Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilpres 2019, Pakai SARA Bisa Kurang Dana?

24 Februari 2018   18:07 Diperbarui: 24 Februari 2018   18:16 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SARA masih laku untuk Pilpres 2019

Wakil Presiden RI. Bapak Jusuf Kalla atau Pak JeKa mengingatkan bahwa isu SARA masih sulit dihindari. SARA masih bisa dipakai untuk memenangkan Pilkada maupun Pilpres di mana pun. Termasuk di Amerika. Trump pun unggul dengan kampanye yang lantang menentang agama---SARA, tertentu.

Jadi dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 sangat mungkin akan dipasakan terjadi "konflik" SARA. Mungkin demikian sinyal yang diberikan Pak JeKa. Maka seluruh elemen bangsa harus hati-hati dalam setiap penyelenggarakan pesta demokrasi.

Konflik SARA memang tidak akan berlangsung lama seperti yang pernah terjadi di Poso dan Ambon. Namun tentu saja pasti membawa banyak korban harta dan jiwa sia-sia yang sangat merugikan kehidupan bernegara dan berbangsa.

Yang pasti juga membawa trauma yang terus menghantui sebuah bangsa. Dan juga pasti bisa diprediksi bahwa suatu saat tindak kekerasan "sistemik" semacam akan muncul kembali karena ada pihak yang berkepentingan dengan konflik yang demikian konyol dan keji.

SARA memang paling mudah untuk membuat kekacauan di mana saja di muka bumi ini. Dan pelakunya pasti dituduhkan hanya kepada kaum beragama aliran garis keras yang radikal dan ekstrim.

SARA harus anti rasisme

Membicarakan kehidupan bersama yang berbau SARA memang sama sekali tidak menarik, menjijikkan, membosankan dan menjengkelkan.

Pada hal SARA adalah hal yang alami. Pengakuan perbedaan pada SARA menjadikan suatu bangsa seharusnya justru berpantang untuk rasisme apa lagi diskriminatif.

Yang aneh selama ini. Mereka yang selalu menyuarakan keburukan SARA umumnya terkesan hanya untuk menyerang atau menjegal kebijakan pemerintah yang dinyatakan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab dalam penyelenggaraan negara.

Karena terkesan pemerintah dicurigai seperti diskriminatif dengan sifatnya yang juga dituduh diktaktor.

Disebarkan pula secara gencar di sembarang kesempatan bahwa ulama dimusuhi penguasa. Hal itu bisa dilihat dari usaha berbagai pihak agar jika ada ulama yang secara personal berurusan dengan hukum untuk bisa dikatakan sebagai "kriminalisasi ulama."

Pluralisme dan intoleran

Memang banyak juga ulama berusaha keras yang mengajak umat beragama untuk menghargai dan menempatkan SARA sebagai warna alami yang mewujud dalam kepribadian bangsa yang merasa dan mengakui bahwa mereka saling bergantung dan saing membutuhkan dalam kebhinekaan.

Tanpa SARA suatu bangsa akan bosan dengan warna kehidupannya yang pasti akan menjemukan.

Tetapi ramai menyuarakan kata "pluralisme" justru bisa menjadikan SARA seperti untuk membentuk suatu mahzab---aliran, yang tidak diperlukan dalam kesatuan bangsa. Sebab Bangsa Indonesia adalah wujud satu kesatuan dari kebhinekaan.

Demikian pula dengan seruan untuk hidup toleran menunjukkan bahwa bangsa Indonesia seperti hidup dalam tanpa toleransi. Seperti bangsa yang masih asing dengan pandangan hidup aslinya yang disebut gotong royong.

Tetapi jelas bisa dipahami. Bahwa yang lebih nyaring dan seperti memaksa harus terus membakar isu SARA adalah pihak-pihak mereka yang berkepentingan mengakhiri masa jabatan Presiden Jokowi pada periode pertama.

Isu kebangkitan kembali PKI tidak lain adalah salah satu bentuk dari isu SARA untuk melakukan kekerasan "sistemik" seperti pasca peristiwa G30S-PKI 1965.

Butuh dana besar untuk mengobarkan SARA

Tetapi harus diakui bahwa perjuangan politik yang menggunakan mantera perjuangan bernada SARA juga perlu dana yang luar biasa besar. Karena yang bisa mengolah dan menggoreng SARA bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang yang tidak peduli dengan uang haram atau halal.

Mereka adalah orang-orang cerdas, berpengalaman dalam politik. Tetapi sangat frustrasi atau mungkin terkena berbagai gejala gangguan kejiwaan.

Pengalaman masa Pilkada DKI Jakarta 2017 menunjukkan bahwa memaksakan SARA dengan pengerahan umat beragama dan dana yang luar biasa besar hanya mampu memenjarakan Ahok. Dan gagal total menempatkan Agus HY pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017.

Harus diingat oleh lawan-lawan Presiden Jokowi. Memaksakan SARA dengan pengerahan umat beragama dan dana yang luar biasa besar justru akan membuat citra Indonesia semakin memukau dunia dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi.

SARA dimanfaatkan kelompok yang melawan Presiden Jokowi

Kelompok yang memerlukan SARA adalah kelompok yang berusaha menempatkan diri sebagai kaum "sufi" yang mungkin ingin diposisikan sebagai kaum kebal hukum di negara ini. Di mana tafsir-tafsir ayat kitab suci yang pasti belum benar sudah dianggap bisa menjamin bahwa semua perbuatan mereka harus dianggap pasti benar dan tidak perlu harus dipertanggungjawabkan di dunia.

Mereka tidak boleh dihina atau dipersalahkan oleh siapa pun. Karena mereka merasa paling ngerti cara beragama yang dibenarkan agama. Meskipun suara mereka justru lebih sering menyerang dan merendahkan Presiden Jokowi yang juga berkedudukan sebagai seorang kepala negara yang dihormati dan disegani oleh kepala negara dari seluruh negara di dunia.

Kerendahan hati dan kesederhanaan penampilan Presiden Jokowi sangat mungkin menunjukkan sosok umat beragama yang benar-benar konsekuen dengan ajaran agama yang dianut.

Kelompok yang tidak menghargai penghargaan

Kelompok yang menggunakan SARA cenderung tidak menghormati hak umat untuk dihargai dan dihormati. Kehormatan dan penghargaan seakan hanya dimiliki mereka yang tergolong di tingkat kaum ulama saja.

Maksudnya hanya kaum ulama yang berhak menentukan untuk menghargai dan menghormati. Termasuk menentukan salah dan benar orang lain.

Mereka tampaknya juga tidak peduli dengan dua penghargaan internasional untuk dua menteri kabinet Presiden Jokowi. Yang secara jelas juga menunjukkan secara langsung ketinggian kelas kepemimpinan seorang Presiden RI---Jokowi, di mata seluruh bangsa di dunia.

Dan sudah pasti prestasi itu bisa menjadi standar acuan kelas presiden yang harus dimiliki Bangsa Indonesia untuk masa-masa yang akan datang.

Prestasi Presiden Jokowi diakui dunia lewat dua menteri

Bagi para tokoh bangsa yang tidak ikut bangga dengan prestasi Meteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti, lebih baik tidak usah terlalu kecewa kalau tidak boleh disebut cemburu atau "iri."

Mereka tidak perlu mengobral penilaian dengan pandangan pribadi yang sempit yang terlalu membodohi jika dibanding dengan pandangan internasional yang umumnya tidak punya interes apa-apa. Selain mencoba menghormati prestasi personal yang layak diteladani oleh siapa pun dari negara manapun.

Maka pantas bersyukur bagi mereka yang sempat dipercaya dan diangkat jadi menteri oleh Presiden Jokowi. Dan jangan terlalu sedih dan lebih baik bersabar jika jadi menteri mungkin sempat "diistirahatkan" sementara dalam kabinet.

Tetapi mungkin harus menerima dengan penuh pengertian dan kebesaran jiwa jika ada menteri yang terpaksa dicopot oleh Presiden Jokowi karena ditengarai hobi bikin gaduh.

Keberanian Presiden Jokowi tidak menantang siapa pun

Dengan hanya dua prestasi dua menterinya yang berkelas internasional. Serta keberanian Presiden Jokowi berjalan cepat mendatangi tempat bom teroris diledakkan di Jalan Thamrin; dan berani berjalan melangkahkan kaki di negara-negara yang sedang bergolak.

Apalagi sangat terlihat jelas terlihat betapa senang orang Aceh sampai Papua menerima kepemimpinannya yang merakyat.

Maka mungkin sangat perlu dipertanyakan kepada yang berkepentingan menggantikan Presiden Jokowi. Apa yang akan dijual kepada rakyat? Andalan apa yang akan digunakan untuk mengimbangi citra Presiden Jokowi?

Jawabnya. Sekali lagi mungkin hanya SARA dan mementaskan kembali lakon "bangkai PKI bangkit dari kubur."

Belajar dari pengalaman menjatuhkan Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017.

Bisa dipastikan "lawan" Presiden Jokowi akan mengerahkan kelompok peramal angka-angka yang menjual kekuasaan. Menghimpun kelompok siluman yang bergerilya membeli suara rakyat. Dan juga akan menyebarkan tuyul-tuyul yang membagikan amplop ke rumah-rumah warga yang kurang faham makna bernegara.

Mencari "lawan" Presiden Jokowi

Tampaknya beberapa nama tokoh bangsa mulai didorong-dorong untuk mau maju melawan Presiden Jokowi sebagai petahana dalam Pilpres 2019. Tetapi tidak pernah terlepas dari nama Prabowo dan Agus HY.

Nama-nama tersebut seperti enggan untuk diganti. Tetapi ada kecenderungan untuk dipasangkan dengan tokoh-tokoh tertentu yang diperkirakan mau bertarung untuk mengalahkan Presiden Jokowi semata.

Di negara yang berdasar Pancasila. Di negara yang ber-Tuhan. Yang elok adalah seseorang menjadi presiden karena diminta oleh pihak yang punya negara. Yaitu diminta oleh rakyat melalui tokoh-tokoh yang diminta rakyat untuk mewakilinya.

Bukan yang menjadi presiden karena ngotot berjuang habis-habisan untuk menjadi presiden.

Demikian pula halnya dengan yang harus menjadi wakil rakyat. Menjadi wakil rakyat duduk di empe'er dan di depe'er karena dipilih dan diminta rakyat. Bukan karena memaksakan jual warisan untuk dipilih sebagai wakil rakyat.

Demikian. Terimakasih dan salam sejahtera kepada yang telah membaca tulisan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun