Mohon tunggu...
Asih Perwita Dewi
Asih Perwita Dewi Mohon Tunggu... -

Penulis adalah anak kedua dari 3 bersaudara perempuan dari pasangan Alm. Bp. Syamsudin Selamet dan Ibu Roro Rahayu. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 1 (S1) di Universitas Tanjungpura Pontianak, Program studi Pendidikan Biologi. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan Strata 2 (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB) program studi Biologi Tumbuhan. Penulis sangat menyukai hujan, pantai, dan tidur di bawah langit berbintang. Kegemaran penulis lainnya adalah menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bahagia

29 Maret 2016   12:19 Diperbarui: 29 Maret 2016   12:36 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menatap pada tetesan darah yang mengalir satu demi satu ke lengan kemeja yang kukenakan. Tak kurasakan nyeri yang harusnya teramat menyakitkan dari kepalaku akibat benturan itu. Yang ada dimataku hanya merah, merah darah.

Lalu kulihat semua orang berlarian menujuku. Beberapa diantara mereka antara takut dan tidak berusaha membantuku untuk berdiri, tapi aku tahu aku tak akan bisa berdiri. Apakah kakiku juga patah? Entahlah, hanya kudengar beberapa dari mereka berteriak begitu, bahwa aku tak mungkin bisa berdiri. Lalu seorang ibu-ibu mengeluarkan saputangannya dan membalut kepalaku yang sepertinya terluka. Seorang bapak sibuk menelpon, entah siapa yang ia telpon, sambil berkali-kali menatap cemas padaku

 Lalu seorang perempuan meneriakkan sesuatu kalau tak akan sempat jika harus menunggu. Perempuan itu lantas berlari ke tengah jalan dan mencegat apapun kendaraan yang lewat. Kemudian bapak yang tadi menelpon dan beberapa orang lainnya membopongku ke sebuah kendaraan. Perempuan yang tadi berlari ketengah jalan sudah ada di dalam mobil itu. Bapak yang menelpon dan ibu yang membalut kepalaku dengan sapu tangan juga ikut naik. Bapak yang menelpon berbicara dengan pemilik mobil, dan sepertinya pemilik mobil itu langsung tanggap. Kulihat dari kaca spion, wajahnya tampak serius mengemudi.

Aku, masih diam. Tak ada rasa apapun yang kurasakan di tubuhku.

Begitu sampai, di rumah sakit, aku langsung dibawa ke UGD. Seorang dokter laki-laki setengah baya langsung sigap menanganiku. Aku menatap padanya, dan pada suatu waktu ketika pandangan kami bertemu, ia tertegun. Seolah mengatakan, “Anak ini... apa dia benar-benar tidak apa-apa?” Lalu ia kembali fokus membersihkan bagian tubuhku yang tampak “berantakan” di mata seorang dokter. Aku tahu aku tidak dibius, tapi aku masih tidak merasakan sakit sama sekali.

Hingga akhirnya dokter itu selesai merawatku, ia menatapku sesaat.

“Apakah saya boleh menyuntikkan obat tidur ke tubuhmu? Kamu harus istirahat,” kata dokter itu. Ada yang lain dari pandangannya, entah apa itu. Aku tak mengangguk dan menggeleng, tapi dokter itu tetap menyuntikku dengan obat tidur.

“Kamu akan baik-baik saja. Tolong, beristirahatlah,” pintanya kemudian, yang hanya kudengar sayup-sayup. Mungkin karena obat tidur itu telah bekerja di tubuhku, dan aku pun tertidur beberapa detik kemudian.

Aku bermimpi.

Aku duduk di sebuah ruang kosong, tanpa meja atau kursi, tapi didepanku ada sebuah kertas putih. Tidak ada pena disekitarku, dan aku pun bingung menatap kertas putih itu disana. Untuk apa? Bukankah sebuah kertas itu ada untuk ditulisi sesuatu? Hakikat selembar kertas, seperti itu aku menyebutnya. Aku kembali meletakkan kertas itu didepanku. Lalu kulihat sebuah sketsa muncul perlahan di kertas itu. Sebuah wajah.

Wajah siapa dia? Aku tak mengenalnya.

Lalu sketsa wajah itu menghilang, dan muncul pula sketsa lainnya, sketsa sebuah wajah, lagi.

Dan itu adalah wajahku. Aku tahu itu. Wajahku yang terlihat datar.

Sketsa wajahku menghilang, dan muncul sketsa lainnya. Sketsa aku dan wajah sebelumnya. Kami seperti duduk saling menatap dari sisi yang berseberangan. Wajah sebelumnya itu tersenyum, sedangkan aku masih datar saja.

Sketsa itu menghilang lagi, dan muncul sketsa lainnya. Wajah sebelumnya memberiku sesuatu, sebuah origami burung sepertinya. Wajah itu tersenyum, tapi tidak denganku.

Lalu sketsa demi sketsa lainnya saling bermunculan. Wajah itu masih sama, selalu tersenyum, tapi aku tidak. Entah hingga berapa ratus sketsa aku masih berwajah datar seperti itu. Kenapa? Kenapa aku bahkan tidak tersenyum setelah sekian lama aku bersama dengan wajah itu di sketsa ini?

Lalu, kulihat sebuah sketsa yang lain. Aku berdiri di depan pintu, setengah menunduk. Di ujung kakiku ada setangkai bunga, mawar.

Sketsa lainnya tergambar, aku mengambil mawar itu dan menghirup wanginya.

Dan aku tersenyum, akhirnya aku tersenyum.

Sketsa lainnya muncul, wajah itu dan aku. Kita duduk berseberangan dari sisi yang berbeda, tapi kini kami sama-sama tersenyum.

Lalu kulihat lembaran kertas itu berubah menjadi hitam, dan aku melihat wajahku menatap pada bunga mawar, yang tampaknya sudah layu dan mahkotanya mulai berlepasan. Wajahku, kembali datar.

Lalu beberapa sketsa yang sama kembali berulang. Entah hingga berapa ratus sketsa. Hanya aku sendiri, dan bunga mawar layu itu.

Dan lembaran kertas itu kembali putih. Mimpiku pun berakhir.

Aku tak melihat apapun, hanya hitam yang pekat.

“Lana, kenapa kamu sampai seperti ini?”

Sebuah suara itu kudengar di tengah pekat pandanganku. Siapa? Siapa yang berbicara?

“Lana, apakah selama ini semuanya terasa sulit? Kenapa kamu tak pernah menceritakannya padaku dan malah jadi seperti ini? Kumohon Lana... jangan seperti ini lagi...”

Hey suara, siapa kamu? Apa yang sedang kamu bicarakan? Aku mencoba untuk melihat sekelilingku, tapi masih pekat yang ada. Lantas dari mana suara itu berbicara denganku?

Aku harus keluar dari pekat ini. Aku harus keluar. Bisakah aku berlari? Baiklah, aku akan berlari. Di tengah pekat itu aku berlari, sekuat tenagaku. Menuju ujung yang sepertinya tak berujung. Tapi aku tak menyerah. Pekat ini terlalu menyiksaku, membuat nafasku sesak. Aku berlari dan terus berlari. Bisakah aku mencapai sebuah ujung? Entah, aku hanya ingin terus berlari. Dan berlari.
 Lalu sebuah lingkaran putih muncul begitu saja di depanku. Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat ke lingkaran itu.

Dan aku bangun dari tidurku. Seperti nyawa yang baru saja dikembalikan ke raganya, nafasku tersengal. Beberapa orang di sekitarku menatapku panik, mencoba membaringkan aku kembali. Aku butuh waktu sekian detik untuk kembali menyadari aku ada dimana. Untuk mengenali lingkungan sekitarku, dan orang-orang di sekitarku.

Oh... itu adik kembarku. Rana. Kenapa ia menangis?

“Lana, kamu sudah sadar,” ujar seseorang, yang tampaknya seorang dokter, sambil memeriksa peralatan medis di sebelah ranjangku. Ada bunyi “bip-bip” dengan jeda teratur, aku tak tahu fungsinya untuk apa.

“Lana, bisakah kamu merasakannya sekarang?” tanya dokter itu. Merasa? Merasa apa? Aku menatapnya bingung. Tapi ia tak mengatakan apapun lagi. Aku menatap satu demi satu bagian tubuhku. Kenapa aku bisa begini? Apa yang terjadi?
 Aku kembali menatap pada dokter itu, ia masih menatapku dengan pandangannya saja. Tak berkata. Sementara Rana masih menangis di sampingku.

“Rana, kenapa kamu menangis?” tanyaku. Rana juga tak menjawab dan hanya terisak.

“Rana... aku tak ingat apapun...,” lirihku bingung. Rana mengangguk pelan.

“Apakah lebih baik jika kamu tidak mengingat apapun Lana?” Rana balik bertanya. Aku makin menatapnya bingung. Dari sorot matanya, ada kesedihan yang mendalam disana. Ia seolah berkata “Lebih baik kau tidak mengingatnya, Lana.”

Tapi apa itu? Apa yang tidak bisa kuingat? Ingatan apa itu?

Aku memejamkan mataku, berusaha mengingat kembali apa yang telah terjadi. Tapi ingatan sebuah ruangan dan selembar kertas putih dilantai yang teringat diotakku. Lalu ada sketsa, sketsa wajah, wajah asing, dan wajahku. Lalu ada setangkai mawar, dan wajahku yang tersenyum.

Sampai disana, aku membuka mataku dan menatap ke sekitarku. Masih ada Rana disampingku dan juga dokter. Tidak, wajah dalam mimpiku itu bukan wajah dokter ini. Siapa dia, dan mengapa ada setangkai bunga mawar di mimpiku?

Mawar... mawar...

“Ada mawar di depan pintu rumahku. Kenapa ada mawar disana, Rana?” lirihku. Rana makin terisak, dan kini ia memelukku.

“Mawar... mawar... mawar...,” hanya itu yang bergumam berulang kali di bibirku. Rana makin erat memelukku.

Lalu, ditengah kebingunganku. Aku mulai merasa kepalaku berdenyut. Juga siku tanganku yang ternyata telah berbalut perban, juga ikut terasa sakit. Kakiku sepertinya baik-baik saja, meski terasa nyeri di sekujur badanku.

Saat memandang kakiku, aku mulai mengingat yang terjadi padaku sebelum aku berada disini.

Jalan raya didepan kantorku, lampu penyeberangan yang sudah akan berakhir, lalu sebuah mobil yang melintas begitu saja tepat ketika aku baru mulai melangkah.

Oh, aku ditabrak.

Tapi itu masih belum menjawab tentang bunga mawar di mimpiku.

Lalu otakku kembali bekerja. Merunut mundur waktu di masa lalu.

Sampai aku melihat itu, melihat sebuah pintu, pintu rumahku, dan setangkai mawar di depan pintu.

“Dia... “

Hanya satu kata itu yang mampu kulirihkan.
 Sisanya, aku berteriak. Aku berteriak sekuatnya tanpa peduli sekelilingku. Aku berteriak, bahkan dokter pun tak menghentikanku untuk berteriak. Ia mengerti, aku hampir lupa bagaimana rasa sakit saat aku seharusnya merasakannya.

Mungkinkah, sudah sebanyak itu rasa sakit yang kutanggung selama ini? Bertumpuk, menghuni setiap ruang di perasaan. Menutupi dan mengaburkan seluruh inderaku dengan semua kepalsuan yang kupasang sebagai tamengku. Hingga, aku lupa bagaimana caranya untuk bahagia dengan sebenar-benarnya bahagia.

Tapi dia, menemukanku dengan semua bahagia yang dia miliki. Dia tahu aku berbohong, dia tahu semua yang tampak dariku adalah sebuah kebohongan. Dia tahu bahagiaku juga adalah sebuah kebohongan. Dan, aku membencinya karena dia mengetahui kalau aku berbohong.

Tapi dia tak menyerah. Dengan seluruh kebahagiaan yang jujur yang dia miliki, dia ingin aku juga bahagia. Aku bahkan sama sekali tak bergeming, tapi dia terus menerus membuatku bahagia.

Dan, setangkai bunga mawar itulah yang akhirnya membuatku tersenyum. Aku akhirnya merasakan bahagia, kebahagiaan yang jujur.

Hanya ketika aku telah berbahagia, dia menghilang.
 Aku tak mengira ia akan menghilang. Aku masih terlalu bahagia dengan kebahagiaan jujur yang kurasakan. Aku hampir melupakan seluruh rasa sakit yang ada di hatiku. Tapi dia, akhirnya tak kunjung kembali.

Dan seluruh rasa sakit yang dulu kumiliki, menutup habis seluruh kebahagiaanku dan ruang perasaanku. Aku mati rasa.

Kini aku tahu mengapa Rana menangis. Kini aku sadar mengapa dokter tak melarangku untuk berteriak. Karena aku butuh itu. Aku butuh untuk membiarkan rasa sakitku keluar.

Ketika seorang manusia biasa menjalani kehidupannya, tak akan pernah ia jumpai sebuah jalan yang hanya lurus. Selalu ada jalan yang menanjak, menurun, menikung tajam, bahkan berbatu. Untuk semua jalan yang ia lalui, manusia dipaksa untuk kuat. 

Hanya akan ada disuatu ketika, segala sesuatu yang dipaksakan untuk dilalui tak akan terasa ringan untuk dijalani. Ada manusia yang bertahan, melakukan segala macam cara agar jalanan itu berhasil ia tempuh. Tetapi bahagiakah ia ketika jalanan itu telah selesai ia lalui?

Kebahagiaan, sebuah frase kata yang tak mudah tapi tak juga sulit untuk didapatkan.

Kita bisa memilih bagaimana kita bisa menemukan bahagia. Ketika kita menempuh sebuah jalan untuk mencari kebahagiaan, jika ditengah jalan kita merasa tak mampu untuk melanjutkannya lagi, maka berhentilah.

Karena ketika kamu tak bisa mencapai kebahagiaan itu hingga 100, maka biarkan ia kembali menjadi 0.

Jangan dipaksakan, jangan ditahan.

Kebahagiaanmu bukan ada di jalan itu.

Tapi di jalan yang lain.
***
29 – 3 – 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun