SBY seperti terkungkung dengan masa lalu dan masa kini.
Sudah pasti sikap SBY “dipengaruhi” oleh sosok Pak Harto, Megawati dan sangat terusik oleh gaya kepemimpinan penggantinya—Presiden Jokowi, dan juga Ahok yang hanya seorang gubernur DKI Jakarta. Yang keduanya berlatar belakang seorang pengusaha.
Naluri seorang pengusaha yang menjadi pejabat negara, agaknya bukan segera mengalahkan lawan atau musuh. Melainkan bernaluri untuk “selalu berjaya dalam usaha.”
Atau harus sukses dalam usaha. Selalu berusaha menyempurnakan usahanya agar senantiasa berlanjut. Tanpa mencederai pihak manapun.
Naluri seorang presiden yang bernaluri pengusaha, bukan harus berjaya dengan kekuasaan. Bukan berjaya dengan koalisi. Bukan berjaya dalam setiap pertarungan politik. Bukan berjaya dengan oposisi.
Dan bukan pula berjaya dengan mengabaikan pungli yang pakai uang recehan dan kesalahan yang kecil-kecil yang menjengkelkan. Tetapi “selalu berjaya dalam usaha” yang disempurnakan dengan hasil bukti-bukti nyata usaha yang dicapai.
Berjaya dalam militer pun terwujudkan dengan terjaganya keutuhan wilayah kedaulatan NKRI. Dan penghormatan seluruh negara lain terhadap Presiden Jokowi dengan segala kebijakannya.
SBY sangat cerdas membaca debut Presiden Jokowi dan gubernur DKI Jakarta Ahok yang mengejutkan rakyat dan bangsa seluruh penjuru tanah air dan dunia.
Mungkinkah pilkada 2017 adalah kesempatan SBY mencoba untuk memperbaiki sejarahnya. Dengan menghentikan debut Jokowi melalui pertarungan Agus HY melawan Ahok? Agar prestasi masa lalunya sebagai presiden terkesan seperti jauh tidak sebanding dengan prestasi penggantinya?