Jalan raya didepan kantorku, lampu penyeberangan yang sudah akan berakhir, lalu sebuah mobil yang melintas begitu saja tepat ketika aku baru mulai melangkah.
Oh, aku ditabrak.
Tapi itu masih belum menjawab tentang bunga mawar di mimpiku.
Lalu otakku kembali bekerja. Merunut mundur waktu di masa lalu.
Sampai aku melihat itu, melihat sebuah pintu, pintu rumahku, dan setangkai mawar di depan pintu.
“Dia... “
Hanya satu kata itu yang mampu kulirihkan.
 Sisanya, aku berteriak. Aku berteriak sekuatnya tanpa peduli sekelilingku. Aku berteriak, bahkan dokter pun tak menghentikanku untuk berteriak. Ia mengerti, aku hampir lupa bagaimana rasa sakit saat aku seharusnya merasakannya.
Mungkinkah, sudah sebanyak itu rasa sakit yang kutanggung selama ini? Bertumpuk, menghuni setiap ruang di perasaan. Menutupi dan mengaburkan seluruh inderaku dengan semua kepalsuan yang kupasang sebagai tamengku. Hingga, aku lupa bagaimana caranya untuk bahagia dengan sebenar-benarnya bahagia.
Tapi dia, menemukanku dengan semua bahagia yang dia miliki. Dia tahu aku berbohong, dia tahu semua yang tampak dariku adalah sebuah kebohongan. Dia tahu bahagiaku juga adalah sebuah kebohongan. Dan, aku membencinya karena dia mengetahui kalau aku berbohong.
Tapi dia tak menyerah. Dengan seluruh kebahagiaan yang jujur yang dia miliki, dia ingin aku juga bahagia. Aku bahkan sama sekali tak bergeming, tapi dia terus menerus membuatku bahagia.
Dan, setangkai bunga mawar itulah yang akhirnya membuatku tersenyum. Aku akhirnya merasakan bahagia, kebahagiaan yang jujur.