskan sejumlah 12.558.710,78 barel BBM per hari dimasa damai. Kebutuhan tersebut akan meningkat seiring perkembangan lingkungan strategis Indonesia.Â
Dalam masa perang Divisi Fasjas Kementerian Pertahanan memproyeksikan bahwasanya Tentara Nasional Indonesia akan menghabiskan tiga kali kebutuhan bahan bakar minyak dimasa damai. Artinya akan ada sejumlah 37.676.132,34 barel BBM perhari yang akan dikeluarkan untuk menghadapi peperangan.Â
Cara pemenuhan kebutuhan Kementerian Pertahanan ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah. Mengingat meskipun dalam masa peperangan kebutuhan nasional akan pemenuhan bahan bakar minyak untuk kegiatan ekonomi masyarakat masih harus terus dipenuhi.Â
Hubungan antara energi dan pertahanan terletak dimana energi digunakan untuk mendukung pertahanan dan bagaimana pertahanan melindungi energi. Peran energi dalam mendukung pertahanan terwujud sebagai sumber daya pendukung pertahanan dan sebagai logistik pendukung pertahanan. Energi sangat penting sebagai infrastruktur untuk mendukung pertahanan daerah basis, perbatasan serta operasi militer.
Melalui Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan yang selanjutnya di sebut RUU EBT memberi wacana guna pemberian kerangka hukum. Kerangka terkait penetapan kebijakan, pengelolaan, penyediaan, dan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan disusun agar terstruktur dan terarah implementasinya dari skala nasional hingga daerah.
Berlakunya Rancangan Undang Undang Energi Baru dan Terbarukan memberi efek pada penggunaan energi fosil yang lambat laun harus dihentikan. Sehingga perlu di cari alternatif lain sebagai sumber energi terutama bahan bakar cair.