Mohon tunggu...
Ashila Nabilsabrina
Ashila Nabilsabrina Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik dan Pendidikan Islam

5 Desember 2023   08:51 Diperbarui: 5 Desember 2023   09:13 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah

Sosiologi Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:

Bahrul Munib S.H.i,.M.Pd.I

Disusun Oleh:

Ashila Nabil Sabrina (221101010069)

A. Latar Belakang

Dalam konteks pendidikan islam, peran partisipatif dari para anggota pendidikan sangat penting untuk mendorong kreativitas dan inovasi guna mencapai tujuan organisasi. Namun, partisipasi tersebut dapat menimbulkan konflik di antara anggota organisasi karena perbedaan pandangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama terkait implementasi kebijakan organisasi.

Umumnya, orang cenderung menghindari konflik, meskipun konflik sendiri merupakan bagian alami dari interaksi manusia di berbagai situasi, termasuk dalam konteks organisasi. Pentingnya memahami bahwa konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari sepenuhnya, tetapi sebagai aspek penting yang dapat memengaruhi kemajuan organisasi.

Pandangan bahwa konflik dapat menyebabkan kegagalan pencapaian tujuan dan perpecahan organisasi seharusnya diubah menjadi pemahaman bahwa konflik merupakan elemen yang dapat memberikan dorongan bagi kemajuan organisasi. Oleh karena itu, penanganan konflik menjadi suatu keahlian penting dalam pengelolaan organisasi.

Islam mengajarkan bahwa konflik seharusnya dilihat sebagai suatu peluang untuk mencapai kedamaian daripada sebagai sumber permusuhan. Mengelola konflik dengan baik dapat menghasilkan dampak positif, seperti mencegah frustasi dan stres, menghindari kebencian antar sesama, serta memberikan kesempatan untuk pertumbuhan dan prestasi.

Penting untuk memahami sumber-sumber pemicu konflik dan mengimplementasikan cara-cara yang sesuai untuk mengatasinya. Dalam konteks ini, pendidikan Islam menyediakan panduan tentang bagaimana mengelola konflik sehingga dapat dianggap sebagai suatu bentuk rahmat dan bukan sebagai awal dari perpecahan.

B. Konsep Dan Teori Konflik

  • Pengertian Konflik

Ada dua asal kata dari konflik yaitu konfigure atau conficium yang artinya konflik, dan mengacu dengan segala bentuk konflik, benturan, ketidakcocokan, kontradiksi, pertarungan, pertentangan, dan interaksi yang bermusuhan.[1] Secara makna, konflik diartikan sebagai reaksi seseorang yang merasa wilayah dan kepentingannya terancam dan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan wilayah atau kepentingannya.[2] Sementara itu, Robbins mengemukakan bahwa konflik merupakan suatu proses interaktif yang terjadi karena perbedaan dua sudut pandang, yang dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi semua pihak yang terlibat[3] 

 

Afzalur   Rahim   menyebutkan  mengenai   definisi   konflik   bahwasannya konflik adalah sikap ketidakcocokan, perselisihan atau individu-individu yang memiliki perbedaan intensitas sosial,  golongan -- golongan   atau  organisasi - organisasi dari interaksi yang termanifestasikan.[4] Begitu pula Wahyosumidjo menyebutkan bahwa pengertian konflik yaitu segala   hal dengan bermacam-macam bentuk interaksi antara manusia yang mengandung sifat yang berbenturan.

 Dari berbagai banyaknya istilah dari konflik disebutkan bahwasannya konflik adalah perbedaan pendapat, pertentangan ataupun perselisihan. Walaupun demikian perbedaan pendapat itu berbeda pada tujuannya. Pada saat yang sama, konflik itu sendiri muncul dari keinginan, sehingga perbedaan pendapat belum tentu bisa disebut konflik. Namun, apbila perbedaan pendapat tersebut kurang ditangani dengan baik, maka bisa menmicu konflik serta perbedaan pendapat nan berbahaya, yang akhirnya akan berujung pada hilangnya kekuatan persatuan dan kesatuan. Persaingan tidak sama dengan konflik, namun persaingan mudah menimbulkan konflik. Demikian pula, permusuhan tidak berarti konflik, dan orang yang bermusuhan mungkin tidak berada dalam konflik. Demikian pula, orang yang berkonflik mungkin tidak bersikap bermusuhan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah perbedaan atau ketidaksesuaian cara pandang yang timbul karena adanya keinginan individu atau kelompok untuk bereaksi terhadap suatu permasalahan sehingga menimbulkan suatu dampak. Dampak yang ditimbulkan tidak serta merta menuju pada hal-hal negatif saja, dampak ini juga bisa tertuju pada hal positif. Sebagai mana Hanson mengutip pendapat dari Allport yang menyebutkan bahwasannya Semakin banyak ilmuwan sosial yang menjelaskan bahwa konflik bukanlah sebuah kejahatan semata, melainkan sebuah fenomena yang mempunyai dampak konstruktif atau destruktif, tergantung pada pengelolaannya.[5] Maka dari itu dampak positif atau negatif konflik bergantung pada cara penanganan atau pengelolaannya.  

C. Penyebab munculnya konflik

Konflik mungkin timbul karena salah satu pihak merasa dirugikan atau kedua belah pihak merasa bahwa kepentingan mereka merasa dirugikan, baik dengan cara material maupun non-material. Pada perihal itu Mulyasa memaparkan aspek-aspek yang memicu konflik, sebagai berikut:[1]

 Perbedaan pendapat

Konflik bisa terjadi karena adanya perbedaan pendapat dan semua orang menganggap dirinya benar. Perbedaan pendapat yang semakin besar dan mengemuka dapat menimbulkan ketegangan.

Salah paham.

Adanya kesalahpahaman (misunderstanding), misalnya tindakan seseorang yang memiliki tujuan baik, akan tetapi oleh pihak lain dianggap suatu hal yang merugikan. Shingga menimbulkan adanya rasa kurang nyaman, kebencian serta kurang simpati terhadapkesalahpahaman yang terjadi.

Kedua belah pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan

Konflik dapat terjadi karena perilaku salah satu pihak dianggap merugikan pihak lain, atau karena masing-masing pihak merasa dirugikan. Pihak yang dirugikan merasa kesal, tidak nyaman, dan kurang empati sehingga berujung pada kebencian. Hal ini pada akhirnya dapat menimbulkan konflik, menimbulkan kerugian material, moral dan sosial.

Perasaan yang terlalu sensitif.

Konflik juga bisa terjadi karena adanya perasaan yang terlalu sensitif, dari beberapa pihak mungkin hal tersebut tindakan wajar, tetapi karena pihak lain lebih sesitif sehingga dianggap memunculkan konflik dan merugikan,   walaupun  jika dipandang secara etika  merupakan tindakan   yang tidak termasuk perbuatan yang salah.

Jenis-Jenis Konflik

Konflik intrapersonal. Artinya, konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik jenis ini terjadi ketika individu harus memilih antara dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan dan bingung harus memilih yang mana. Misalnya konflik antara tanggung jawab pekerjaan dan acara pribadi. Konflik intrapersonal dapat muncul dari tuntutan tugas yang melebihi kemampuan seseorang. Konflik semacam itu dapat terjadi karena tugas yang diberikan melebihi kapasitas atau keterampilan individu, menciptakan ketidaknyamanan atau tekanan internal..

Konflik  interpersonal. Yaitu Konflik antar individu adalah bentuk ketegangan yang muncul saat terdapat perbedaan pendapat, tindakan, atau tujuan di antara mereka. Konflik semacam ini sering terjadi ketika terdapat perbedaan pandangan terkait isu tertentu, dan hasil dari penyelesaian konflik tersebut memiliki dampak yang signifikan dari konflik yang terjadi antar individu. Konflik ini terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana hasil bersama sangat menentukan.

Konflik  Intrakelompok. Yaitu konflik antar anggota kelompok tertentu dalam kelompok yang sama. Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau konflik efektif. Konflik substantif dapat muncul ketika anggota komite mengambil kesimpulan berbeda mengenai data yang sama karena latar belakang profesi yang berbeda. Sedangkan konflik efektif terjadi dikarenakan adanya tanggapan pada situasi tertentu yang menimbulkan emosional. Contoh dari konflik intrakelompok misalnya  konflik  yang  terjadi  pada  beberapa  guru  dalam musyawarah guru mata pelajaran tertentu.

Konflik interkelompok. Ini adalah konflik antar kelompok. Konflik antarkelompok terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan kognitif, dan perbedaan tujuan. Misalnya saja terjadi konflik antara sekelompok guru seni budaya dengan sekelompok guru PAI. Kelompok guru seni budaya merasa bahwa mempelajari lagu-lagu tertentu dan latihan pernafasan memerlukan nyanyian yang keras, sedangkan kelompok guru PAI kesal karena siswa kurang memperhatikan pelajarannya.

Konflik intraorganisasi,. Merupakan konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu organisasi. Misalnya saja terjadi konflik antara bagian LPM dengan bagian kemahasiswaan.

Konflik interorganisasi. Yakni konflik nan terjadi antar organisasi. Konflik antarorganisasi terjadi karena saling bergantung dan terjadi ketika tindakan suatu organisasi berdampak negatif terhadap organisasi lain. Semisal, perselisihan nan timbul antara perguruan tinggi beserta organisasi masyarakat.

Fenomena dan dampak konflik. Konflik didunia pendidikan menghasilkan dampakyang baik dan buruk serta merangsang inovasi, kerativitas dan adaptasi. Kemungkinan alasan kurangnya perkembangan disekolah dapat dipengaruhi oleh kecenderungan kepala sekulah untuk merasa puas dengan apa yang dicapainya, tidak peka terhadap perubahan lingkungan, dan tidak mempunyai perbedaan pendapat atau ide-ide baru. Meskipun konflik pada umumnya baik untuk kemajuan sekolah, konflik dapat menurunkan prestasi, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan ketegangan dan stres (Mulyasa, 2012: 264).

Konflik mempunyai dampak positif bila menjadi sumber persaingan yang sehat, sumber kreativitas dan produktivitas, serta semakin memperkaya wawasan, pemikiran, gagasan, dan argumentasi. Konflik juga dapat memberikan dampak positif apabila pelakunya adalah individu-individu dewasa yang mengedepankan pemikiran positif dan mampu memanfaatkan konflik yang ada (Jamal Ma'mur Asmani, 2009: 116). Namun jika konflik terjadi antara individu yang egois, fanatik, dan eksklusif, maka konflik tersebut akan menimbulkan ketegangan antara satu sama lain, dengan motif saling menyalahkan, meremehkan, dan memfitnah.

Pencemaran nama baik dan karakter. Organisasi mungkin mengalami konflik seperti itu (Jamal Ma'mur Asmani, 2009: 117). Dari berbagai situasi yang telah disebutkan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa konflik dapat menimbulkan akibat yang positif atau menguntungkan, dan juga dapat menimbulkan akibat yang berdampak negatif atau merugikan. Konflik yang bermanfaat dapat membawa dorongan dan pengaruh yang baik bagi lembaga pendidikan, sedangkan konflik yang bersifat negatif dapat membawa kerugian dan konflik bagi lembaga pendidikan. Ada beberapa dampak positif konflik yaitu:

Menimbulkan kemampuan refleksi diri. Konflik dapat dirasakan oleh pihak lain, yang dapat mengambil pelajaran dari konflik tersebut sehingga dapat melakukan refleksi diri karena mengetahui penyebab konflik tersebut.

Meningkatkan kinerja. Konflik dapat menimbulkan konsekuensi serius yang meningkatkan kinerja. Konflik dapat mendorong individu untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja dan mencapai kesuksesan.

Cara yang lebih baik. Konflik dapat menimbulkan kejutan karena keberadaannya seringkali tidak disadari, sehingga setiap orang berusaha untuk berhati-hati dalam berinteraksi, yang akan membawa pada hubungan yang lebih baik.

Kembangkan alternatif yang lebih baik. Konflik yang muncul seringkali memerlukan penyelesaian permasalahan yang lebih kompleks dan merugikan pribadi, artinya pihak-pihak yang berperan sebagai pemecah masalah sekaligus mengembangkan, berinovasi, dan kreatif menyelesaikan konflik agar dapat menggunakan kecerdasan individunya (Mulyasa, 2012: 264-265).

Memperkuat hubungan. Ketika dua orang dapat mengenali perbedaan yang timbul dari konflik dan alasan perbedaan tersebut, mereka dapat menyelesaikan masalah ini melalui diskusi dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam satu sama lain.

Meningkatkan kepercayaan. Jika dua orang mampu menyelesaikan konflik, mereka akan lebih percaya satu sama lain di masa depan, mengetahui bahwa perbedaan mereka dapat diselesaikan.

Peningkatan harga diri. Hasil produktif dari konflik adalah peningkatan harga diri pihak-pihak yang berkonflik.

Meningkatkan kreativitas dan produktivitas. Apabila konflik dapat ditangani dengan baik maka kreativitas dan diskusi dapat terjadi antara orang-orang yang berbeda kepentingan, dan pada akhirnya produktivitas dapat meningkat.

Kepuasan kerja. Orang memerlukan pengalaman dengan stimulan dan menggunakannya untuk meningkatkan dan menurunkan ketegangan.

Sedangkan dampak negatif sebagai berikut;

Subjektif dan Emosional, Pandangan dan pendapat pihak yang terlibat dalam konflik cenderung menjadi tidak objektif (subjektif) dan emosional.

Apriori, Konflik yang meningkat dapat menimbulkan sikap apriori, di mana pendapat pihak lain selalu dianggap salah dan dirinya selalu merasa benar.

Saling Menjatuhkan, Konflik berkelanjutan dapat menghasilkan saling benci, mendorong individu untuk melakukan tindakan kurang terpuji seperti memfitnah, menghambat, dan mengadu.

Stress, Konflik yang berkepanjangan tidak hanya menurunkan kinerja, tetapi juga bisa menyebabkan ketidakseimbangan fisik dan psikis sebagai reaksi terhadap tekanan yang terlalu tinggi.

Frustasi, Meskipun konflik dapat mendorong pihak yang terlibat untuk lebih berprestasi, konflik yang sudah mencapai tingkat tertentu dan melibatkan pihak yang lemah mental dapat menimbulkan frustasi.

Penurunan Komunikasi, Konflik dapat menyebabkan penurunan komunikasi antar individu dan kelompok. Konflik yang berakhir dengan permusuhan dan pertentangan keras dapat meninggalkan bekas dalam hati, bahkan setelah konflik tersebut terselesaikan, dan flashback ingatan konflik mungkin muncul suatu saat.

Teori konflik[1]

Asumsi dasar teori konflik

Teori konflik ini mempunyai beberapa asumsi dasar. Teori konflik merupakan kebalikan dari teori struktural fungsional yang menekankan pada tatanan sosial. Teori konflik melihat argumen dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik berpendapat bahwa masyarakat tidak akan selalu tertata dengan baik. Ternyata masyarakat mana pun pasti mengalami konflik atau ketegangan. Teori konflik kemudian juga mengkaji adanya dominasi, paksaan dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membahas otoritas yang berbeda. Kewenangan yang berbeda ini menimbulkan superioritas dan subordinasi. Perbedaan antara atasan dan bawahan dapat menimbulkan konflik karena perbedaan kepentingan. Teori konflik meyakini bahwa konflik adalah suatu keharusan untuk menciptakan perubahan sosial.

Di dalam perspektif ini, konflik dianggap sebagai motor atau pendorong utama di balik transformasi dan perubahan dalam masyarakat. Sebaliknya, Fungsi Struktural mengakui bahwa perubahan sosial dapat terjadi melalui proses fungsional dalam struktur masyarakat.

Dalam masyarakat, konflik selalu terjadi pada titik keseimbangan, dan teori konflik menyatakan bahwa perubahan sosial muncul sebagai hasil dari konflik kepentingan. Meskipun begitu, pada beberapa titik, masyarakat dapat mencapai kesepakatan bersama. Dalam konteks konflik, negosiasi selalu menjadi unsur yang ada, di mana pihak-pihak yang terlibat berusaha mencapai kesepakatan atau penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak untuk mencapai konsensus. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan melalui "paksaan". Artinya, keteraturan yang muncul dalam masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan. Oleh karena itu, teori konflik berkaitan erat dengan dominasi, paksaan, dan kekuasaan. Adapun  teori konflik sosiologi klasik adalah sebagai berikut:

Polibus

Polybus lahir pada tahun 167 SM. Teori konflik yang dikemukakan Polybus menyimpang dari keinginan umat manusia untuk membentuk suatu komunitas, oleh karena itu teori konflik yang dikemukakan Polybus diungkapkan sebagai berikut: Monarki atau pemerintahan seorang penguasa tunggal merupakan kekuasaan yang paling berkuasa dan pertama dalam masyarakat manusia. membentuk. Masyarakat manusia. Transisi dari sistem pemerintahan berdasarkan satu penguasa kekuasaan atau paksaan, kedudukan raja (negara dalam suatu kerajaan) hingga kekuasaan berdasarkan keadilan dan kekuasaan hukum.

Ibnu Khaldun

Nama lengkapnya adalah Abu Zeid Abd al-Rahman ibn Khaldun, dan ia lahir di Tunisia pada tahun 1332 M. Ibnu Khaldun dikenal sebagai seorang sosiolog sejati berdasarkan beberapa prinsip dasar yang diutarakan untuk menafsirkan peristiwa sosial dan sejarah. Analisis Ibnu Khaldun mengenai naik turunnya negara mengikuti prinsip yang sama.[2]

Niccol Machiavelli

Ia adalah orang Italia (1469-1527). Menurut Machiavelli, pada mulanya manusia hidup di alam liar layaknya binatang buas, ketika jumlah manusia bertambah, mereka mulai merasakan adanya kebutuhan akan hubungan dan pertahanan terhadap satu sama lain dan memilih orang yang sangat kuat dan berani sebagai pemimpinnya, Mereka harus patuh. . Kemudian mereka akan mengetahui yang baik dan yang jahat serta mampu membedakan antara yang baik dan yang jahat.[3]

Jean Bodin

Intisari pemikiran Jean Bodin adalah pandangan mengenai keputusan kedaulatan sebagai hakikat masyarakat sipil. Namun kedaulatan tidak pernah bisa dipisahkan dari hak-hak formal. Hukum dianggap sebagai keputusan yang berdaulat. Hukum adat dianggap sah hanya jika didukung oleh penguasa yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas untuk membuat undang-undang.

Thomas Hobbes

Teori konflik yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes berpendapat bahwa pada dasarnya hukum adat merupakan dorongan dominan dalam perilaku manusia yang diformulasikan sebagai berikut, Tingkat pertama adalah keinginan dan kegelisahan manusia yang terus-menerus akan kekuasaan setelah mengambil alih kekuasaan, artinya ketika manusia masuk ke dalam kubur, keinginannya akan kekuasaan akan berhenti. Hal ini terwujud dalam dua hal, seorang raja dan permasalahannya, karena rasa haus akan kekuasaan tidak pernah terpuaskan.

Kritik terhadap teori konflik dan fungsionalisme struktural, serta kekurangan yang dimiliki oleh kedua teori tersebut, telah menghasilkan berbagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut melalui rekonsiliasi atau integrasi. Asumsinya adalah bahwa dengan menggabungkan keduanya, kedua teori tersebut dapat menjadi lebih kuat daripada jika berdiri sendiri. Menurut Lewis A. Coser, konflik memiliki beberapa fungsi, antara lain:

Konflik dapat membantu menguatkan ikatan kelompok yang memiliki struktur longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dengan masyarakat lain dapat memperbaiki integrasi mereka.

Konflik dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain. Sebagai contoh, konflik antara bangsa Arab dan Israel dapat menghasilkan aliansi antara Israel dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, mengurangi konflik antara Israel dan Arab mungkin dapat melemahkan hubungan antara Israel dan Amerika Serikat.

Konflik dapat memobilisasi individu yang sebelumnya terisolasi. Protes terhadap perang Vietnam, misalnya, mendorong kalangan anak muda untuk pertama kalinya terlibat dalam kehidupan politik di Amerika. Setelah konflik Vietnam berakhir, semangat apatis di kalangan pemuda Amerika kembali muncul.

Konflik juga dapat memperkuat fungsi komunikasi. Sebelum konflik, kelompok-kelompok mungkin tidak percaya pada posisi musuh mereka. Namun, sebagai hasil dari konflik, posisi dan batas antara kelompok ini sering menjadi lebih jelas. Ini memungkinkan individu untuk lebih baik memutuskan tindakan yang tepat terkait dengan musuh mereka. Konflik juga memberikan kesempatan bagi pihak yang bertikai untuk menemukan ide yang lebih baik mengenai kekuatan relatif mereka dan meningkatkan kemungkinan pendekatan atau perdamaian.

Adapun beberapa teori mengenai konflik yakni sebagai berikut

  •  Teori Hubungan Masyarakat. Konflik diasumsikan disebabkan oleh polarisasi, ketidakpercayaan, dan permusuhan yang terus berlanjut antar bermacam-macam perbedaan dalam masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta berupaya untuk mendorong toleransi dalam masyarakat. masyarakat lebih menerima keberagaman yang ada di dalamnya.
  • Teori Kebutuhan Manusia. Diasumsikan bahwa konflik yang mengakar disebabkan oleh tidak terpenuhinya atau terhambatnya kebutuhan dasar manusia (fisik, psikologis, dan sosial). Inti dari diskusi sering kali adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi. Tujuan: menganalisa dan mengupayakan secara bersama kebutuhan mereka yang masih belum  terpenuhi, dan juga mendapatkan hasil pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi tersebut.
  • Teori Negosiasi Prinsip. Konflik diasumsikan timbul karena adanya ketidaksesuaian posisi dan perbedaan pandangan mengenai konflik antara pihak-pihak yang berkonflik. Tujuan: Membantu pihak-pihak yang berkonflik memisahkan perasaan pribadi dari masalah dan menciptakan ruang untuk pemahaman yang lebih obyektif serta penyelesaian yang lebih konstruktif., memungkinkan mereka mendorong pihak-pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi berdasarkan kepentingan mereka sendiri dan bukan pada posisi tertentu. Selanjutnya, memulai proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak yang terlibat.
  • Teori Identitas. Konflik dianggap disebabkan oleh ancaman terhadap identitas, yang seringkali bermula dari hilangnya sesuatu atau rasa sakit yang belum terselesaikan di masa lalu. Tujuan: Untuk mengidentifikasi ancaman dan ketakutan antar pihak serta membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka dengan memfasilitasi lokakarya dan dialog antar pihak yang mengalami konflik.
  • Teori Kesalahpahaman lintas budaya. Konflik diasumsikan disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya komunikasi antar budaya yang berbeda. Tujuan: Untuk meningkatkan pemahaman pihak-pihak yang berkonflik terhadap budaya masing-masing, mengurangi stereotip negatif terhadap satu sama lain, dan meningkatkan efektivitas komunikasi lintas budaya.
  • Teori Transformasi Konflik. Konflik diasumsikan disebabkan oleh permasalahan kesenjangan dan ketidakadilan yang muncul seperti permasalahan sosial, budaya, dan ekonomi. Tujuan: Mengubah struktur dan kerangka kerja yang mengarah pada kesenjangan dan ketidakadilan (termasuk kesenjangan ekonomi), meningkatkan hubungan dan sikap jangka panjang antara pihak-pihak yang berkonflik, dan mengembangkan proses dan institusi.

B. Tujuan Pendidikan islam

Bahkan dalam mekanisme pendidikan nan ditujukan atas aktivitas psikologis peserta didik nan sedang dalam fase perkembangan, sasaran menjadi penyebab terpenting selama proses pendidikan. Oleh lantaran itu, tujuannya jelas, dan inti bahasan beserta metode, gaya dan isi, serta potensi yang digunakan konsisten dengan cita-cita yang mendasari tujuan pendidikan. Tujuan dari pendidikan Islam melibatkan pencapaian nilai-nilai yang selaras dengan perspektif Islam. Hal ini diharapkan dapat terwujud melalui proses pembelajaran yang terarah dan konsisten melalui berbagai cara baik materiil maupun immateriil yang identik dengan nilai-nilainya. Tujuan ideal dalam proses pendidikan Islam meliputi nilai-nilai Islam yang dicapai secara bertahap selama proses pendidikan berdasarkan ajaran Islam.

Oleh karena itu menurut (Suwarno, 2020), sasaran pendidikan Islam adalah untuk menggambarkan nilai-nilai Islam yang akan diwujudkan dalam diri individu peserta didik pada akhir proses pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya nilai-nilai Islam dalam diri peserta didik, yang diperoleh pendidik muslim dengan menitik beratkan pada hasil (produk) pencapaian kepribadian Islami dengan kesetiaan dan ketaqwaan. Kepada Allah SWT, Mencapai kebaikan moral, kesehatan, pengetahuan, keahlian, kreativitas, kemandirian, dan menjadi warga negara demokratis dan bertanggung jawab, bertujuan untuk mengembangkan diri sebagai hamba Allah yang taat dan bijaksana dengan keseimbangan dunia di akhirat serta mampu membentuk manusia muslim seutuhnya yang mempunyai jiwa ketaqwaan seutuhnya kepada Allah SWT.

C. Menyikapi konflik sosial dalam pendidikan islam

Ada tiga tahapan yang harus dilalui dalam upaya mmenyikapi konflik, yaitu: Perencanaan penyelidikan konflik, penilaian konflik serta resolusi konflik. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik antar individu dalam organisasi (lembaga pendidikan Islam) tidak bisa dihindari, namun jika dikelola dengan baik, konflik tersebut dapat dimanfaatkan ke arah yang produktif.[1] Konflik antar individu atau kelompok dapat bermanfaat maupun merugikan bagi kelangsungan hidup organisasi. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Allah SWT QS. Al-Hujurat: 9, menjelaskan sesuai ayat tersebut bahwa untuk mengatasi dan mengelola konflik perlu direncanakan analisis konflik melalui strategi pengelolaan konflik dan melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan konflik. Ada empat kecenderungan strategis untuk mengatasi konflik, yakni:[2] 

 kolaborasi. Strategi ini diterapkan dalam situasi di mana kedua belah pihak dapat mencapai kesepakatan. Mereka melihat konflik sebagai bagian dari dinamika yang memungkinkan keduanya belajar untuk memahami dan bersimpati satu sama lain. Bahwasannya mereka tahu pertengkaran muncul ketika ada perbedaan pendapat tentang suatu hal. Oleh karena itu, kedua belah pihak berupaya mencapai mufakat atau kesepakatan atas dasar persahabatan. Dalam proses munculnya kesadaran di kedua belah pihak, komitmen dan kepuasan bersama dapat dihasilkan dengan menyelesaikan konflik dengan mengharuskan kedua belah pihak untuk terus memahami satu sama lain dan mencoba mengembangkan solusi baru terhadap isu-isu yang menjadi perdebatan.

kompromi. Strategi ini dapat digunakan apabila terdapat tingkat kegigihan dan kerja sama yang moderat antara pihak-pihak yang berkonflik. Tidak ada pihak yang mau bekerja sama karena permasalahan yang diangkat sangatlah kompleks dan mendalam. Dalam hal ini, sebagian pihak yang tidak terlibat konflik berpendapat bahwa tujuan yang ingin dicapai lebih penting dibandingkan konflik yang sedang berlangsung. Oleh sebab itu, pihak-pihak nan tak ikut serta pada konflik mampu bertindak sebagai mediator antara kedua pihak yang bersengketa. Sebagai mediator, konflik dapat diselesaikan melalui tawar-menawar atas permasalahan yang disengketakan. Proses kompromi yang dilakukan memang sulit memuaskan kedua belah pihak, sehingga kemungkinan besar akan ada pengorbanan di beberapa hal bagi salah satu atau kedua belah pihak.

 Penghindaran diri. Strategi ini dapat diterapkan jika SDI atau para pemimpin yang tidak terlibat dalam konflik menganggap Isu yang diangkat dianggap tidak penting. dan seringkali sepele. Kondisi tersebut dapat memungkinkan para SDI atau pimpinannya terhindar dari konflik karena mereka menilai permasalahan lembaga pendidikan Islam jauh lebih penting dibandingkan mengurusi hal yang remeh dan ecekecek. Oleh karena itu, mereka yang tidak terlibat dalam konflik sering kali menghindari pertengkaran dengan mendelegasikan kepada pihak lain jika dianggap perlu agar masalah dapat diselesaikan dengan lebih efektif.

Penyesuaian diri. Taktik ini bisa digunakan jika pihak-pihak yang berkonflik salah dalam persepsi dan tindakannya. Kedua belah pihak sadar untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri atau kelompoknya saja. Maka dari itu, Oleh karena itu, mereka perlu diundang untuk merenung dan mengambil tindakan. dengan cara yang memberikan dampak lebih besar bagi kebaikan bersama. Penyesuaian ini sangat penting agar pihak-pihak yang berkonflik selalu berusaha semaksimal mungkin untuk memuaskan pihak-pihak yang lain dan menjaga keharmonisan dan stabilitas lembaga pendidikan Islam dalam sikap kerjasama dan persahabatan. Dengan beradaptasi, mereka bisa belajar dari kesalahan yang pernah atau sedang dilakukan satu sama lain.

Negosiasi. Strategi negosiasi diterapkan ketika pihak-pihak yang berkonflik mempunyai posisi yang sama kuatnya. Mereka pun punya solusi tersendiri yang bisa diterima oleh partai-partai progresif di lembaga pendidikan Islam. Dalam hal ini perundingan dapat dilakukan melalui pihak ketiga (mediator) untuk mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, dalam proses negosiasi besar kemungkinan salah satu atau kedua belah pihak akan berkorban terhadap apa yang diperjuangkan demi mencapai kesepakatan. Oleh karena itu, demi keberlangsungan lembaga pendidikan Islam, strategi negosiasi tidak selalu berakhir dengan prinsip win-win, terkadang ada situasi win-win.

D. Kesimpulan

Robbins mengemukakan bahwa konflik merupakan suatu proses interaktif yang terjadi karena perbedaan dua sudut pandang, yang dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi semua pihak yang terlibat. Afzalur   Rahim   menyebutkan  mengenai   definisi   konflik   bahwasannya konflik adalah sikap ketidakcocokan, perselisihan atau individu-individu yang memiliki perbedaan intensitas sosial,  golongan -- golongan   atau  organisasi - organisasi dari interaksi yang termanifestasikan. Penyebab munculnya konflik yaitu perbedaan pendapat, kesalah pahaman, kedua belah pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan dan perasaan yang terlalu sensitif.

Perbedaan pemahaman agama antara siswa dan staf pendidikan Islam dapat menjadi pemicu konflik sosial di pesantren. Ketidaksepakatan mengenai tafsir teks-teks agama, praktik keagamaan, atau aturan-aturan agama tertentu dapat menimbulkan ketegangan dan konflik di antara anggota komunitas pendidikan Islam.

Ketidaksepahaman semacam itu dapat memicu konflik sosial, termasuk perdebatan, ketegangan, atau bahkan permusuhan antarindividu. Dalam konteks ini, terlihat bahwa orang tua, pendidik, masyarakat, bahkan di tingkat nasional, memiliki tanggung jawab untuk membimbing anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Mereka berperan sebagai penuntun utama, sehingga kesadaran mereka tetap terjaga dan menuntut semua pihak untuk memenuhi peran masing-masing dalam rangka menjaga dan membentuk generasi muda serta memperkuat identitas nasional. 

DAFTAR PUSTAKA

Asnawir, 2006. Manajemen Pendidikan (Padang: IB Press)

Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Farid Setiawan , 2018. Ta'dib: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7 No. 1

Hanson, 1990. Educational Administration and Organizational Behavior, (Allyn and Bacon, Boston)

Junaedi, M. (2017). Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam. Kencana.

Mulyasa,  2003. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya)

Nurainiah. 2020. Jurnal Studi Pemikiran Riset dan Pengembangan Studi Islam Manajemen Konflik Dan Pendidikan Islam. Vol. 8, No.2 Diakses Juli

Rahim Afzalur, 1986 Managing Conflict in Organization, (Praeger, New York,),.

Robbins, SP. Organizational Behaviour, (Prentice Hall, Siding)

Sulistyorini dan Fathurrohman Muhammad, 2014. Esensi Manajemen Pendidikan Islam Pengelolaan Lembaga untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras)

Wahid, M. 2017. Jurnal teori konflik sosiologi klasik dan modern. (Universitas Muhammadiyah Surabaya) Vol. 3 No. 1 Januari.

ZaimZaim, M. (2019). Tujuan Pendidikan Perspektif Al-Quran Dan Hadits (Isu Dan    Strategi    Pengembangan    Pendidikan    Islam). Muslim    Heritage, 4(2).10.21154/muslimheritage.v4i2.1766

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun