Paradoks Kebahagiaan: Mengapa Mengejar Bahagia Malah Membuat Hidup Lebih Berat?
Pengejar Kebahagiaan yang Lelah
Di jantung Jakarta, tepatnya di Jalan Jenderal Sudirman yang ikonik, menjulang gedung-gedung pencakar langit, simbol kekuasaan dan ambisi. Di lantai 14 salah satu gedung megah itu, tepat di seberang kanan Hotel Indonesia yang legendaris, terdapat kubikel Andi. Usianya awal tiga puluhan, terjebak dalam rutinitas perkantoran yang modern namun menjemukan. Setiap pagi, ia bergegas dari apartemennya yang terletak di Kalibata, menembus kemacetan lalu lintas yang khas ibukota, demi mengejar "kebahagiaan" yang ia yakini ada di puncak tangga korporat.
"Sedikit lebih keras," gumamnya, mantra yang ia ulang di antara suara deru AC sentral dan obrolan rekan kerja di pantry. Pemandangan dari jendela kantornya, hamparan gedung-gedung tinggi yang diselimuti kabut asap, seharusnya menjadi simbol kesuksesan. Namun, bagi Andi, pemandangan itu justru terasa hampa.
Mimpi tentang kebahagiaan, yang dulu begitu membara di benaknya, kini terasa seperti ilusi yang menjauh. Dulu, saat masih kuliah di sebuah kampus teknik ternama di Bandung, ia begitu bersemangat. Bergelut dengan rumus-rumus matematika, begadang mengerjakan tugas di lab, dan berdiskusi sengit dengan teman-teman di kantin kampus. Masa-masa sulit itu justru terasa lebih bermakna, dipenuhi harapan dan idealisme. Ia ingat bagaimana ia dan teman-temannya sering nongkrong di warung kopi sekitar kampus, membicarakan masa depan dan impian-impian besar. Bandung, dengan udaranya yang sejuk dan suasananya yang santai, terasa begitu kontras dengan Jakarta yang serba cepat dan kompetitif.
Kini, di tengah hiruk pikuk Jakarta, ingatan itu bagai oase di gurun pasir. Gaji yang terus meningkat, yang seharusnya membawa kelegaan, justru terasa seperti beban baru. Ia teringat pesan ibunya, "Nak, kebahagiaan itu bukan hanya soal materi." Namun, di tengah tekanan pekerjaan dan gaya hidup Jakarta yang konsumtif, ia merasa sulit untuk tidak terperangkap dalam pusaran materialisme.
Media sosial, dengan foto-foto liburan mewah dan pencapaian rekan-rekannya, semakin memperparah keadaannya. Ia merasa tertinggal, tertekan oleh standar kesuksesan yang dipamerkan di dunia maya. "Apakah aku kurang beruntung? Kurang pintar? Atau memang aku salah jalan?" pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya.
Akhirnya, titik yang ia dambakan tercapai. Promosi itu datang, lengkap dengan bonus besar dan ucapan selamat dari para petinggi perusahaan. Namun, di tengah tepuk tangan dan senyum formalitas, Andi merasa kosong. Ia berdiri di sana, di puncak yang ia perjuangkan, dan yang ia temukan hanyalah kehampaan yang lebih besar.
Kini, tantangan baru menanti. Ia harus mempertahankan posisinya, bersaing dengan kolega yang semakin ambisius, dan memenuhi ekspektasi keluarga yang semakin tinggi. Beban tanggung jawab yang terus bertambah membuatnya semakin meragukan segalanya.
Malam itu, di apartemennya yang mewah di Jakarta, Andi memandang keluar jendela. Lampu-lampu gedung di Jalan Jenderal Sudirman berkelap-kelip. Ia teringat kembali masa-masa kuliahnya di Bandung, saat ia masih dipenuhi mimpi dan harapan. Kemudian, pikirannya melayang pada paradoks kehidupan para pesohor. Ia teringat Marilyn Monroe dan Michael Jackson, ikon-ikon yang dikagumi dunia, namun berakhir tragis, tenggelam dalam kesepian dan tekanan popularitas. Di sisi lain, ia juga memikirkan Keanu Reeves dan Chow Yun Fat, bintang-bintang besar yang memilih hidup sederhana dan berbagi kekayaan mereka, tampak lebih tenang dan damai.
"Apakah ini…, kebahagiaan yang selama ini kukejar?" bisiknya, suaranya kalah oleh hiruk pikuk kota. Sebuah pertanyaan yang mungkin juga dirasakan oleh banyak orang yang terjebak dalam ilusi kesuksesan. Sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban, sebuah jawaban yang mungkin sulit ditemukan di antara gemerlapnya lampu kota dan tuntutan dunia modern. Ia merenung, apakah kesuksesan materi dan pengakuan dunia luar benar-benar menjamin kebahagiaan? Ataukah kebahagiaan sejati terletak pada hal yang lebih sederhana, seperti nilai-nilai kemanusiaan, hubungan yang bermakna, dan kedamaian batin? Perbandingan antara akhir tragis Monroe dan Jackson dengan pilihan hidup Reeves dan Chow Yun Fat semakin memperkuat keraguannya. Mungkin, pikirnya, kunci kebahagiaan bukan terletak pada puncak popularitas dan kekayaan, melainkan pada keseimbangan dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup.