Juli, mengalun sendu bukti yang menggumpal dalam segala ihwal dalam khayal. Saksi dari tragedi pembunuhan yang paling keji yang terukir dalam nisan yang hampir habis dicakar maut isak tangis yang terbungkam.
***
Sakura kuning luruh mengalun Juli bersama lamunan angin yang membubuh gemuruh. Langkah kaki yang berjalan, senandung suara yang pelan mengiringi dua gadis yang berjalan beriringan melalui jalan setapak di sela-sela rerumputan yang memanjang. Hijau keemasan. Hanya warna itu yang tampak oleh mata memandang.
"Ibuku hanya ingin itu"
"Agar kau diterima disana?"
"Agar ia bisa menceritakannya di hadapan teman-temannya", jawabnya menyeringai.
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk dibanggakan"
"Tapi apakah kau benar-benar yakin kau akan diterima disana?"
"Pasti, dengan segala pengorbanan yang telah kulakukan"
Angin berdesir mengikuti harmoni alam yang mengalun mengikuti cahaya senja. Gemericik riak air sungai terdengar semakin berarak hingga menembus pori-pori ranting pepohonan yang bergumul.
"Bagaimana jika kau tidak diterima?". Sontak saja, ia langsung menatap kawannya dengan tajam. Pipinya memerah. Langkahnya terhenti. Menghela nafas dan menyeruput secangkir kopi yang ia genggam.
"Aku tidak tau."
Jawaban yang singkat menutup semua kemungkinan kala itu.
"Maafkan aku. Aku percaya kau adalah orang dengan ketajaman intuisi dan setumpuk prestasi"
"Terkadang, aku juga membayangkan bagaimana jika aku tidak ditakdirkan disana. Tapi semua keraguanku itu kututup dengan senyuman bahagia dan kepercayaan ibuku."
"Apa yang membuatmu ragu?"
"Kemampuanku". Air matanya mulai menganak sungai membasahi pipinya. Isak tangis yang semakin menggetarkan sore itu di bawah rerimbunan daun yang mulai berguguran diterpa angan yang mencekam.
"Entah apa yang akan dilakukan ibuku kepadaku jika aku tidak disana. Mungkin aku akan digantungnya. Aku sebagai anak tunggal dan seluruh harapan ibuku dibebankan kepadaku. Setelah kepergian ayahku, aku bertekad....bertekad... ", Lanjutnya. Secangkir kopi dalam genggamannya tumpah ruah ke tanah. Ia memeluk kawannya erat-erat. Sedu sedan tangisan menyelimuti senja dalam rintik hujan. Â Jeda membungkam.
"Ingat, Rene Descartes menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan"
"Tapi tidak ada keraguan atau penyangkalan ini yang dapat dipertahankan."
"Ingat! Cogito Ergo Sum!"
Gadis berambut pirang itu menatap kawannya. Alisnya mengerut. Matanya sembab dan berkaca-kaca.
"Cogito Ergo Sum?"
"Apa kau lupa? Semboyan kita saat kita masih kanak-kanak. Semboyan yang selalu kita nyanyikan di bawah cahaya rembulan. Saat kita bermimpi menjadi seorang ilmuwan dan teknisi hebat. Cogito Ergo Sum! Saya berpikir, maka saya ada! Tidak peduli betapa pun asam keraguan menggerogoti , pada hakikatnya keraguan tidak dapat menelan habis dasar dari keberadaannya sendiri."
"Yaitu eksistensi dari orang yang meragukan."
"Ya, benar. Oleh karenanya, salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan yaitu melihat seberapa jauh hal itu bisa diragukan."
"Apakah itu artinya ketika kita mencoba meragukan sebanyak mungkin pengetahuan kita, maka kita akan mencapai titik yang tidak bisa diragukan, sehingga pengetahuan kita dapat dibangun di atas dasar kepastian absolut?"
"Ya, keraguan yang diteruskan sejauh-jauhnya, akhirnya akan membuka tabir sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Yakin saja, kau pasti bisa. Ketika kau meletakkan sejuta harap pada Tuhan, alam akan bahu-membahu memberikan pertolongan" Ucapnya pelan seraya membelai gadis berambut pirang kawannya. Gadis pirang itu hanya mengangguk perlahan.
"Lupakan saja ucapanku tadi. Mari kita pulang" Kata gadis berambut pirang.
"Tunggu! Kenapa kau suka sekali menyuruhku untuk melupakan sesuatu?"
Gadis pirang itu hanya tersenyum sembari mengusap sisa-sisa air matanya.
"Lupakan sesuatu yang tidak penting"
"Tapi sesuatu yang tidak penting itu suatu saat bisa menjadi hal yang penting"
"Tapi kalau memprioritaskan yang tidak penting, yang seharusnya penting akan menjadi tidak penting"
"Aku mulai bingung. Baiklah, aku menurut saja. Ayo kita pulang!" Ia menggandeng lengan gadis pirang itu menyusuri jalan setapak di hadapannya sembari merapikan rambut kecoklatannya yang diterpa angin malam.
Senandung langkah kaki yang tak lagi mengiringi, dan rahasia yang hanya bergumul di dalam hati. Semua masih semu, isak tangis yang dilebur gelap dengan beku, diantara ragu yang dibungkam sembilu dan gelak tawa yang diseduh bisu.
Seiring waktu berjalan, dalam lorong-lorong kebisuan. Tak ada kabar, tak ada cerita yang terdengar. Di ujung tandus harapan yang hampir habis dicakar maut perjanjian, terlihat gadis berambut cokelat dengan langkah cepat ia menyusuri gang sempit di sebuah kota tak jauh dari tempat tinggalnya.
Matanya berbinar, wajahnya bersinar seakan ia tidak sabar untuk mendengar kabar bahagia dari kawannya. Ia membuka pintu sebuah rumah sederhana di sudut kota dengan aneka bunga yang berjajar rapi membentuk pola-pola geometri.
"Raya! Apa kabarmu? Aaaaaa!!!!" Seketika ia jatuh hilang kesadaran. Dihadapannya ada sepasang kaki yang bergantungan di dinding kamar tamu depan. Sepasang kaki mungil kawannya. Sedang kepalanya berlilitkan tali. Wajahnya pucat pasi. Tetesan darah mengalir dari mulut sang gadis berambut pirang itu. Mengerikan.
Sesaat gadis berambut coklat membuka matanya tatkala ia mendengar suara sirine polisi dan kerumunan orang-orang. Ia terbangun di sudut luar rumah itu diantara banyaknya orang yang lalu lalang. Berjalan namun kehilangan keseimbangan. Ia terlihat kebingungan. Melihat mayat temannya tak berdaya dimasukkan dalam mobil ambulance dalam kondisi yang mengenaskan, ia menutup rapat-rapat wajahnya. Air matanya tak kunjung berhenti.Â
Isak tangisnya semakin kencang sampai ia temukan kertas bernoda yang ia temukan di sekitar tempat kejadian. Kertas usang dengan goresan tinta hitam dengan banyak tetesan noda merah bertuliskan 'Cogito Ergo Sum'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H