“Rana, kenapa kamu menangis?” tanyaku. Rana juga tak menjawab dan hanya terisak.
“Rana... aku tak ingat apapun...,” lirihku bingung. Rana mengangguk pelan.
“Apakah lebih baik jika kamu tidak mengingat apapun Lana?” Rana balik bertanya. Aku makin menatapnya bingung. Dari sorot matanya, ada kesedihan yang mendalam disana. Ia seolah berkata “Lebih baik kau tidak mengingatnya, Lana.”
Tapi apa itu? Apa yang tidak bisa kuingat? Ingatan apa itu?
Aku memejamkan mataku, berusaha mengingat kembali apa yang telah terjadi. Tapi ingatan sebuah ruangan dan selembar kertas putih dilantai yang teringat diotakku. Lalu ada sketsa, sketsa wajah, wajah asing, dan wajahku. Lalu ada setangkai mawar, dan wajahku yang tersenyum.
Sampai disana, aku membuka mataku dan menatap ke sekitarku. Masih ada Rana disampingku dan juga dokter. Tidak, wajah dalam mimpiku itu bukan wajah dokter ini. Siapa dia, dan mengapa ada setangkai bunga mawar di mimpiku?
Mawar... mawar...
“Ada mawar di depan pintu rumahku. Kenapa ada mawar disana, Rana?” lirihku. Rana makin terisak, dan kini ia memelukku.
“Mawar... mawar... mawar...,” hanya itu yang bergumam berulang kali di bibirku. Rana makin erat memelukku.
Lalu, ditengah kebingunganku. Aku mulai merasa kepalaku berdenyut. Juga siku tanganku yang ternyata telah berbalut perban, juga ikut terasa sakit. Kakiku sepertinya baik-baik saja, meski terasa nyeri di sekujur badanku.
Saat memandang kakiku, aku mulai mengingat yang terjadi padaku sebelum aku berada disini.